Keagamaan

Bela Negara VS Bela Agama

Pendidikan bela negara yang sejak awal dicanangkan oleh Menteri pertahanan Riyamizard Ryacudu direspon masyarakat secara pro dan kontra di awal kemunculannya. Bagi yang memahami konsep bela negara secara komprehensif, tentu mereka berharap agar program ini tidak hanya sebatas wacana, sebab generasi muda dan masyarakat Indonesia pada umumnya saat ini, tidak sedikit yang tidak memiliki semangat dalam membela negara, tidak lagi punya semangat patriotisme dalam menjaga kelangsungan hidup bernegara, semangat yang sebagaian pemuda miliki adalah mewacanakan bentuk negara dan menolak Pancasila dan demokrasi dalam kehidupan bernegara, bahkan tidak sedikit kalangan harapan bangsa mengharamkan demokrasi dan menganggap aparat pemerintah sebagai ‘thogut’.

Bagi yang tidak memahami konsep bela negara tentu akan cenderung menolak, atau memahaminya secara salah, yakni dengan menyamakan bela negara dengan wajib militer. Dua hal ini tidak bisa disamakan; bela negara merupakan tanggung jawab setiap warga negara yang memiliki pemahaman akan pentingnya upaya mempertahankan keutuhan negara Indonesia sebagai negara bangsa, sementara wajib militer yang telah diemban oleh aparat keamanan negara, wajib militer bagi seluruh warga negara hanya akan menjadi wajib diikuti jika negara dalam  keadaan perang.

Pendidikan bela negara secara kontekstual tidak hanya mengacu kepada kegiatan fisik semata atau yang dipahami oleh banyak masyarakat sebagai pelatihan semi militer yang dilengkapi dengan baju seragam loreng lengkap dengan sepatu dan tas ranselnya, minus senjata. Pendidikan bela negara menitik beratkan pada pemusatan perhatian pada setiap profesi masing-masing warga negara yang bermuara pada penguatan wawasan kebangsaan yang utuh di bawah naungan NKRI, serta pemguatan mental bermasyarakat sebagai masyarakat yang berada di bawah persatuan di tengah keragaman dan tetap memelihara segala macam bentuk keragaman dalam persatuan.

Pendidikan bela negara harus terus digalakkan, diajarkan dan disosialisasikan kepada segenap lapisan masyarakat terutama kepada semua kalangan generasi muda yang banyak tidak memahami sejarah perjuangan bangsa, tidak memiliki rasa kebangsaan sebagai bangsa yang besar, bangsa yang dikagumi banyak negara dengan potensi geografis yang terbentang dengan 17. 530 pulau dan potensi demografis sejumlah 250 juta jiwa dan sumber daya alam yang melimpah.

Fenomena meningkatnya jumlah warga negara Indonesia yang berimigrasi ke banyak wilayah konflik pada banyak negara seperti ke negara konflik Syiria, Iraq, Turki merupakan bukti nyata terkikisnya rasa kebangsaan, rasa keIndonesiaan dan rasa kebhinnekaan yang jauh lebih aman, tenteram dan damai dibandingkan dengan negara yang dituju dengan tujuan berhijrah yang jauh dari harapan teks suci yang menjelaskan hakekat sesungguhnya dari hijrah.

Pendidikan bela negara, pada satu sisi, sejatinya bukan hanya ditujukan kepada segenap kaula muda yang lahir dengan zaman yang jauh berbeda dengan zaman para pejuang bela negara dan patriot pembela negara dari segala macam bentuk jajahan dari imperialisme, pada sisi lain, penanaman nilai-nilai bela negara juga harus ditanamkan kepada seluruh warga negara Indonesia yang berada di luar negeri agar sense of nationality tidak terkikis oleh tarikan magnit kehidupan di negara mereka berada. Di sinilah makna kontekstual pendidikan bela negara yang tidak hanya mengarah pada pembentuk fisik yang tangguh dan kuat akan tetapi lebih kepada pembentukan sikap mental yang kokoh dan tangguh bagi ketahanan nasional demi pembangunan nasional.

Bela Agama yang menistakan Keberagamaan

Agama sebagai doktrin dan seperangkat norma dan aturan, wajib diyakini oleh masing-masing pemeluknya dengan dasar keyakinan yang teguh dan keimanan yang kokoh. Pada sisi lain, agama juga merupakan objek kajian yang tidak menutup diri untuk dikaji, diteliti, dianalisa dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan masa. Konsep beragama selalu terbuka untuk dikembangkan dan diinterpretasi secara akomodatif, akulturatif dengan senantiasa memadukan antara potensi rasio, kecerdasan intelektual dengan keserdasan emosional spiritual.

Agama diturunkan oleh Allah swt bukan untuk dinistakan karena sarat dengan nilai-nilai yang mengatur tatanan kehidupan yang sifatnya duniawi hingga ukhrawi, hanyalah hamba yang tidak kacau hidup dan pikirannya yang dikatakan umat beragama karena agama bermakna tidak kacau. Seluruh umat manusia yang memiliki agama tentu berlomba menciptakan suasan yang damai, sejuk, tenteram dan tidak kacau, lebih-lebih tidak mengacaukan.

Demikian pula sebaliknya, agama dikaruniakan oleh Allah kepada umat manusia untuk ditaati, dipatuhi dan dilaksanakan. Agama tidak untuk dibela atau beraksi secara anarkis dengan mengatasnamakan agama. Allah yang menurunkan agama, tentu Dia-lah yang memeliharanya, tugas manusia mematuhi dan menjalankan dengan penuh keyakinan untuk kemaslahatan, keselamatan umat itu sendiri. Tuhan menurunkan agama bukan semata untuk disembah karena membutuhkan sesembahan, tetapi menjadi ujian bagi manusia agar dapat mensyukuri karunia Ilahi. Kekuasaan Allah tidak akan bisa berkurang jika seluruh manusia tidak menyembah-Nya.

Aksi bela agama yang hanya dilandasi emosi semata justru melahirkan penistaan agama itu sendiri. Cara cerdas yang diharapkan dalam pembelaan agama adalah setiap penganut agama kinsisten melaksanakan dan menginternalisasikan nilai agama dalam bertutur dan berkata, bukan teks agama yang harus dipaksakan sesuai dengan keinginan karena pada akhirnya teks agama hanya akan menjadi bahan legitimasi terhadap prilaku yang tidak agamis atau beraksi menghancurkan nilai kemanusiaan dengan mengatasnamakan ajaran agama.

Membela agama harus sesuai hakekat dan tujuan beragama itu sendiri agar tatanan kehidupan manusia tetap terpelihara, terjaga dalam keragaman dan beragama dalam kesatuan, sebab sekalipun kita menyaksikan banyak macam agama dan ragam keyakinan bukan tugas kita menyimpulkan sesat tidak sesatnya seseorang, yang pasti di tengah beragamnya keberagamaan masih lebih banyak persamaan dibanding dengan perbedaan. Perbedaan diketahui bukan untuk dibesar-besarkan sebab dapat melahirkan gesekan dan pertikaian bahkan prilaku anarkisme dalam masyarakat antar sesama umat beragama baik intra umat beragama maupun antara umat beragama.

Persamaan yang terdapat dalam banyak ragam beragama dan keberagamaan perlu dipahamai dan diketahui agar kita duduk sejuk bersama dalam kebersamaan, bersama mencari jalan keluar dari ketergantungan, bersama menemukan solusi dari kemiskinan dan ketergantungan, bersama merumuskan strategi pemberdayaan masyarakat, bersama merencanakan kebijakan terhadap kondisi masyarakat yang semakin menjauh dari sumbu kehidupan manusia.

Mengapa ada kecenderungan berlaku anarkis dalam membela agama? Prilaku anarkisme bukan sebuah pembelaan terhadap nilai luhur yang terdapat dalam sebuah agama, anarkisme sebaliknya justru makin memperburuk citra sebuah agama, padahal bukan agama yang anarkis, akan tetapi sebagian oknum sekelompok penganut agama yang mengatasnamakan agama. Perilaku anarkisme bukanlah perintah semua agama melainkan prilaku oknum atau pihak yang sedang mencari jati diri dalam beragama.

Sama halnya jika kita menemukan orang yang melaksanakan ajaran agama yang tidak sesuai dengan tuntutan agama itu sendiri, mereka sedang mencari jati diri, mereka sedang berjuang memenuhi tuntutan prilaku yang menurut ajaran agama yang diyakininya benar. Di sinilah peran dan strategi dakwah yang harus terus dimodifikasi guna memenuhi dan menghadapi tantangan dan kegalauan yang sedang dirasakan oleh banyak manusia yang merindukan kehadiran agama dalam kehidupan mereka yang jauh dari prilaku anarkisme, kebencian, dan saling menyesatkan antar sesama manusia ciptaan terbaik Tuhan.

Gerakan nasional atau Internasional membela agama sejatinya berlomba menghayati dan mengamalkan ajaran agama secara kaffah, komprehensif dan holistik, bukan prilaku beragama yang cenderung menggugurkan kewajiban dalam menjalankan segala kewajiban dalam beragama kemudian diperparah dengan prilaku anarkisme kepada yang tidak sesuai pemahaman dan interpretasi yang diyakininya. “Hati-hati agar tidak mudah dikuasai marah karena aliran darah dalam tubuh mengalir penuh keramahan, bukan kemarahan”.

On Board Jakarta – Riyadh via Dubai by Emirates. Selasa 10 Januari 2017.

Irfan Idris

Alumnus salah satu pesantren di Sulawesi Selatan, concern di bidang Syariah sejak jenjang Strata 1 hingga 3, meraih penghargaan dari presiden Republik Indonesia pada tahun 2008 sebagai Guru Besar dalam bidang Politik Islam di Universitas Islam Negeri Alauddin, Makasar. Saat ini menjabat sebagai Direktur Deradikalisasi BNPT.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

9 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

9 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

9 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

9 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago