Keagamaan

BEREBUT MAKNA FI SABILILLAH

(Polemik Menzakati Mujahidin dan Keluarganya, Bagian 2, Selesai)

Kembali kepada kasus penggalangan dana zakat untuk para napi terorisme dan keluarganya yang beredar di dunia maya. Kasus ini bagi saya menarik karena lembaga penyalur zakat secara terang-terangan berinisiatif memberikan zakat kepada para keluarga para napi itu dengan alasan yang sama seperti yang disebutkan dalam kitab Fathul Muin di atas; “Keluarga-keluarga yang ditinggalkan oleh kepala keluarganya untuk berjihad kemudian kepala keluarga tersebut meninggal atau menjadi tahanan”, menurut lembaga tersebut, mereka berhak mendapatkan zakat dengan kategori fi sabilillah.

Pada prinsipnya, pemberian zakat kepada para keluarga mujahidin adalah satu hal yang sah karena ia masuk dalam kategori fi sabilillah yang telah saya kupas di atas (bagian 1, red). Akan tetapi, yang menggelitik saya adalah pernyataan tegas bantuan zakat untuk ‘mujahidin’ dan keluarganya yang diunggah di beberapa situs (coba gunakan search engine google: zakat untuk mujahidin), bahkan diberikan kode tertentu agar distribusi zakatnya  tidak salah sasaran.

Lembaga penyalur zakat yang seperti ini sebaiknya dihindari oleh para muzakki (orang yang berzakat) dan perlu menjadi perhatian pemerintah, karena ada indikasi penggiringan wacana lembaga ini pro terhadap kelompok jihadis radikal. Bahwa para keluarga mujahidin tersebut sebagai mustahiq zakat iya,  namun pemberian pada mustahiq zakat dengan cara seperti ini berdampak pada dua hal; pertama, malu, dan anak-anaknya tertekan karena mendapat cibiran warga sekitar, padahal anak-anaknya tidak tahu apa-apa tentang perbuatan ayahnya. Kedua, malah bisa membuat keluarga ini semakin radikal karena merasa tindakan suami atau ayahnya didukung.

Hal ini juga membawa saya pada pertanyaan siapakah sebenarnya lembaga yang berhak menyalurkan zakat? Dalam berbagai literatur fiqih disebutkan bahwa lembaga penyalur zakat itu diangkat oleh Imam. Dalam konteks negara tentu kepala negara, melalui aparaturnya seperti Bupati, Camat dan Kantor Urusan Agama (KUA). Namun, kenyataannya tidak selalu seperti itu.

Di kampung saya, lembaga penyalur zakat terkonsentrasi pada pengurus masjid, mushalla, dan guru ngaji. Biasanya yang mereka urusi adalah zakat fitrah. Berbeda dengan masjid-masjid yang sudah lumayan tertata dengan baik, mereka malah memiliki Lazis yang dikelola secara bagus dan tidak hanya mengurusi zakat fitrah. Kenapa masjid, mushalla, atau ustadz kampung? Karena bagaimanapun yang namanya zakat, apalagi zakat fitrah, coverage penerimanya ya sekitaran kampung di desanya. Masak mau membantu tempat atau kampung lain, padahal di kampungnya sendiri masih banyak mustahiq zakat yang perlu disantuni.

Sampai di sini saya berkesimpulan bahwa zakat fitrah, ataupun zakat mal lebih baik disalurkan di lembaga penyalur zakat terdekat dan disalurkan ke mustahiq terdekat pula. Lebih-lebih zakat fitrah yang merupakan agenda rutin tahunan. Sementara untuk zakat mal disalurkan pada lembaga yang kredibel, memiliki surat izin dari pemerintah, telah diketahui track record-nya, dan sebisa mungkin di daerah muzakki sendiri dan didistribusikan di daerah tersebut. Hal ini penting, karena distribusi zakat yang paling utama adalah dari yang paling terdekat, di lingkungan sekitar kita sendiri. Tidak perlu mendistribusikan ke tempat yang jauh kalau di tempat sendiri masih banyak kaum dhuafa yang membutuhkan.

Saya juga melihat pentingnya peran pemerintah melalui aparatusnya untuk memonitor dan mengawasi distribusi yang dilakukan oleh Badan/lembaga amil zakat. Badan Amil Zakat (BAZ) ataupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) harus netral dan tidak perlu menulis secara spesifik menyantuni kelompok—seperti situs di atas—yang kemudian mengesankan bahwa lembaga ini tidak kredibel dan terkesan mendukung terorisme. Negara juga harus hadir dalam distribusi zakat ini supaya distribusinya lebih terarah dan memiliki visi membangun kepekaan, solidaritas sosial, dan pengentasan kemiskinan melalui zakat, terlebih pada pengawasan LAZ yang dimiliki oleh masyarakat dalam bentuk yayasan.

Ala kulli hal, saya juga melihat perlunya transformasi makna fi sabilillah pada makna-makna yang dijabarkan oleh Yusuf Qaradawi yang diulas dalam tulisan pertama di atas. Reinterpretasi ulang atas makna fi sabilillah merupakan seuatu kebutuhan yang urgen supaya ajaran agama Islam senantiasa meruang dan mewaktu sesuai dengan laju perkembangan zaman. Tidak cukup reinterpretasi, tapi juga perlu penyebaran wacana dari hasil reinterpretasi tersebut secara kontinyu, sehingga umat Islam tidak terkungkung dalam doktrin lama dan kaku.

This post was last modified on 30 Juni 2016 12:53 PM

Saifuddin Zuhri Qudsy

Staf Pengajar Prodi Ilmu Hadis, Fak. Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

22 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

22 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

22 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

22 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago