Kontestasi pilkada di 171 daerah telah selesai sudah. Lewat beragam lembaga survey, secara perhitungan cepat masyarakat juga telah mengetahui gambaran umum; mengenai siapa saja yang akan memimpin untuk lima tahun mendatang. Beranjak dari kenyatan itulah, tentu hasil pilkada akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pola kehidupan bernegara pada periode kepemimpinan mendatang.
Terlebih dalam waktu dekat-dekat ini, setidaknya ada beberapa kalangan yang akan mengalami kekecewaan atas kekalahan yang diterima—baik pendukung atau pencalon. Maka cukup patut apabila Al Mahfud mengumandangakan agar yang menang merangkul, dan yang kalah mendukung (Jalan Damai: 2018). Sebab disadari atau dimungkiri, gelora fanatik yang berlebihan terkadang menjerumuskan sebagian kalangan untuk menjauhi nilai-nilai persaudaraan.
Oleh karena itulah, calon wakil gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maemun—sebelum keberlangsungan pilkada—senantiasa mewanti-wanti agar pilkada yang telah digelar pada 27 Juni lalu tidak menimbulkan kegaduhan hingga memutuskan tali silaturahim antar sesama. Sebab, tentu etikat demikian secara seksama telah membelakangi tujuan berpolitik dan jauh dari iktikad persaudaraan yang telah dijunjung bersama.
Sebab itulah, Bernard Lewis mengungkapkan bahwa politik secara kebahasan diambil dari bahasa Yunani Polis (kota), bahasa Belanda Polite (sopan), dan bahasa Arab Siyasah (mengatur). Berangkat dari beragam kata itulah, Andrew Heywood mendefinisikan bahwa politik sebagai kegiatan suatu bangsa yang bertujuan uuntuk membuat, mempertahankan serta mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya; yang tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerjasama (Political Ideologies: 1992).
Terlepas dari tujuan mulia politik yang demikian, tentu saja gelagat berpolitik tidak selamanya selaras dengan idealitas yang dibangun. Karena itulah, terwujudnya sistematika yang carut marut hingga menyebabkan pertikaian antar sesama menjadi momok yang tidak bisa dimungkiri bersama. Karena itu, diperlukan gerakan bersama guna mengerupsi pertikaian agar kedamaian selalu dijunjung dan pertikaian demikian menjadi ujian pendewasaan yang tak berujung pada beban terhadap negara
Kepercayaan Publik
Sebagaimana yang telah disebut dimuka, bahwa pertikaian yang disebabkan oleh kekecewaan dalam pilkada merupakan keniscayaan yang harus segera diurai bersama. Sebab harus disadari, jika kekecewaan sebagian masyarakat terbawa sampai berlarut-larut, tentu hanya akan merugikan dirinya dan pihak lain. Maka pendewasaan berpolitik untuk melapangkan dada atas hasil yang diumumkan adalah wujud kebijaksanaan yang sesungguhnya.
Sebab, kenyataan demikian tentu akan bermuara terhadap kepercayaan sebagian masyarakat kepada kepala derah terpilih. Bahkan apabila rekonsiliasi yang dilakukan oleh kepala daerah gagal dan berujung pada pahitnya gelora kepemimpinan, maka visi misi yang dicanangkan oleh kepala daerah terpilih tidak akan pernah tewujud karena disebabkan tidak mendapatkan dukungan dari sebagian penduduknya. Dan karena itulah, penyelarasan visi misi yang akan dilaksanakan untuk lima tahun ke depan menjadi perihal penting sebab sangat berhubungan dengan mundur, maju atau stagnasinya sebuah daerah.
Terlepas dari peliknya permasalahan pasca pilkada demikian, tentu sangat dibutuhkan sikap kepemimpinan yang terangkum dalam tiga semboyan yang digaungkan oleh Ki Hajar Dewantara. Pertama, ing ngarso sung tuladha. Tentu pesan singkat ini, secara seksama ditujukan kepada kepala daerah terpilih agar memberikan teladan yang baik kepada masyarakatnya. Sebab track record yang memadai tentu saja akan mengembalikan kepercayaan publik dan secara tidak langsung bertujuan untuk merangkul masyarakat hingga bisa memahami dan mentaati secara betul tentang iktikad baik untuk membawa kepada kemajuan bersama.
Kedua, ing madyo mangun karso. Tentu saja, sikap yang kedua ini sangat patut untuk diselaraskan kepada calon kepala daerah yang tidak terpilih. Dengan beragam hasil yang diumumkan, calon kepala daerah yang tidak terpilih sudah seharusnya berada di tengah-tengah masyarakat dan menjadi oposisi yang baik guna mengingatkan dan mendukung beragam kebijakan yang akan digulirkan. Terlebih jika calon kepala daerah yang tidak terpilih sudah mampu melapangkan dada atas kekalahan yang ditempa, maka secara sadar juga bisa menjadi kekuatan baru untuk menenangkan hati pemilihnya terdahulu untuk taat kepada kepala daerah yang terpilih.
Ketiga, tut wuri handayani. Semboyan yang ketiga ini tentu sangat selaras dengan posisi masyarakat. Posisi masyarakat yang berada dibelakang tentu saja menjadi pendongkrak semangat dan moral agar visi misi yang dicanangkan bisa terwujud. Sebab tentu bila posisi masyarakat tidak sesuai dengan visi misi yang direncanakan, maka tentu saja konsep yang dimiliki kepala daerah terpilih hanya akan menjadi bualan yang tidak ada juntrungnya. Karena itulah, masyarakat secara bersama harus menerima siapa saja pemimpin yang terpilih untuk lima tahun mendatang. Begitupun, masyarakat juga harus selalu menjadi pengingat dan pendukung agar laju kepemimpinan bisa terkontrol dengan apik dan memadai. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…