Editorial

Mewaspadai Agenda Radikalisme dalam Berita Hoax

Media sosial menjelma menjadi arena pertarungan baru bagi perang opini yang tidak lagi konstruktif, tetapi justru saling menikam dan menanamkan kebencian. Dalam pertarungan tersebut berita bohong dan menyesatkan (hoax) menjadi senjata yang sangat diandalkan. Berita hoax mudah viral di tengah masyarakat yang “malas” memeriksa kembali validitas konten dan kredibilitas sumber berita.

Sesaknya berita dan konten hoax di dunia maya merupakan tantangan bagi kemajemukan dan perdamaian bangsa. Pasalnya hoax telah menjadi sarana efektif dan modus bagi penyebaran narasi radikalisme di tengah masyarakat. Kelompok dan organisasi radikal sangat rajin membangun narasi untuk membentuk opini sesat masyarakat melalui berita hoax yang mudah viral. Banyak cara mereka lakukan dengan menunggangi isu-isu nasional yang disesatkan tanpa sumber jelas dan konten yang bisa dipertanggungjawabkan. Apa yang kita takutkan adalah jika ada asumsi bahwa berita viral merupakan kebenaran entah konten itu sebuah fakta atau hanya fiktif.

Tahun 2016 yang lalu kita semua menjadi saksi betapa konten hoax berkeliaran tanpa kontrol dan anehnya menjadi sumber dan konsumsi utama bagi masyarakat. Jika kita amati sebenaranya berita hoax tersebut memiliki agenda penanaman radikalisme di tengah masyarakat. Menjamurnya berita hoax menjadi pintu masuk bagi penyebaran narasi-narasi yang dapat meningkatkan tingkat radikalisasi masyarakat.

Narasi-narasi radikalisme yag dibungkus dalam konten hoax untuk menyesatkan masyarakat, setidaknya dapat dikategorikan dalam beberapa bentuk. Pertama, narasi militansi yang menanamkan kebencian terhadap yang lain (the other). Upaya menanamkan kebencian terhadap yang tidak seagama, tidak sekeyakinan, tidak sealiran, tidak sepaham dan bahkan tidak sependapat menjadi cukup kuat bertebaran di dunia maya. Bahkan sungguh menggelikan kadang masyarakat dipaksa tidak menggunakan akal sehat untuk membenci sebuah produk makanan yang dipandang tidak mendukung agenda mereka.

Kedua, narasi keterancaman kelompok dan umat terdzalimi. Narasi ini cukup kuat dikembangkan di dunia maya bahwa seolah umat agama tertentu sedang terancam oleh kebijakan negara yang tidak adil dan musuh yang terus mengintai. Dalam bungkus berita hoax, mereka membangun narasi seoah sedang ada agenda musuh untuk menggusur eksistensi umat di negara ini. Pemberitaan yang menggoreng emosi umat tersebut dibungkus bahwa negara sedang berpihak kepada kelompok lain yang memusuhi umat.  Pembelaan terhadap agama merupakan kewajiban di tengah umat yang terdzalimi. Kira-kira begitulah tujuan akhir yang diharapkan.

Ketiga, narasi intoleransi. Narasi yang mudah memecah belah umat sungguh menjamur dalam balutan berita hoax. Emosi keagamaan masyarakat mudah diprovokasi dengan berbagai peristiwa dan kejadian yang dapat menaruh curiga dan pra sangka terhadap kelompok keagamaan yang lain. Akibat gambar yang dipoles seolah menista keyakinan tertentu akan menjadi viral dan heboh di tengah masyarakat. Masyarakat dipaksa untuk selalu menaruh curiga dan gemar pra sangka buruk akibat posting konten hoax yang menggubah emosi keagamaan.

Keempat, narasi konspirasi. Narasi ini menjadi sangat popular terutama dalam kasus terorisme. Konspirasi dapat melemahkan ketahanan masyarakat dalam memandang terorisme sebagai ancaman masyarakat. Pasalnya dalam narasi yang mereka kembangkan terorisme serta kebijakan negara hanyalah rekayasa pemerintah dan negara asing. Kata “asing” menjadi cukup populer dihembuskan untuk mendeligitimasi kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam berita hoax yang dikembangkan seolah ada perselingkuhan asing dan pemerintah dalam kebijakan tertentu.

Menjadikan media sosial sebagai ajang fitnah, provokasi, hasutan dan ajakan kekerasan dalam balutan konten hoax merupakan strategi yang cukup efektif yang dikembangkan oleh kelompok dan organisasi radikal dalam rangka meradikalisasi masyarakat. Saat ini tidak perlu panggung dan podium khusus untuk menanamkan paham dan keyakinan sesat. Cukup berikan berita sesat untuk menyesatkan pikiran masyarakat.

Menjamurnya narasi radikalisme dalam berita hoax merupakan cermin kelemahan arus utama pandangan moderat dan visi kemajemukan dalam membendung masifitas gerakan ini di dunia maya. Karena itulah, butuh upaya bersama seluruh lapisan masyarakat untuk membangun kontra narasi radikalisme dengan meramaikan dunia maya dengan konten damai, toleran, kebhinnekaan dan wawasan kebangsaan sebagai pembanding bagi menjamurnya narasi radikalisme di dunia maya.

Tidak kalah pentingnya, di tengah gempuran konten radikal yang dibalut dalam berita hoax tersebut dibutuhkan kecerdasan masyarakat dalam menilai, memilah dan memilih konten yang bisa kredibel dan bisa dipertanggungjawabkan. Masyarakat harus mewaspadai fitnah, provokasi, hasutan, dan ajakan kekerasan yang dibungkus dalam manisnya berita hoax

This post was last modified on 16 Januari 2017 7:57 AM

Redaksi

Recent Posts

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

24 jam ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago

Tak Ada Wakil Tuhan dalam Politik: Mengungkap Bahaya Politisasi Agama Jelang Pilkada

Tidak ada satu-pun calon kandidat politik dalam pilkada serentak 2024 yang hadir sebagai “wakil Tuhan”.…

1 hari ago

Komodifikasi Agama dalam Pilkada

Buku Islam Moderat VS Islam Radikal: Dinamika Politik Islam Kontemporer (2018), Karya Dr. Sri Yunanto…

2 hari ago

Jelang Pilkada 2024: Melihat Propaganda Ideologi Transnasional di Ruang Digital dan Bagaimana Mengatasinya

“Energi besar Gen Z semestinya dipakai untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah. Gen Z jangan mau dibajak…

2 hari ago

Mengapa Beda Pilihan, Tetap Toleran?

Menyedihkan. Peristiwa berdarah mengotori rangkaian pelaksanaan Pilkada 2024. Kejadian itu terjadi di Sampang. Seorang berinisial…

2 hari ago