Narasi

Antara Kesatuan Wujud dan Persatuan Nasional

Di Jawa apa yang dikenal dalam agama sebagai problem tauhid kerap dianggap sebagai sebuah problem yang sudah selesai. Anggapan semacam ini dapat saya perluas lagi pada problem akhlak atau yang di Jawa dikenal dengan istilah “budi pakerti.” Sebab, dua problem ini memiliki keterkaitan yang erat dimana oleh kalangan wujudiyah Nusantara apa yang disebut sebagai relasi antara Khaliq dan makhluq terjembatani oleh akhlaq. Maka dapat dikatakan, sebagaimana penyimpulan M.C. Ricklefs, agama—dalam hal ini Islam dalam bentuk sufismenya—memiliki “kontinuitas mistis” dengan spiritualitas Jawa yang karenanya menjadi suatu hal yang tak asing lagi (Gula Klapa: Kapitayan dan Persinggungannya dengan Sufisme, Heru Harjo Hutomo, PT Nyala Masadepan Indonesia, Surakarta, 2021).

Tauhid atau yang dalam kebudayaan Jawa purba dikenal dengan istilah “kapitayan” memang bukanlah semata tata teologis. Seperti halnya konsep wihdatul wujud, kapitayan adalah juga sebentuk tata kebudayaan yang di Andalusia pernah melahirkan tata sosial yang disebut sebagai “convivencia” yang memuat pula fenomena “wihdatul adyan” atau persatuan agama-agama. Pada masa Hayam Wuruk di Majapahit pun tata teologis sekaligus tata kebudayaan ini pernah juga hadir dalam bentuk konsep agama sipil “tripaksa” yang menyatukan agama Siwa, Buddha, dan Brahma. Oleh karena itulah, pada era ini terakit pula sesanti sebagai modal kebudayaan yang kita warisi hingga detik ini: “Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam kalangan agamawan yang tuna sejarah kerap tata teologis yang dapat mengilhami persatuan dan perdamaian semacam itu dihakimi sebagai kafir. Padahal, konsep tripaksa sendiri pun di era Majapahit bukanlah sebentuk upaya penyamaan agama ataupun hal-hal yang berbeda. Di masa sekarang kita mengenal yang namanya konsep agama sipil yang merupakan konsekuensi dari konsep masyarakat sipil. Orang kerap tak dapat memilah wilayah metafisis dan wilayah etis meskipun keduanya tak dapat dipisahkan. Dan pada tataran etis inilah sebenarnya tataran yang lebih dikedepankan oleh konsep wihdatul wujud di Andalusia ataupun kapitayan di Jawa.

Paradigma itu semua pada dasarnya sudah tercermin pada konsep Pancasila dengan ke-lima silanya yang berhubungan secara organis. Taruhlah sila pertama yang merupakan tata teologis bangsa Indonesia yang terkait erat dengan sila-sila berikutnya yang merupakan tata kebudayaan dan tata sosialnya. Adakah selama ini “Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” berpotensi untuk menggerus keimanan seseorang pada iman kristianinya, iman islaminya, dan seterusnya? Kalaupan kapitayan ataupun wihdatul wujud dianggap sebagai sebentuk kekafiran, kenapa kemudian “Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” itu tak dikafirkan pula?

Masa mendatang terbukti tak dapat diceraikan dari masa kini dan masa silam. Dan hanya dengan melibatkan ketiga kategori waktu itulah kita akan dapat menjalani kehidupan dengan lebih orientatif. Bukankah Lenin yang seorang ateis sekali pun pernah menggoyahkan konsep-konsep ideal yang tak ada presedennya dalam sejarah, bahwa kesilaman itu ternyata sama sekali tak dapat dilepaskan dari kekinian dan kemendatangan?

This post was last modified on 7 Desember 2023 12:35 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Pembelajaran dari Mitologi Kuda Troya dalam Ancaman Terorisme

Di tengah sorotan prestasi nihilnya serangan teror dalam beberapa tahun terakhir, kita mungkin tergoda untuk…

5 jam ago

Jejak Langkah Preventif: Saddu al-Dari’ah sebagai Fondasi Pencegahan Terorisme

Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah…

8 jam ago

Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok…

8 jam ago

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

1 hari ago

Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…

1 hari ago

Merespon Zero Attack dengan Menghancurkan Sekat-sekat Sektarian

Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…

1 hari ago