Di tengah duka akibat bencana alam yang mengguncang Palu dan Donggala, publik dikejutkan dengan goncangan bencana sosial yang menyetakkan semua pihak. Betapa tidak, hoaks yang diciptakan oleh salah satu tokoh dan publik figur, Ratna Sarumpaet, telah menyedot perhatian semua kalangan. Walaupun akhirnya Ratna telah mengakui kebohongan tersebut, hoaks bisa dikatakan berdampak secara nasional. Karena akibat ulahnya beberapa tokoh bahkan masyarakat yang termakan hoaks tersebut banyak membuat pernyataan yang sudah menggiring pada penumbuhan kebencian dan perpecahan.
Kejadian ini telah membuktikan bahwa tidak ada satupun yang imun dari pemberitaan yang menyesatkan dari kalangan masyarakat bawah hingga tokoh nasional sekalipun. Peristiwa ini menyadarkan kita bersama bahwa hoaks mudah menjalar dengan dimensi kebencian yang mudah menyebar secara cepat. Hoaks menjadi wabah penyakit yang begitu cepat menular dan merobek persaudaraan kita.
Pada gilirannya kabar bohong dan fitnah telah mereproduksi kecurigaan, kebencian dan pada level tertentu mendorong konflik dan kekerasan. Membenci, meresahkan dan menceraiberaikan adalah harga yang harus dibayar dengan merebaknya hoaks di tengah masyarakat.
Hal yang lebih parah maraknya konten hoaks yang telah mewabah di media sosial. Ruang maya kita telah dikotori dengan konten yang membuat masyarakat bertengkar untuk hal yang tidak penting dan berpotensi menimbulkan permusuhan. Dan tidak sedikit kasus perselisihan dan konten hoaks di ruang maya mendorong lahirnya konflik dan kekerasan di ruang nyata.
Apabila kita lihat sebaran konten hoaks di dunia maya sudah pada taraf yang sangat meresahkan. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada 2016 ada hampir 800 ribu akun, baik di media sosial maupun media online, yang telah diblokir karena mengandung kabar bohong maupun ujaran kebencian. Lalu, trend ini juga tidak mereda, pada Januari hingga Oktober 2017, 600 ribu akun juga diblokir karena memuat konten yang sama.
Lalu, berdasarkan respon masyarakat terhadap konten hoaks, survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada 7-9 Februari 2017 terhadap 1.116 responden di Indonesia menyatakan bahwa sebanyak 44,30 persen masyarakat menyatakan menerima berita hoaks setiap hari. Bahkan, 17,20 persen menyatakan menerima berita palsu ini lebih dari sekali sehari. Sementara jenis konten hoaks yang diterima oleh masyarakat, posisi tertinggi yang banyak diterima oleh masyarakat adalah seputar isu sosial-politik sebanyak 91,80 dan sebanyak 88,6 persen tekait isu SARA.
Kejadian hoaks yang ditimbulkan baru-baru setidaknya dapat menjadi pelajaran penting bagi bangsa ini. Pertama, sudah saatnya bangsa Indonesia menyadari bahaya fitnah dan hoaks mampu mematikan akal sehat siapapun yang terkena siraman informasinya. Orang yang menerima kabar hoaks seakan tidak perlu melakukan verifikasi dan cek kebenaran, tetapi langsung menelan sebagai fakta dan kebenaran. Hoaks telah mematikan akal sehat siapapun yang menerimanya.
Kedua, hoaks mampu menanamkan kebencian dan menimbulkan rasa saling curiga. Sekejap hoaks dimunculkan aura kebencian dan gelombang saling curiga antar sesama menjadi cepat menjalar. Makian, umpatan, cacian dan hujatan mudah mengalir bagi mereka yang terkena dampak hoaks.
Ketiga, hoaks dapat memecah belah persatuan dan persaudaraan sesama anak bangsa. Energi kebencian, saling curiga dan permusuhan yang mengalir dari konten hoaks sangat mudah merobek ikatan persaudaraan. Ikatan antar keluarga, antar teman, antar saudara dan antar masarakat mudah retak akibat konten yang hoaks yang mudah memprovokasi kita semua.
Momentum hoaks kali ini patut menyadarkan kita bersama tentang bahaya hoaks dan dorongan untuk menghentikan hoaks sejak dari pikiran kita sendiri. Mulailah dengan menjalani hari tanpa hoaks dengan tidak mudah percaya, mengedepankan verifikasi dan tidak mudah menyebarkan. #HoaxFreeDay merupakan usulan dari kegerahan kita bersama atas derasnya berita bohong yang mudah menggerus energi persaudaraan antar sesama anak bangsa.
Usulan berbagai kalangan untuk menjadikan peristiwa hoaks Ratna Sarumpaet sebagai hari Anti Hoaks sebenarnya bisa dimaknai sebagai momentum mengingatkan siapapun akan bahaya penyebaran hoaks yang berpotensi menimbulkan perpecahan. Peringatan ini sebenarnya bukan hanya seremonialis dan formalitas belaka, tetapi setidaknya sebagai alarm untuk menyadarkan generasi selanjutnya bahwa hoaks adalah musuh kita bersama dan musuh peradaban bangsa. Hoaks itu adalah racun yang bisa mematikan rasa persaudaraan kebangsaan kita.
Akhirnya, hoaks menghabiskan energi kita sebagai anak bangsa yang seharusnya dicurahkan untuk memikirkan hal positif bagi kemajuan bangsa. Hoaks telah membelah persatuan dan persaudaraan kita. Dengan hoaks kita terlalu larut dalam kecurigaan dan kebencian. Umpatan dan cacian menjadi pemandangan lazim akibat wabah hoaks yang menjangkiti anak bangsa.
Ayo Lawan Hoaks untuk Persatuan Bangsa.
This post was last modified on 8 Oktober 2018 2:45 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…