Narasi

Badai Remaja, Radikalisme, dan Islam Washatiyah

Di era digital, kaum radikalis menjadikan remaja sebagai sasaran ajaran ‘sesat’. Hanya dengan memanfaatkan media sosial, situs, dan juga berbagai fitur virtual, kaum radikalis ‘merangkul’ remaja. Radikalisme disebar dengan gencar, dan disambut milenial yang merupakan digital native dengan sangat terbuka. Alhasil, belajar agama hanya melalui internet harus menjadi kewaspadaan bersama. Jangan sampai, remaja yang memiliki ghirah untuk belajar agama tersesat dengan pengetahuan agama yang sengaja dimodifikasi oleh kaum radikal.

Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin tidak mengajarkan kekerasan, radikalisme, atau bahkan terorisme. Bagi remaja yang tumbuh di lingkungan Islam washatiyah, tentu mereka dapat dengan mudah tumbuh menjadi pribadi yang cinta damai. Kerangka berpikir toleran dan berkeadilan pun akan mudah tumbuh dalam jiwa mereka. Namun sebaliknya, bagi remaja yang tumbuh di lingkungan tak kondusif, bahkan pernah terjebak dalam juvenile deliquency (kenakalan remaja), maka kerangka berpikir toleran dan berkeadilan akan sulit teraktulisasi dalam sikap. Hal inilah yang menjadi kabar ‘lega’ bagi kaum radikal untuk merekrut remaja dan memberinya pemahaman yang dangkal agama secara sengaja.

Dengan pemberian pemahaman agama yang dangkal, kaum radikalis  berharap bahwa generasi muda dapat dimanfaatkan sebagai tokoh pengacau dan penebar benih-benih kekejaman, intoleransi, dan permusuhan. Remaja adalah sasaran utama target radikalisasi. Stanley Hal yang sejak puluhan tahun lalu mengemukakan pernyataan bahwa masa remaja adalah masa storm and stress (badai dan tekanan). Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada masa peralihan ini, remaja sering mengalami krisis identitas. Jika remaja tidak mendapatkan penghargaan dan apresiasi atas sikap baiknya, maka bisa jadi mereka akan melakukan perilaku buruk agar mendapatkan apresiasi dan perhatian.

Baca Juga : Generasi Muslim Instan yang Militan

Rupanya, pola tersebut menjadi strategi bagi kaum radikal. Melalui kedekatan di dunia virtual, kaum radikal merekrut melalui media sosial bahkan akun pribadi demi memberikan pengetahuan agama yang dangkal. Ajaran Islam damai mereka belokkan demi menyesatkan generasi muda untuk berperilaku radikal. Remaja yang notabena mendapat perlakuan tak menyenangkan dari pihak keluarga, tetangga, dan lingkungan sosial akan diperlakukan ‘manis’ oleh kaum radikal. Alhasil, seolah terhipnosis oleh kaum radikal, para remaja dapat terbuai rayuan dan melakukan perilaku radikal, bahkan termasuk terorisme.

Kesiapan kaum radikal dalam ‘menyayangi’ remaja yang sedang berada dalam tahap krisis inilah yang perlu kita garis bawahi bersama. Jangan sampai, remaja yang sedang berada dalam krisis identitas dan terjebak dalam kenakalan remaja luput dari perhatian kita bersama. Ormas NU dan Muhammadiyah, sebagai contoh konkret Islam washatiyah harus hadir untuk menyelamatkan remaja yang berada dalam masa badai krisis pencarian identitas. Keduanya harus ‘merengkuh’ remaja yang mungkin dipandang sebelah mata oleh masyarakat karena sikap buruknya. Jangan sampai, remaja yang mengalami badai tersebut direbut oleh kaum radikal dan diberikan pemahaman agama instan nan dangkal dan menyesatkan. Sudah saatnya, ormas-ormas Islam washatiyah hadir untuk merengkuh dan lebih peduli pada remaja yang mungkin pernah ‘salah langkah.’

Remaja yang sering dilabel ‘nakal’ bukan berarti tak memiliki potensi kebaikan. Seringkali, mereka bersikap negatif karena ketika mencoba berperilaku poisitif, mereka tak mendapatkan perhatian dari keluarga. Alhasil, demi mendapatkan perhatian dan demi mengekspresikan rasa frustrasi, mereka berperilaku buruk. Sudah saatnya, ormas Islam washatiyah pun menjadikan remaja sebagai fokus lahan dakwah, baik melalui dunia nyata atau dunia maya.            

Ormas Islam washatiyah juga harus mampu mewadahi kreativitas remaja dengan tidak pandang bulu dan menghindari stigma negatif. Dengan begitu, potensi remaja akan terwadahi, dan mereka akan dapat belajar mengaktulisasikan moderasi beragama, toleransi, dan Islam berkeadilan yang rahmatan lil alamin. Ini bukanlah sebatas wacana, sebab kita yakin ormas washatiyah dapat melakukan tugas kaderisasi dengan sangat baik. Kunci dasarnya adalah, ormas Islam washatiyah harus memiliki komitmen yang sama untuk menumbuhkan laju dakwah yang toleran dan moderat kepada milenial. Wallahu’alam.

This post was last modified on 2 Juli 2020 3:20 PM

Nurul Lathiffah

Konsultan Psikologi pada Lembaga Pendidikan dan Psikologi Terapan (LPPT) Persona, Yogyakarta.

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

10 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

10 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

10 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

10 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago