Hadist Nabi yang menyebutkan bahwa umatnya akan terpecah ke dalam 73 golongan dan hanya 1 golongan yang mendapat surga itu telah dipolitisasi sedemikian rupa. Banyak kelompok yang lantas mengklaim kelompoknya lah yang dimaksud dengan satu golongan yang akan diselamatkan Allah tersebut.
Ketika kecil, saya sering mendengar guru mengaji saya mengutip hadist tersebut. Menurutnya, yang dimaksud satu golongan itu adalah komunitasnya. Guru ngaji saya itu menyebut bahwa orang yang tidak suka tahlilan, ziarah kubur, dan selametan itu bukan ahlussunnah wal jamaah. Sedangkan kelompok lain itu masuk golongan yang 72 dan tersesat.
Namun, sewaktu kuliah, saya justru menemukan ustad yang berpendapat sebaliknya. Dalam sebuah kajian yang diadakan di masjid kampus, seorang ustad justru menyebut bahwa kaum yang suka tahlilan, ziarah kubur, dan selametan itu adalah ahli bid’ah bukan ahlussunnah.
Belakangan, ada lagi klaim bahwa siapa yang mengaku bagian dari Ahlussunnah harus mendukung khilafah. Alibinya adalah bahwa khilafah adalah doktrin politik Aswaja. Maka, siapa yang anti dan tidak mendukung khilafah secara otomatis keluar dari golongan ahlussunnah wal jamaah.
Perbedaan Khilafah Versi Hizbut Tahrir dan Ulama Aswaja
Klaim-klaim sepihak yang demikian ini jelas meresahkan, dan tentunya menyesatkan. Narasi yang menuding siapa pun yang tidak mendukung khilafah berarti bukan ahlussunnah itu sengaja diciptakan untuk menggiring opini umat. Dengan narasi itu, kaum konservatif tengah membangun keyakinan semu bahwa khilafah merupakan doktrin politik ahlussunnah.
Lantas, benarkah khilafah adalah doktrin politik Aswaja? Sebelum menjawab pertanyaan itu, penting kiranya kita menjernihkan dulu ihwal definisi khilafah. Harus diakui bahwa definisi tentang khilafah ini masih menjadi polemik.
Jika kita merujuk pada pendapat para ulama ahlussunnah, khilafah diartikan sebagai konsep kepemimpinan. Dalam makna ini, khilafah bersinonim dengan istilah imamah, amirul mukminin, dan ulil amri. Jika mengacu pada definisi ini, maka khilafah adalah ajaran Islam. Artinya, Islam menyeru pada umatnya untuk mengangkat seorang khilafah alias pemimpin.
Namun, dalam diskursus siyasah Aswaja, model pemerintahan dan bagaimana pemilihan seorang khilafah itu tidak ada aturan baku. Sistem pemerintahan dan cara pemilihan pemimpin merupakan wilayah ijtihadiyah yang dinamis alias selalu berubah menyesuaikan ruang dan waktu.
Di masa kekhalifahan, banyak Ahlusunnah yang mendukung sistem pemerintahan ala kerajaan (monarki). Sebut saja salah satunya, yakni Al Mawardi yang menulis kitab Al Ahlam Al Sulthaniyyah.
Dukungan pada sistem kerajaan itu lebih didasari oleh realitas politik kala itu dimana sistem kerjaan adalah model pemerintahan mainstream di dunia Islam. Namun, bukan berarti para ulama Aswaja mewajibkan sistem khilafah bagi seluruh umat Islam.
Definisi khilafah oleh para ulama Aswaja ini tampaknya berbeda dengan konsep khilafah seperti yang digembar-gemborkan oleh organisasi transnasional, seperti Hizbut Tahrir. Bagi Hizbut Tahrir, khilafah adalah sistem pemerintahan baku yang wajib didirikan oleh umat Islam tanpa kecuali.
Konsep Khilafah Hizbut Tahrir Berlawanan dengan Ahlussunnah
Dalam doktrin Hizbut Tahrir, khilafah harus ditegakkan dengan cara apa pun termasuk, merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah. Khilafah ala Hizbut Tahrir adalah imperium pemerintahan Islam yang menguasai seluruh wilayah di dunia. Siapa yang berhak menjadi Khalifah tertinggi itu sepenuhnya ditentukan oleh Hizbut Tahrir itu sendiri. Konsep khilafah Hizbut Tahrir ini tentu berbeda 180 derajat dengan konsep khilafah ala ulama Aswaja.
Maka, kembali ke pertanyaan di atas, apakah menolak khilafah berarti keluar dari Aswaja? Jawabannya jelas tidak! Selama yang ditolak adalah konsep khilafah Hizbut Tahrir yang pro-kudeta, pro-kekerasan, dan bertendensi memaksa seluruh bangsa dan negara tunduk pada mereka. Pendek kata, menolak konsep khilafah ala Hizbut Tahrir tidak membuat muslim keluar dari golongan Aswaja.
Justru sebaliknya, muslim yang mengaku Aswaja harus menolak khilafah ala Hizbut Tahrir. Khilafah Hizbut Tahrir itu tidak diajarkan dalam doktrin politik Aswaja. Memang, doktrin Aswaja membuka kemungkinan bagi munculnya ijtihad dalam wilayah siyasah. Namun, ijtidah siyasah itu harus sesuai kaidah Islam. Apa saja kaidah Islam dalam hal siyasah?
Pertama, menjaga keamanan bangsa dan negara dengan mengakui dan patuh pada pemerintah atau pemimpin yang dipilih dan diangkat secara sah. Dalam poin ini, Hizbut Tahrir memiliki doktrin sebaliknya. Mereka menghalalkan kudeta dan pemberontakan demi menegakkan khilafah. Tentu, ijtihad yang seperti ini bertengangan dengan Islam Aswaja.
Kedua, siyasah atau kekuasaan itu dipergunakan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, bukan untuk mendominasi, apalagi menindas umat manusia. Maka, doktrin siyasah Aswaja tidak menoleransi adanya model pemerintahan otoriter. Pada poin ini, Hizbut Tahrir juga bertolak belakang dengan doktrin siyasah ulama Aswaja.
This post was last modified on 15 Januari 2025 3:33 PM
Dalam dinamika keagamaan di Indonesia, wacana mengenai identitas keislaman selalu menjadi topik hangat, terutama dalam…
Terminologi Al Jamaah telah menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama dan umat Islam pada umumnya.…
Sepekan terakhir, media massa internasional dan nasional memberitakan tentang bencana kebakaran yang melanda Los Angeles.…
Salam Damai, Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Edisi Perdana e-Journal…
Mata saya terbelalak ketika tengah menggulir lini masa media sosial Instagram. Di laman explore saya…
Ahlu Sunnah wal Jamaah (Aswaja) adalah istilah yang merujuk pada kelompok mayoritas umat Islam yang…