Narasi

Batik, Kearifan Lokal Pemersatu Bangsa

Batik merupakan salah satu kearifan lokal atau warisan budaya (heritage) sekaligus kekayaan budaya Indonesia yang telah lama dikenal tidak hanya lingkup nasional, tetapi juga dunia internasional. Tradisi luhur ini sarat menyimpan sejuta kearifan yang mengakar kokoh secara substansial mulai dari ornamentasi dan harmonisasinya, proses pembuatannya, hingga makna filosofis dalam setiap goresannya. Secara tidak langsung, adikarya bangsa ini mampu membangkitkan ruh semangat dalam menjalankan kehidupan ini. Batik juga mampu menjadi alat pemersatu dan mempererat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukti nyata, bahwa batik telah membudaya dari Sabang sampai Merauke, diproduksi di setiap daerah dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai tradisi. Batik meskipun berakar dari Jawa telah meluas menjadi budaya Indonesia.

Kalau kita berkaca pada sejarah, tradisi batik ini telah lama ada sejak pada zaman Kerajaan Majapahit dan kemudian terus berkembang ke kerajaan-kerajaan berikutya, termasuk Kerajaan Mataram (Yogyakarta). Pada masa itu, batik bukan sekadar seni untuk melatih keterampilan lukis ataupun sungging saja. Tapi lebih dari pada itu, teknik perintang warna ini sejatinya sarat dengan makna, terutama dalam aspek pendidikan etika dan estetika bagi kaum wanita. Batik menjadi entitas budaya penting dalam kehidupan karena telah terjalin erat mengikat kuat dalam lingkaran hidup masyarakat sosial.

Batik kemudian meluas menjadi milik rakyat Indonesia khususnya suku Jawa pada awal abad ke-19. Setelah melalui rangkaian sejarah panjang, pada 2 Oktober 2009 di Prancis, UNESCO menetapkan batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia nirwujud (Intangible Global Cultural Heritage). Kemudian Badan Kerajinan Dunia (World Craft Counsil/WCC) menobatkan DIY sebagai Kota Batik Dunia (The World’s Batik City) yang digelar pada 18-24 Oktober 2014 di Zhejiang, Tiongkok.

Corak/motif batik yang sangat khas turut memberikan sumbangsih khasanah budaya bangsa ini. Tapi meskipun demikian, tugas berat kita selanjutnya yaitu menjaga predikat ini supaya tetap dipertahankan. Pasalnya, seiring dengan kemajuan teknologi, ada kekhawatiran batik mulai ditinggalkan para peminatnya serta tersisihkan oleh serbuan pakaian impor luar negeri.

Tanda-tanda kegelisahan ini pun mulai terlihat, ketika para generasi muda sebagai penerus estafet tongkat perjuangan batik, malah justru lebih menyukai trend gaya pakaian luar negeri. Mayoritas para pengrajin batik yang ada saat ini juga merupakan orang yang sudah lanjut usia. Para generasi muda enggan melirik keterampilan ini. Belum lagi pada ranah produksi, dimana industri-industri batik kecil ataupun menengah yang merupakan motor penggerak utama produksi batik malah justru terlihat lesu. Kemudian perusahaan-perusahaan konveksi skala besar juga cenderung mengikuti pangsa pasar dalam memproduksi produk pakaiannya. Hadirnya batik cap/printing juga menjadi problem tersendiri yang turut mengusik nasib keberlangsungan batik tulis ke depannya.

Melihat kompleksitas permasalahan di atas, sudah saatnya kita sadar sebagai bangsa pewaris tradisi luhur ini, cinta dan peduli terhadap batik. Setidaknya ada tiga pilar sebagai upaya melestarikan batik.

Pertama, rakyat sebagai konsumen, secara moral tidak hanya cinta dan bangga pada batik semata, tetapi juga harus terhabituasi dalam penggunaan sehari-hari.

Kedua, pemerintah yang secara politik mendorong dan melindungi batik melalui UU dan keputusan politik. Implementasi regulasi seperti Pergub DIY No. 87/2014 yang menginstruksikan penggunaan pakaian tradisional bagi pegawai pemerintah harus nyata dijalankan dan ditiru daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Ketiga para pelaku bisnis mulai dari industri rumah tangga, UMKM, sampai perusahaan sebagai produsen secara ekonomi harus bahu membahu memproduksi batik tulis yang bermutu dan berdaya saing sehingga diminati konsumen.

Untuk menunjang hal ini tentu dibutuhkan SDM yang berkualitas, sarana dan prasarana yang memadai, dengan ditopang pondasi manajemen dan pemasaran yang bagus.

Ketiga pilar di atas bahu membahu dan bersinergi dalam melestarikan batik. Pelestarian batik mengandung makna perlindungan, konservasi, pengembangan, dan pemanfaatannya. Artinya, tidak hanya sekadar aksi melindungi atau menjaga batik yang sudah ada. Melainkan juga, meliputi penempatan batik dalam konteks kekinian dalam rangka menjaga eksistendinya tanpa merubah nilai-nilai dasarnya.

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

View Comments

Recent Posts

Denyut Nadi ISIS di Nusantara

Mengutip laporan Washington Post, seperti dikutip oleh Kompas, ISIS masih memiliki sekitar 10.000 pejuang aktif…

6 jam ago

Membedah Strategi Propaganda ISIS Generasi Baru di Indonesia

Penangkapan sejumlah terduga teroris oleh Densus 88 beberapa hari lalu seharusnya tidak lagi kita baca…

7 jam ago

Mempertahankan Narasi Islam Moderat di Tengah Tantangan Ideologis

Gerakan yang terafiliasi dengan ISIS kini menghadirkan tantangan baru dalam ranah ideologi. Dulu, kelompok ini…

10 jam ago

Membongkar Misi JAD; Menjadikan Nusantara Sebagai Provinsi Resmi ISIS

Jamaah Ansharud Daulah alias JAD tidak bisa dianggap sepele. Organisasi yang didirikan oleh Oman Abdurrahman…

1 hari ago

Benarkah Islam Nusantara dan Moderasi Beragama Adalah Agenda Barat untuk Melemahkan Islam?

Kelompok ekstremis itu bergerak di dua ranah. Ranah gerakan yang fokus pada perencanaan dan eksekusi…

1 hari ago

Migrasi ISIS ke Ranah Virtual: Bagaimana Ikonografi Menjadi Medium Pencitraan Ekstremisme?

Beberapa hari lalu, Detasemen Khusus 88 menangkap empat terduga terorisme di Sumatera Utara. Keempatnya diketahui…

1 hari ago