Narasi

Babak Baru FPI, Beserta Skandal Politik Agamanya

Front Pembela Islam (FPI) sudah resmi dibubarkan. Tidak ada lagi sebuah perdebatan mengenai hal itu. Sebagai kemutlakan di dalam penegakan hukum yang sudah jelas, tepat dan tegas demi kebaikan bersama. Sebagaimana ungkapan Cornelis van Vollenhoven bahwasanya “a good legal decision, if it prioritizes common interests”. Karena bangsa ini tidak butuh “segerombolan preman beragama” yang hanya membuat onar dan merusak tatanan yang sudah ada. Sekalipun mereka dalam kenyataan, masih cukup lincah di dalam memainkan agama sebagai kendaraan untuk bergerak liar seperti meneriakkan “Islam bersatu” Islam bersaudara”.

Masyarakat tidak akan pernah lagi bisa tertipu dengan “model lawasan” yang semacam ini. Kita semuanya tercerahkan dengan ungkapan Ibnu Rusyd bahwasanya “untuk menguasai orang bodoh, cukup dengan membungkus sesuatu yang (batil) dengan agama”. Dari sini kita sadar, bahwa hanya orang bodoh yang mampu dan mudah dimanfaatkan sebagai “prajurit politik” oleh segelintir preman agama yang kini tidak “bersertifikat” tersebut. Dia selalu membentuk “skandal politik” agama demi tujuan-tujuan kekuasaan. Menyuguhkan bara api agama di dalamnya. Tentu hanya orang yang mental agamanya rapuh Weak mentally bisa terjerumus dengan tipu daya kelompok ini.

Kita akan melihat, menyimak dan mengamati babak baru FPI yang akan berkeliaran lagi di negeri ini. Setelah dibubarkan, dia akan ber-kelindan. Mereka memiliki “hajatan” untuk menghidupkan kembali ormas dengan nama yang berbeda. Seperti asalnya Front Pembela Islam, menjadi Front Persaudaraan Islam atau Front Persatuan Islam.

Pada intinya, mereka memiliki konsepsi, misi dan dasar ideologi yang sama. Tetapi hanya label dan nama yang akan berubah. Itu-pun mereka tidak akan mendaftarkan diri secara hukum. Terkait perizinan sebuah organisasi di dalam melakukan segala aktivitasnya. Mungkin mereka akan memperkuat tubuh barunya dengan cara-cara yang ilegal. Dengan memanfaatkan retorika “demokrasi” atau hak kebebasan sebagai warga-negara untuk melakukan segala aktivitas yang ada.

Taktik Baru dan Reuni Tim Seperjuangan  

Mereka mungkin akan mencari teman seperjuangan seperti kelompok HTI, Terorisme-radikalisme nyata maupun kelompok lain yang juga sama-sama dibubarkan. Pun juga mereka satu frekuensi di dalam menghancurkan stabilitas, keamanan dan kenyamanan bangsa ini. Karena,  secara perizinan hukum mereka sudah tidak ada, tentu mereka akan bergerak dalam situasi dan kondisi yang tertekan. Tanpa ruang dan dukungan dari pemerintah.

Mereka mungkin agar bersatu mencari strategi-strategi yang lama maupun strategi yang baru mereka. Tetapi pada kenyataan yang ada. Mereka akan berkeliaran dalam ranah keagamaan. Mereka akan memperkuat diri mereka masing-masing dengan mempertebal baju-baju agama mereka. Supaya, “akal busuk” yang mereka miliki tidak tampak sebagai kezhaliman. Tetapi akan tampak sebagai kebenaran yang akan menguntungkan mereka dan akan menghancurkan kehormatan agama mereka. Begitulah kira-kira cara kerja preman beragama.            

Dari sini akan terjadi semacam “kaderisasi” massa baru lagi. Biasanya, kelompok ini selalu memiliki “jurus jitu” agama sebagai bahan bakunya dan fitnah serta kebencian menjadi bumbunya. Mereka akan mengolahnya menjadi sebuah makanan pokok bagi mereka yang kelaparan akan nilai-nilai agama. Mereka akan disuguhi dengan berbagai macam pembaiatan suci. Apakah tentang penegakan keadilan, berjuang di jalan Allah SWT atau bahkan menumpas-kan angkara murka di negeri ini.

Segerombolan penjahat bangsa ini akan menjadikan agama dan realitas sosial menjadi kekuatan inti. Mereka mulai diceritakan tentang negeri ini yang “katanya” penuh ketidakadilan, kebiadaban dan kemerosotan lainnya. Sehingga, mereka akan mengajak kaum beragama untuk ikut andil bersama laskar jihad mereka untuk menghancurkan pemerintahan saat ini dan terus berbuat kerusakan.            

Tetapi ketahuilah. Bahwa pada titik yang paling terdalam. Kita semua sepakat bahwa hidup damai itu sangatlah indah. Menjalani aktivitas sosial masing-masing dengan kesadaran untuk saling menghargai satu sama lain merupakan sebuah kebahagiaan. Akankah kita akan mendukung sesuatu yang sebetulnya itu justru merebut ketenangan, ketenteraman dan kenyamanan kita bersama? Sekalipun mereka selalu menggaungkan nilai-nilai agama yang sebetulnya itu hanyalah alat untuk membuat kita tertarik. Di sinilah kita sebetulnya akan menjadi “inang boneka” mereka yang tidak tahu malu telah mengorbankan agama-Nya demi hasrat politiknya.

This post was last modified on 7 Januari 2021 12:21 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Refleksi Hari Kebangkitan Nasional : Bangkit Melawan Intoleransi Berbasis SARA

Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei merupakan tonggak penting dalam sejarah Indonesia.…

2 jam ago

PBB Sahkan Resolusi Indonesia Soal Penanganan Anak Terasosiasi Teroris: Kado Istimewa Hari Kebangkitan Nasional untuk Memberantas Terorisme

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya mengesahkan sebuah resolusi penting yang diusulkan oleh Indonesia, yakni resolusi yang…

2 jam ago

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

3 hari ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

3 hari ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

3 hari ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

3 hari ago