Narasi

Parenting Berbasis Pancasila; Membangun Generasi yang Steril dari Kebencian Digital

Bagi generasi milenial, apalagi generasi, memiliki anak dan menjadi orang tua menghadirkan tantangan yang tidak ringan. Di satu sisi, generasi milenial dan gen Z yang saat ini menjadi orang tua cenderung mudah dalam mendapatkan informasi tentang model pengasihan.

Berbagai buku, seminar, dan konten digital seperti podcast tentang parenting saat ini begitu mudah didapatkan secara gratis. Artinya, orang tua milenial dan gen Z seharusnya tidak kekurangan informasi tentang pengasuhan anak.

Namun, di sisi lain, banjir informasi dan pengetahuan tentang parenting itu justru kerap membuat orang tua kebingungan menerapkan startegi dan teori pengasuhan mana yang tepat untuk anak. Apalagi ketika teori dan startegi itu kerap bertentangan satu sama lain.

Di tengah kebingungan itu, orang tua juga dihadapkan pada penetrasi dunia digital yang seolah kian tidak terbendung. Anak-anak dan remaja, menjadi salah satu kelompok yang paling rentan terpapar konten negatif di dunia digital. Termasuk konten ujaran kebencian, perundungan, persekusi, bahkan kekerasan berlatar isu identitas agama, suku, dan sebagainya.

Lebih parah dari itu, anak-anak juga kerap terpapar konten konflik atau peperangan global yang belakangan ini kerap viral di media sosial. Kekerasan dan peperangan hari ini kerap dikemas sebagai sebuah tontonan yang dikonsumsi, tidak hanya oleh orang dewasa, namun juga anak-anak.

Peparsn konten digital yang berbau ujaran kebencian, apalagi kekerasan bahkan peperangan akan mempengaruhi alam bawah sadar anak-anak dan remaja. Kontek negatif itu akan membentuk semacam cetak biru di alam pikir anak-anak, bahwa perbedaan itu ancaman, dan bahwa kekerasan adalah hal yang wajar.

Normalisasi kekerasan inilah yang menjadi ancaman serius bagi tumbuh kembang anak dan remaja. Anak dan remaja yang tumbuh dewasa dengan paparan konten negatif berpotensi menjadi generasi yang merawat kebencian dan menormalisasi kekerasan.

Di tengah kebingungan orang tua tentang teori dan strategi pengasuhan anak ini, gagasan tentang parenting berbasis Pancasila menjadi alternatif yang menarik untuk dielaborasi. Secara khusus, Pancasila memang tidak didesain sebagai teori parenting.

Pancasila didesain sebagai ideologi bangsa dan sumber dari segala sumber hukum. Meski demikian, nilai-nilai Pancasila, tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan kiranya relevan dikembangkan sebagai basis pengasuhan anak.

Parenting Pancasila, secara sederhana diartikan sebagai proses pengasuhan dan pendidikan anak yang dilandaskan pada nilai yang terkandung dalam Pancasila. Tujuan parenting Pancasila adalah melahirkan generasi yang pancasilais, salam artian berkomitmen kuat pada nasionalisme dan memiliki wawasan kebangsaan yang solid.

Parenting Pancasila mencakup wilayah domestik (rumah tangga atau keluarga) dan publik (masyarakat). Di ranah publik, parenting Pancasila bergantung sepenuhnya pada peran orang tua dan keluarga. Yakni bagaimana orang tua dan keluarga menginternalisasikan nilai Pancasila dalam kehidupan atau relasi domestik.

Dalam konteks ini, peran orang tua dalam menerjemahkan Pancasila ke dalam bahasa keseharian yang bisa dipahami dan diaplikasikan oleh anggota keluarga sangat menentukan. Orang tua, harus mendesain keluarga layaknya sebuah struktur negara atau bangsa dimana ada pemimpin, anggota, berikut sistem atau aturan, yang wajib ditaati demi terwujudnya relasi yang harmonis.

Nilai ketuhanan diamalkan bukan semata melalui ibadah ritualistik, namun mengembangkan sikap compassion alias welas asih yang menjadi hakikat inti sifat ilahi. Nilai kemanusiaan diimplementasikan ke dalam sikap menghargai hak individu setiap anggota keluarga.

Nilai persatuan diejawantahkan ke dalam komitmen untuk menumbuhkan relasi kekeluargaan yang hangat, terbuka, dalam prinsip saling menghormati. Nilai permusyawaratan diterapkan ke dalam mekanisme pengambilan keputusan yang melibatkan seluruh anggota keluarga.

Sedangkan nilai keadilan diwujudkan ke dalam upaya mengakomodasi hak dan kepentingan seluruh anggota keluarga sehingga tidak ada satu pihak pun yang merasa haknya terdiskriminasi.

Penerapan parenting Pancasila ini sneneya sudah membumi di kalangan masyarakat Indonesia sejak dulu. Di masa lalu para nenek moyang kita dikenal dengan konsep keluarga besar dengan jumlah anak yang nisbi banyak. Namun, mereka berhasil membabgun keluarga yang harmonis, inklusif, dan humanis, meski tanpa mengenal teori parenting modern yang berasal dari Barat.

Kuncinya adalah metode pengasuhan berbasis pada nilai-nilai kendonesiaan. Pekerjaan domestik, seperti membersihkan rumah, mencuci pakaian, memasak, dan sebagainya dikerjakan bersama, karena saat itu masyarakat belum akrab dengan istilah asisten rumah tangga. Kegiatan sederhana itu ternyata efektif menumbuhkan jiwa gotong-royong, kolaborasi, bahkan empati.

Hari ini, karakteristik keluarga Indonesia yang guyup itu kian memudar. Perkembangan teknologi membuat anggota keluarga hidup soliter. Makan bersama di meja besar tidak lagi menjadi tradisi, lantaran setiap anggota keluarga makan ditemani gadget. Pekerjaan rumah tangga tidak lagi dikerjakan bersama-sama, lantaran kehadiran asisten rumah tangga dan berbagai alat elektronik yang memudahkan semuanya.

Pola hidup soliter itu pelan namun pasti merapuhkan struktur keluarga dan meninggalkan residu pada pola pengasuhan anak. Alhasil, anak-anak tumbuh menjadi generasi yang nir-empati. Lebih parah lagi, mereka tumbuh menjadi generasi yang menormalisasi kebencian dan kekerasan.

Menghadirkan kembali parenting Pancasila menjadi kebutuhan untuk mengembalikan karakter keluarga Indonesia yang humanis. Parenting Pancasila kiranya akan melahirkan generasi yang steril dari kebencian, dan berkomitmen mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan.

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Agama dan Kehidupan

“Allah,” ucap seorang anak di sela-sela keasyikannya berlari dan berbicara sebagai sebentuk aktifitas kemanusiaan yang…

2 hari ago

Mengenalkan Kesalehan Digital bagi Anak: Ikhtiar Baru dalam Beragama

Di era digital, anak-anak tumbuh di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan interaksi virtual…

2 hari ago

Membangun Generasi yang Damai Sejak Dini

Di tengah perkembangan zaman yang serba digital, kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap ancaman…

2 hari ago

Rekonstruksi Budaya Digital: Mengapa Budaya Ramah Tidak Bisa Membentuk Keadaban Digital?

Perkembangan digital telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, terutama pada masa remaja. Fase ini kerap…

2 hari ago

Estafet Moderasi Beragama; Dilema Mendidik Generasi Alpha di Tengah Disrupsi dan Turbulensi Global

Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka tidak hidup di zamanmu. Kutipan masyhur dari Sayyidina…

3 hari ago

Digitalisasi Moderasi Beragama: Instrumen Melindungi Anak dari Kebencian

Di era digital yang terus berkembang, anak-anak semakin terpapar pada berbagai informasi, termasuk yang bersifat…

3 hari ago