Pilkada yang dilakukan serentak pada 27 Juni 2018 lalu telah memunculkan sosok-sosok pemimpin baru. Sebagai negara demokrasi, tentu masa depan Indonesia amat bergantung dengan hasil dari pemilihan umum (dalam hal ini, pemilihan kepala daerah). Karena, melalui tangan pemimpin terpilih inilah, kebijakan-kebijakan akan dirumuskan lalu diaplikasikan di masyarakat. Jika dari tataran pemimpinnya saja tidak beres, maka kebijakan yang dihasilkan pun tidak beres. Sehingga, dalam tataran praktik, akan ada banyak masalah yang justru merusak tatanan sosial kemasyarakatan.
Kita tahu, semenjak reformasi pecah, banyak kelompok-kelompok radikal-fundamental mulai bermunculan. Sebenarnya, jauh sebelum reformasi, benih-benih radikalisme telah lama tumbuh di tanah Nusantara. Momentum reformasi hanyalah pintu awal buat mereka tampil eksis di publik, dengan harapan bisa menarik simpati dan dukungan publik.
Sebagai muslim, kita tentu tidak ingin Indonesia bubar lantaran ulah gerakan radikalisme-terorisme. Berbagai tragedi bom bunuh diri telah cukup menjadi bukti laten terorisme yang berbahaya. Tidak hanya merusak fasilitas publik saja, lebih dari itu menjadi trauma mendalam bagi yang mengalaminya ataupun yang melihat langsung kejadian tersebut. Lebih jauh, Islam yang hakikatnya rahmatan lil ‘alamin, perlahan dianggap memiliki wajah yang seram dan kejam. Hal ini lantaran pelaku-pelaku bom bunuh diri adalah orang Islam, yang memiliki pemahaman keras.
Tentu kita sepakat bahwa penanganan dini terhadap laten radikalisme-terorisme adalah langkah yang tepat untuk melindungi segenap warga negara dari ancaman teror. Maka dari itu, pemimpin baru mesti sensitif terhadap isu radikalisme-terorisme. Masukanlah isu pemberantasan benih radikalisme-terorisme ke dalam kebijakan baru, untuk lima tahun ke depan. Lebih-lebih, jika mengingat bahwa terorisme merupakan salah satu dari kejahatan luar biasa yang berdampak pada terancamnya keamanan warga negara.
Sebab kemunculan radikalisme-terorisme
Setidaknya, pemimpin baru mafhum mengenai penyebab gerakan radikalisme-terorisme tumbuh subur di bumi Nusantara. Dalam hal ini, kita mengacu pada penjelasan Buya Syafi’i Ma’arif, dalam Prolognya yang termuat di buku Ilusi Negara Islam. Dalam prolog tersebut, ia menjelaskan ada tiga faktor yang menjadi penyebab kemunculan radikalisme-fundamentailsme-terorisme di Indonesia.
Pertama, kegagalan umat Islam dalam melawan arus modernitas yang dinilai kian menyudutkan Islam. Karena ketidakberdayaan menghadapi arus itu, golongan fundamentalis mencari dalil-dalil agama untuk “menghibur diri”, sembari membayangkan dunia yang belum tercemar. Jika sekadar “menghibur diri”, barangkali tak jadi soal. Tapi, sekali mereka menyusun kekuatan politik untuk melawan modernitas melalui berbagai cara, maka benturan dengan muslim lainnya dan non-muslim tidak dapat dihindarkan.
Kedua, fundamentasilme di berbagai negara Muslim terutama didorong oleh rasa kesetiakawanan terhadap nasib yang menimpa saudara-saudaranya di Palestina, Suriah, Afganistan, dan Iraq. Perasaan solider ini sebenarnya dimiliki oleh umat Islam di seluruh dunia. Yang membedakan adalah sikap mayoritas muslim yang lebih mengedepankan cara-cara damai dan menghindari kekerasan dalam menanggapinya. Sementara kelompok fundamental, merespon dengan tindakan di luar nalar; yakni melakukan bom bunuh diri dengan menewaskan orang lain (seperti yang terjadi belum lama ini di Surabaya). Yang perlu disadari adalah, bahwa Indonesia bukan Palestina, bukan Iraq, tapi mengapa praktik biadab itu dilakukan di sini?
Ketiga, khusus di Indonesia, maraknya gerakan fundamentalisme disebabkan karena gagalnya negara dalam mewujudkan cita-cita keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi segenap warga negara. Bukti nyata dari kegagalan tersebut adalah korupsi yang menggurita, sampai ke tataran yang paling rendah sekalipun. Namun karena pengetahuan golongan fundamentalis ini sangat miskin dengan peta sosiologis Nusantara, mereka menempuh jalan pintas untuk menegakkan keadilan; yakni menjalankan syari’at Islam melalui kekuasaan.
Jika secara nasional belum memungkinkan, mereka akan mengupayakan melalui Perda-Perda (peraturan daerah). Mereka membayangkan bahwa dengan aturan tersebut, Allah Swt. akan meridhai Indonesia dan keadilan pun terwujud. Anehnya, mereka anti demokrasi tetapi menggunakan lembaga pemerintahan yang demokratis untuk menyalurkan cita-cita politiknya. Fakta ini dengan sendirinya membeberkan satu hal; bentrokan antara teori dan praktik bagi mereka tidak menjadi persoalan. (Abdurrahman Wahid (ed): 2009)
Di sinilah, pentingnya peran kepala daerah untuk tetap menjaga wilayahnya agar tidak disusupi gerakan radikalisme-fundamentasilme-terorisme. Penerapan Perda-Perda syari’ah bukanlah solusi yang tepat, karena sesungguhnya hanya akan menyulut pertikaian dan perasaan tidak diperlakukan adil bagi mereka yang beragama lain. Ingat Piagam Jakarta?
Maka dari itu, berantas radikalisme sejak awal memimpin adalah koenjti!
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…