Narasi

Asian Para Games, Disabilitas, dan Spirit Persatuan

Setelah Indonesia sukses menjadi tuan rumah Asian Games beberapa waktu lalu, kini juga diamanahi menjadi tuan rumah Asian Para Games 2018. Perbedaan mendasar dari dua ajang olahraga bergengsi tersebut adalah dari segi pesertanya, yakni Asian Para Games hanya diperuntukkan bagi mereka yang menyandang disabilitas. Semetara semangat yang dibangun adalah sama, yakni semangat persatuan dalam kebersamaan. Berkompetisi untuk menjadi yang terbaik, dengan tetap menjaga sportifitas antar pemain.

Spirit persatuan dalam perbedaan dan keberagaman bisa dilihat dari opening beberapa waktu lalu. Selain para penari dibalut dengan berbagai busana, mereka juga memanggul enam miniatur rumah Ibadah yang ada di Indonesia. Tentu saja, hal ini bisa dimaknai sebagai kemauan keras warga negara Indonesia untuk tetap hidup damai, sekalipun berbeda keyakinan agamanya.

Ajang olahraga yang mengangkat tema The Inspiring Spirit and Energy of Asia (Semangat Inspirasi dan Energi Asia) ini diikuti oleh 43 negara dengan atlet sebanyak 2.831 orang. Sementara cabang yang dikompetisikan sebanyak 18 dengan 531 nomor pertandingan.

Tentu saja, antusiasme negara-negara Asia dalam mengikuti Asian Para Games 2018 bisa dimaknai sebagai sinyal positif pemenuhan hak-hak difable. Bahwa telah melekat kuat dalam benak masyarakat, penyadang disabilitas sebagai ‘manusia nomor dua’, manusia yang lemah dan merepotkan. Sebagaimana dikatakan Dinna Wisnu, wakil ASEAN Intergovernmental Commision on Human Right (AICHR), yang memiliki fokus pada pembelaan hak-hak penyadang disabilitas, ia mengatakan bahwa sejauh ini, hak-hak disabilitas banyak yang dibatasi. Kebanyakan masyarakat menganggap mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Padahal, mereka memiliki kemampuan yang sama dengan lainnya. (metrotvnews.com)

Dengan begitu, Asian Para Games 2018 menjadi ajang unjuk kebolehan dan pembuktian, bahwa disabilitas bukanlah halangan untuk berprestasi. Boleh dikatakan, ajang ini merupakan seruan kepada seluruh negara Asia bahkan dunia untuk memperlakukan secara manusiawi para penyandang disabilitas di bawah kolong langit. Bahwa tidak ada orang yang menginginkan dirinya lahir dalam keadaan difable, dan kondisi tersebut murni pemberian Tuhan, yang tidak bisa disangkal. Apa yang dilakukan atlit disabilitas dalam Asian Para Games, adalah bentuk syukur mereka telah diberi hidup, sehingga memaksimalkan potensi yang ada dalam diri. Mestinya orang-orang non-disabilitas mampu menangkap sinyal tersebut, sehingga lebih bisa menyukuri anugerah tuhan berupa kondisi psikis dan fisik yang sempurna.

 Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, bahwa ada hak dan kewajiban yang mesti dihormati, dan larangan keras untuk berlaku diskriminatif terhadap mereka. Mereka yang dikatakan disabilitas, tersebut dalam Bab II tentang Ragam Penyandang Disabilitas, meliputi disabilitas fisik, intelektual, mental, dan sensorik. Sementara pada bab selanjutnya, disebutkan hak mereka, yang salah satunya adalah hak untuk berolahraga. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa, Asian Para Games merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Disabilitas.

Mestinya, implementasi ini bisa meluas ke berbagai aspek kehidupan lainnya. Terutama stigma yang telanjur melekat dalam diri mereka, yang tentu sangat menganggu aktivitas keseharian.

Kita boleh merujuk ke standar nilai apa pun untuk menepis stigma negatif di benak kita ketika melihat atau berteman dengan penyandang disabilitas. Jika Muslim, misalnya, menggunakan ayat al-Qur’an yang menyatkan bahwa perbedaan manusia hanya terletak dari sisi kualitasnya saja, bukan aspek materi. Hanya ketakwaanlah yang membedakan manusia satu dengan lainnya, sementara bentuk fisik bukan jaminan kualitas seseorang. Dengan pandangan semacam ini, tentu kita bisa menilai kondisi disabilitas adalah given, yang patut diperlakukan sama dengan yang lainnya. Dengan kata lain, menerima keberagaman tidak hanya berkaitan dengan agama atau suku atau ras atau golongan, melainkan juga kondisi fisik yang berbeda dengan ‘manusia normal’, mesti diterima juga sebagai warga yang indah. Tanpa keberadaan mereka di antara kita, hidup akan menjadi hampa.

Dan, Asian Para Games nyatanya telah membuka mata para penontonnya, bahwa penyandang disabilitas memiliki prestasi yang patut di banggakan. Lebih dari itu, mampu memantik semangat para penonton dan mungkin juga menerbitkan rasa syukur dalam diri mereka atas karunia Tuhan.

Imron Mustofa

Admin Online Blog Garawiksa Institute. PU LPM Paradigma Periode 2015/2016

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

6 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

6 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

6 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

6 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago