Toleransi merupakan salah satu ajaran Islam yang sangat mendasar dan dimaksudkan untuk menghindarkan umat Islam dalam sebuah pertikaian yang merugikan. Sedari awal, Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad agar bersikap tegas terhadap agamanya sendiri (Islam) di satu sisi dan sisi lain bertindak toleran terhadap agama lain.
Pesan ketegasan sekaligus toleran itu dapat dipahami dalam rentetan surat-surat terakhir dalam Alquran (Surat al-Ikhlas dan Surat al-Kafirun). Di Surat al-Ikhlas meskipun lebih dipahami para ulama tafsir sebagai rentetan ayat tauhid atau ayat peng-Esa-an Allah namun memiliki makna tersirat berupa pernyataan tegas seorang Muslim terhadap konsepsi ketuhanan Islam.
“Katakanlah (wahai Nabi Muhammad), ‘Dia lah Allah, Yang Maha Esa! Dia lah Allah, tempat bergantung segala sesuatu! Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan! Dan tidak ada satupun yang setara dengan-Nya!’” (QS. Al-Ikhlash: 1-4).
Allah itu Esa, Dia lah Satu-satunya tempat bergantung, Dia ada tanpa lahir atau melahirkan seperti makhluk lainnya. Itulah pernyataan tegas yang harus diucapkan dan diyakini setiap muslim. Mengingkari semua atau satu saja dari butir ketegasan ayat itu, maka keimanan seseorang akan rusak. Ini pula yang menjadi keimanan paling dasar bagi setiap umat Muhammad saw.
Surat ini tidak berdiri sendiri, karena dikorelasikan dengan surat lainnya yaitu Surat Al-Kafirun. Dalam surat Al-Kafirun dinyatakan ketegasan bahwa Nabi tidak pernah sekalipun menyembah sesembahan selain Allah. Kepada para penganut lain pun Nabi mempersilahkan mereka sembah sesembahan mereka sendiri.
“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Kalian pun bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Aku juga bukan penyembah apa yang kalian sembah. Dan (sekali lagi) kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. (Karena itu) Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.’” (QS. Al-Kaafiruun: 1-6).
Kedua surat tersebut secara tegas memerintahkan umat Islam agar berpegang teguh pada keyakinan dan ajarannya sendiri sekaligus melarang mengikuti ajaran dan keyakinan agama lain. Tak berhenti situ, Alquran juga melarang umat Islam memaksakan orang lain (non muslim) untuk mengikuti Islam.
Dalam kajian tafsir Alquran dikenal istilah mafhum muwaafaqah, yaitu sebuah pemahaman kitab suci untuk memahamkan makna lain diluar makna yang tertulis dalam teks. Dalam ayat ini misalnya adalah perbuatan yang lain namun serupa dengan pemaksaan beragama, seperti memukul atau membunuh atau memerangi pihak lain agar mau ikut pada keyakinan Islam. Dengan demikian, lewat teori ini pesan implisit ayat bisa dipahami sebagai berikut: memaksa orang lain dalam agama saja tidak boleh apalagi memaksanya dengan cara-cara kerasan!
Perbebedaan etnis, agama, suku, maupun bahasa merupakan ketetapan Allah yang tidak bisa dibantah dan dipungkiri. Ketetapan Allah dalam bentuk keniscayaan itu dalam bahasa agama dikenal dengan istilah sunatullah. Perbedaan yang ada di antara manusia adalah bagian nyata dari kehendak-Nya, meskipun –selaku Tuhan dan Penguasa semesta- mudah bagi-Nya mencipta dengan satu bentuk karakteristik tanpa perbedaan. Namun, Dia sendiri menyatakan tidak melakukan itu semua.
“Seandainya saja Tuhanmu mau, Dia pasti akan menjadikan manusia umat yang sama, (namun tidak begitu) mereka (manusia dicipta) dengan selalu berselisih pendapat, kecuali mereka yang dirahmati Tuhanmu, demikianlah Tuhan mencipta mereka.” (QS. Huud: 118-119).
Bahkan di ayat dan surat yang lain, secara tegas pula Allah nyatakan mencipta manusia secara berbeda dari sisi jender, ras, etnis, dan sosial. Penciptaan itu dimaksudkan agar manusia bisa saling belajar dan bertukar pikiran demi kebaikan peradaban dunia. Di mata Allah semua manusia itu sama dan sederajat, yang berbeda hanyalah ketakwaan kepada-Nya.
“Hai Seluruh manusia! Kami ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa dan beretnis agar bisa saling mengenal (mengetahui/belajar), sungguh yang paling mulia dari kalian di sisi Tuhan adalah yanng paling takwa. Allah Maha Tahu dan Mengawasi.” (QS. Al-Hujuraat: 13).
Dalam konteks ayat inilah kita memahamkan Indonesia. Indonesia adalah bangsa yang mejemuk dan terdiri dari beragam suku dan agama. Perbedaan itu adalah kehendak Allah yang harus dipahami sebagai cara Allah membangun peradaban manusia. Perbedaan itu harus dikelola dengan baik untuk menciptakan ketahanan nasional dan membangun kekuatan Indonesia menjadi bangsa yang disegani.
Perbedaan yang ada di Indonesia juga telah dijamin dan diakui dalam falsafah negara dan konstitusi. Itu artinya, falsafah dasar bangsa Indonesia telah sesuai dengan prinsip dasar ajaran Islam soal perbedaan. Menghantam, memfitnah, atau memojokkan kelompok lain yanng berbeda tidak mendapat pembenaran apapun baik dari sisi agama maupun konstitusi. Karena hal negatif itulah yang justru akan menciptakan konflik baru yang berkepanjangan dan justru meruntuhkan peradaban dan memecah bangsa. Semoga yang terbaik untuk negeri ini.
This post was last modified on 16 September 2015 11:32 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…