Narasi

Asian Games sebagai Metafora Solidaritas

Perhelatan akbar Asian Games 2018 yang dilaksanakan di Jakarta dan Palembang tentulah sarat membawa misi perdamaian. Hal itu dapat dilacak mulai dari pembukaan Asian Games 2018 yang diisi oleh berbagai atraksi seni budaya dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam gelaran ini dipersembahkan berbagai tarian dan lagu-lagu dari berbagai daerah di Indonesia yang dibagi kedalam empat segmen atau tema yakni air, bumi, angin dan api. Bahkan tagar #OpeningCeremonyAsianGames2018 bisa menjadi trending topik yang kemudian membuka mata dunia akan keberagamaan suku dan budaya yang ada di Indonesia.

Selain itu pula, dalam ajang bergengsi tingkat Asia, semua ajang pertandingan yang digelar harus mengedepankan prinsip fair play tanpa memandang perbedaan suku agama dan ras. Dengan begitu kondisi tersebut bisa memberikan ruang interaksi antara atlet dan publik tanpa rasa curiga, tanpa prasangka sehingga memberikan kesempatan kepada publik untuk lebih memahami pesan-pesan perdamaian dan mengembangkan nilai solidaritas antar bangsa se-Asia. Sehingga kompetisi pun akan berjalan sehat dan tentunya bisa menciptakan, dan mendorong publik sehingga dapat berkembang sesuai kekhasan masing-masing.

Ironisnya selama ini upaya penyebaran pesan perdamaian masih lebih banyak disesaki pesan-pesan abstrak dan rasis yang sungguh jauh dari pencerdasan dan pencerahan. Alhasil, publik kemudian jenggah dengan misi-misi perdamaian yang berujung pada pertikaian. Hal itu berbeda dengan ajang Asian Games 2018 yang menawarkan berbagai kompetisi sekaligus menjadi sarana persuasi untuk mempermudah masuknya pesan-pesan perdamaian. Termasuk sarana ekspresi universal yang strategis sebagai upaya merajut pembelahaan sosial yang mungkin telah terjadi selama ini. Dalam konteks ini, ekspresi universal yang penuh penghormatan dan penghargaan pada pendapat, pilihan hidup, serta keyakinan yang berbeda harus terus dikembangkan. Dengan begitu, langkah taktis ini sangat efektif mengurangi prasangka negatif yang seringkali menjadi pemisah kerukunan. Inilah kemudian yang dapat disebut sebagai metafora solidaritas.

Nilai-nilai keteladanan yang hadir dalam ajang Asian Games 2018 seperti pesan pedamaian bisa dikatakan sebagai metafora solidaritas yang tentunya harus terus kita pupuk dan kembangkan. Apalagi nilai-nilai keteladanan dari ajang Asian Games 2018 memuat pesan perdamaian yang sangat linier dengan ideologi Pancasila sebagai ideologi yang membawa misi perdamaian dunia. Jika ditelisik Pancasila selalu mengedepankan penghormatan atas kebhinekaan di suatu negeri dengan kesadaran merawatnya sebagai energi hidup sebuah bangsa. Artinya Pancasila memberikan porsi yang besar terhadap penghormatan atas keberagaman sebagai perekat sosial yang membuat tiap-tiap warga yang ada di dalamnya untuk tetap menjadi satu sebagai satu kesatuan.

Dengan demikian, momentum ini harus dijadikan titik tolak bersama semua elemen yang ada agar dapat melahirkan ajaran yang inklusif dan toleran terhadap keragaman. Jika kemudian semua anak bangsa dapat memahami filosofi ini, sejatinya tidak ada lagi yang namanya radikalisme atas nama perbedaan, pengkafiran, penistaan atau penolakan atas kelompok minoritas tertentu yang dapat berimplikasi praktis terhadap pudarnya hakikat bangsa sebagai metafora solidaritas.

Dengan kata lain, bangsa Indonesia akan menjadi kian kuat, diteladani dan disegani oleh berbagai negara di dunia jika sanggup terus membangun kebersamaan dan memperkokoh kemajemukannya. Tapi, tentunya untuk membangun kemajemukan sebagai kekayaan dan kekuatan bangsa dibutuhkan pemerintahan yang dapat menciptakan solusi-solusi kreatif untuk memodernisasi perbedaan, sehingga bangsa ini mampu menjadi contoh demokrasi dan toleransi bagi negara lain terutama di Asia. Dengan begitu, Pancasila yang mengandung nilai-nilai universal dapat dijadikan panutan yang tidak hanya di Indonesia tapi diberbagai negara meskipun tidak secara langsung dijadikan ideologi.

Pada akhirnya ajang Asian Games 2018 sebagai metafora solidaritas bisa menjadi jalan tengah perdamaian yang bisa diteladani oleh seluruh bangsa-bangsa di dunia. Jalan tengah yang dapat menuntun kita bersama untuk segera menghilangkan prasangka buruk kepada orang lain yang berbeda suku agama dan ras, agar senantiasa terlahir prinsip kedamaian dan kasih sayang. Sebab, ajaran kasih sayang dapat menjadi oase perdamaian sekaligus bisa menegakkan panji-panji keberagaman dalam bingkai Pancasila sebagai ideologi universal.

Bambang Arianto

Recent Posts

Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…

2 hari ago

Dari Khilafah ke Psywar; Pergeseran Propaganda ISIS yang Harus Diwaspadai

Gelombang propaganda kelompok teror ISIS tampaknya belum benar-benar surut. Meski kekuasaan teritorial mereka di Suriah…

2 hari ago

Framing Jahat Media terhdap Pesantren : Upaya Adu Domba dan Melemahkan Karakter Islam Nusantara

Islam di Indonesia, yang sering kali disebut sebagai Islam Nusantara, memiliki ciri khas yang sangat…

2 hari ago

Belajar dari ISIS-chan dan Peluang Kontra Radikalisasi neo-ISIS melalui Meme

Pada Januari 2015, sebuah respons menarik muncul di dunia maya sebagai tanggapan atas penyanderaan dan…

4 hari ago

Esensi Islam Kaffah: Menghadirkan Islam sebagai Rahmat

Istilah Islam kaffah kerap melintas dalam wacana publik, namun sering direduksi menjadi sekadar proyek simbolik:…

4 hari ago

Kejawen, Kasarira, dan Pudarnya Otentisitas Keberagamaan

Menggah dunungipun iman wonten eneng Dunungipun tauhid wonten ening Ma’rifat wonten eling —Serat Pengracutan, Sultan…

4 hari ago