Categories: Kebangsaan

Bahaya LGBT Dalam Bayang Terorisme

Perdebatan terkait LGBT memang tengah ramai diperbincangkan, sikap pro dan kontra berceceran dimana-mana. Padahal jauh sebelum isu ini meledak seperti sekarang, komunitas LGBT telah menjadi ancaman dan masuk dalam salah satu peringatan yang harus diwaspadai di akhir jaman. Namun perlu dijelaskan, bahwa LGBT yang dimaksud di sini tidak ada hubungannya sama sekali dengan seksualitas, karena kelompok LGBT di sini adalah “Lelaki Gendeng Berjenggot Tebal”.

Merebaknya fenomena kelompok teroris yang semakin giat menebar permusuhan dan kehancuran telah menjadi bahaya yang kini bercokol di depan mata. Kelompok teroris semacam ISIS misalnya, sudah mulai bergentayangan dan menebar ilusi-ilusi tanpa dasar di negeri ini. Janji-janji surgawi yang mereka tebarkan telah membuat sebagian dari kita lupa daratan hingga lupa untuk berbagi kebaikan.

Kelompok teroris sepertinya menguap ngantuk dengan berbagai kerukuran dan kedamaian yang terjadi dalam ruang keberagamaan kita, karenanya mereka menebar isu-isu permusuhan agar kita sibuk dengan berbagai pertikaian dan peperangan yang entah akan berakhir kapan. Dalam konteks ini, LGBT kerap dicitrakan sebagai kelompok yang sering memainkan peranan penting. Yakni dengan menyarukan penampilannya sedemikian rupa agar dikira benar-benar sedang menyampaikan ajaran agama, padahal apa yang mereka lakukan tidak lebih dari sekedar penyaluran birahi kegilaan semata.

Kepala mereka dipenuhi oleh Ide-ide gila yang meyakini bahwa pintu surga hanya akan dibukakan kepada siapa saja yang doyan kekerasan. Tentu ini bukan perkara jenggot tebal, tetapi pola pikir yang terus-terusan bebal. Bukan pula sebatas celana cingkrang, cadar, atau jidat hitam, tetapi pola pikir yang anti terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Islam menghargai perbedaan, termasuk perbedaan dalam berpenampilan. Batasan yang dikenal dalam Islam untuk urusan penampilan ini hanya ada dua, yakni aurat dan kesombongan. Memelihara jenggot panjang misalnya, tidak akan menjadi masalah selama hal itu tidak dimaksudkan untuk menyombongkan diri.

Jangan mentang-mentang jenggot sendiri sudah melintir, orang lain yang berpenampilan beda langsung dianggap kafir.

Dan entah kenapa, gambaran agama yang keras, pedas dan nggak banget ini banyak ditampilkan oleh orang-orang yang sibuk mendandani diri dengan model-model penampilan seperti disinggung di atas, meski tentu tidak semua. Akibatnya, agama seperti tercerabut dari budaya, seolah ia adalah sesuatu yang langsung tumpah dari langit tanpa ada peran tradisi dan budaya untuk membantu menterjemahkannya.

Tanpa bantuan tradisi dan budaya dalam menterjemahkan bahasa tuhan, agama terasa semakin menyeramkan. Berbagai tindak pengkafiran, hujatan penuh kebencian, hingga pecahnya pertikaian dan bahkan terorisme, merupakan contoh nyata betapa bahasa agama terlalu susah untuk ditelan mentah-mentah.

Fenomena meningkatnya kelompok dengan dandanan kearab-araban yang ada di sekitar kita saat ini hanyalah salah satu bukti sulitnya menelan bahasa agama tanpa perantara apa-apa.

Bagaimana dengan terorisme? Apakah pemuja kebrutalan itu adalah produk dari kegagalan memahami bahasa tuhan? Jawabnya tentu bukan. Terorisme tidak berasal dari kesalahpahaman, paham kekerasan ini bersumber dari penyalahgunaan bahasa tuhan. Mereka putar balik ajaran agama seenaknya demi menyenangkan kegilaan yang entah dari mana datangnya.

Citra kelompok jenggot tebal sebagai bagian dari gerakan terorisme terbangun sedemikian kuat karena pada awalnya kelompok teroris semacam Al Qaeda, ISIS, dll dipenuhi dengan figur-figur lelaki gendeng berjenggot tebal (LGBT) ini, karenanya tidak heran jika di kemudian hari muncul berbagai stigma buruk terhadap laki-laki yang memelihara jenggot. Seolah semua yang memelahara jenggot adalah teroris, padahal stigma ini jelas tidak masuk akal.

Tragedi bom di Thamrin Jakarta beberapa waktu yang lalu membuktikan hal itu, fakta bahwa pelaku teror saat itu tidak ada yang berjenggot menunjukkan dengan jelas bahwa pikiran ngeres letaknya di dalam kepala, bukan di jenggot. Karenanya bukan jenggot yang perlu diwaspadai, tetapi pola pikir ngeres yang ada di kepala, baik kepala dengan jenggot maupun tidak.

Radikalisme dan terorisme itu letaknya di otak dan hati, bukan di jenggot atau tanda hitam di dahi…

This post was last modified on 24 Februari 2016 4:48 PM

Khoirul Anam

Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), UGM Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Salafiyah Syafiyah, Sukorejo, Situbondo, Jatim dan Ponpes al Asyariah, kalibeber, Wonosobo, Jateng. Aktif menulis untuk tema perdamaian, deradikalisasi, dan agama. Tinggal di @anam_tujuh

Recent Posts

Masjid Rasa Kelenteng; Akulturasi Arsitektural Islam dan Tionghoa

Menarik untuk mengamati fenomena keberadaan masjid yang desain arsitekturnya mirip atau malah sama dengan kelenteng.…

2 bulan ago

Jatuh Bangun Konghucu Meraih Pengakuan

Hari Raya Imlek menjadi momentum untuk mendefinisikan kembali relasi harmonis antara umat Muslim dengan masyarakat…

2 bulan ago

Peran yang Tersisihkan : Kontribusi dan Peminggiran Etnis Tionghoa dalam Sejarah

Siapapun sepakat bahwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia tidak didominasi oleh satu kelompok berdasarkan…

2 bulan ago

Yang Diskriminatif adalah yang Jahiliyah

Islam melarang sikap diskriminasi, hal ini tercermin dalam firman Allah pada ayat ke-13 surat al-Hujurat:…

2 bulan ago

Memahami Makna QS. Al-Hujurat [49] 13, Menghilangkan Pola Pikir Sektarian dalam Kehidupan Berbangsa

Keberagaman merupakan salah satu realitas paling mendasar dalam kehidupan manusia. Allah SWT dengan tegas menyatakan…

2 bulan ago

Ketahanan Pangan dan Ketahanan Ideologi : Pilar Mereduksi Ekstremisme Kekerasan

Dalam visi Presiden Prabowo, ketahanan pangan menjadi salah satu prioritas utama untuk mewujudkan kemandirian bangsa.…

2 bulan ago