Photo By: Mambastpos
Dalam kesusasteraan Nusantara, peribahasa menduduki nilai yang sangat penting. Peribahasa memuat ajaran moral dan nilai pendidikan yang patut dijadikan pegangan bagi masyarakat. Ia merupakan sebuah kata yang mudah diingat yang berisi perumpamaan tertentu yang terkait dengan perilaku sosial.
Bagi masyarakat Nusantara, peribahasa “Akibat Nila Setitik Rusak Susu Sebelangga” sangatlah populer. Saya dan pasti juga anda mungkin pertama kali mendengar peribahasa itu semenjak duduk di bangku SD. Peribahasa tersebut ingin menggambarkan bagaimana sebuah kesalahan kecil atau sedikit mempengaruhi pada penilaian terhadap sesuatu yang lebih umum.
Ngomong-ngomong soal “Nila Setitik Rusak Susu Sebelangga” nampaknya masih relevan dalam menilai berbagai isu krusial belakangan ini. Salah satunya adalah soal radikalisme pesantren. Terma ‘Susu Sebelangga’ dapat dibayangkan sebagai pesantren secara keseluruhan dari Sabang sampai Merauke yang jumlahnya ribuan.
Ibarat sebuah Susu, pesantren di Indonesia berwatak putih dan mampu memberikan banyak manfaat kepada umat yang ‘meminumnya’. Kehadiran pesantren dalam sejarah kebangsaan di Indonesia tidak dapat diragukan lagi peranan dan sepak terjangnya. Pesantren –dan juga peran positifnya- jauh berusia lebih tua dibanding dengan Republik Indonesia itu sendiri. Dengan demikian, pesantren lewat jejaring intelektual dan alumninya turut serta melahirkan Republik Indonesia.
Meski demikian, tak dapat dipungkiri jika terdapat “Setitik Nila” yang tengah berupaya merusak “Susu Sebelangga” itu. ‘Nila Setitik’ tersebut terjadi akibat sebuah racun bernama radikalisme dan terorisme. Racun inilah yang berupaya merusak watak putih yang selama ini ditunjukkan oleh pesantren.
Oleh karena itulah, ‘Nila Setitik’ berupa virus radikalisme terorisme itu harus sedini mungkin dicegah secara massif oleh bangsa ini. Karena semua komponen bangsa yang memiliki kejernihan nurani pasti akan mengatakan mengatakan hal yang sama, bahwa pesantren adalah pembibitan sikap tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan i’tidal (moderat).
Ketiga sikap bijak tersebut diyakini merupakan bagian dari pengejawantahan prinsip Islam Rahmatan lil ‘alamin yang menjadi watak dan arus utama Islam di tanah air. Radikalisme dan sikap-sikap ‘keras’ beragama tentu harus tidak menemukan jalannya. Karena watak dari radikalisme pasti bertentangan dengan semangat dan dasar nilai-nilai Islam yang sesungguhnya telah diperjuangkan dan menjadi koor bersama pesantren.
Tentu saja hingga detik ini, semua pihak harus yakin bahwa sejatinya pesantren –dan ini sesuai dengan fakta sejarah- adalah satu lembaga yang tidak terkait sedikitpun dengan aksi radikalisme maupun terorisme. Kalau pun ada satu atau dua lembaga yang mengatasnamakan pesantren namun mengajarkan radikalisme bahkan terorisme, tentu bisa kita namakan sebagai ‘Nila Setitik’. Kita semua pasti berharap, jangan sampai gara-gara urusan ‘Nila Setitik’ nama baik pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang moderat rusak gara-gara satu atau dua pesantren radikal.
Ibarat kendaraan bermotor, gerakan ekstremisme juga butuh bahan bakar. Jika mobil atau motor bahan bakarnya…
Diskursus kebangsaan kita sering kali terjebak dalam dua tarikan ekstrem. Di satu sisi, terdapat kerinduan,…
Propaganda terbaru ISIS melalui majalah al-Naba’ (2025) yang menyerukan ajakan berjihad ke Sudan merupakan bukti…
Isu Suriah sudah lewat. Gaza sudah berangsur normal. Isu lain seperti Uyghur, Rohingya, dan sebagainya…
Kelompok ekstremis terutama ISIS tampaknya tidak pernah kehabisan materi propaganda kekerasan. Setelah revolusi Suriah berakhir…
Dalam beberapa dekade terakhir, istilah ukhuwah global sering digaungkan sebagai cita-cita luhur umat manusia—sebuah gagasan…