Kerapkali kita menemukan status di beberapa media sosial dengan nada provokasi yang mengajak perang. Narasi yang muncul misalnya : “rapatkan barisan sebentar lagi kita akan berperang” atau “semoga cepat perang” dan berbagai ajakan agitatif lainnya. Akal sehat ini merasa geli mendengar ajakan tersebut. Sebenarnya apa yang ada dalam benak mereka yang gemar mengumbar ajakan perang? Apa motif mereka sehingga menjadikan perang ini sebagi hobi?
Ada kejanggalan ketika harus membenturkan imajinasi perang dengan kenyataan negeri ini. Tidak ada alasan syar’i yang menyebabkan negeri damai (darus salam) seperti Indonesia untuk dijadikan area perang (darul harb). Dalam Islam, ayat pertama kali yang diwahyukan tentang kebolehan perang (al-qital) (QS. Al-Hajj: 39-40) diturunkan di Madinah setelah sebelumnya Nabi dan para sahabatnya diusir dari Mekkah menuju Madinah.
Dalam beberapa tafsir disebutkan bahwa Tuhan mengizinkan untuk berperang karena ada penindasan dan serangan kaum musyrik terhadap umat Islam. Ayat ini diturunkan setelah tidak ada lagi solusi damai untuk mengatasi perilaku penindasan dan kekerasan kaum musyrik Mekkah. Artinya, kebolehan perang diberikan setelah Nabi dan para sahabatnya setelah sebelumnya mengedepankan cara damai dan memaafkan dalam menghadapi perlakuan kaum musyrik.
Dengan begitu tidak ada alasan absah yang bisa melegitimasi perang di negeri damai seperti Indonesia. Lalu kenapa kerapkali ajakan perang muncul? Boleh jadi dalam benak mereka umat Islam di Indonesia sedang dalam keadaan terancam, didzalimi dan tidak nyaman dalam melaksanakan ibadah Tuhan. Mindset keadaan terancam dan didzalimi menjadi narasi yang ditanamkan kepada umat bahwa seolah negara ini musuh umat Islam. Negara sedang membuat design besar menghancurkan umat Islam dan kalau perlu mengusir umat dari negara ini.
Narasi-narasi keterancaman ini selanjutnya dibungkus dalam nada kebencian terhadap yang lain. Yang berbeda akhirnya menjadi ancaman bagi komunitas yang diimajinasikan sedang terancam. Sedikit saja ada persoalan lintas keyakinan dan keimanan akan ditafsirkan sebagai ancaman umat lain terhadap Islam. Narasi-narasi kebencian terus dipupuk dan ditanamkan untuk mengekslusi umat yang berbeda sebagai posisi yang mengancam.
Dari turunan mindset berpikir seperti itulah, perang yang diizinkan dalam Qur’an sebagai sarana untuk melindungi diri dari serangan dan menyelematkan umat Islam berubah dari pendekatan reaksi menjadi aksi, dari semula bertujuan defensif menjadi ofensif, dan dari semula berdimensi protektif menjadi agresif. Untuk memperoleh dimensi sakralitas perang ini diangkat dan diimajinasikan sebagai perang kosmik, sebagaimana istilah Mark Juergensmeyer. Para pengidap perang kosmik ini beranggapan bahwa peperangan di mana para pelakunya beranggapan bahwa perjuangan yang dilakukan adalah perang antara kekuatan Baik dan Jahat antara tentara Tuhan dan tentara Setan.
Ketika legitimasi perang kosmik ini muncul, seolah tidak ada lagi prinsip etika dalam berkomunikasi maupun bertindak karena mereka meyakini sebagai tentara suci yang direstui Tuhan. Pengumbaran kata thogut, kafir, murtad, penyembah berhala, pengikut setan dan sebagainya kerap menjadi renyah muncul dari tuduhan dan klaim mereka. Mereka menjadi terbiasa memandang kotor yang lain sembari merasa dirinya suci dan menganggap yang lain kafir, musyrik dan murtad sembari mengklaim dirinya muslim kaffah.
Namun, hari ini mereka berada dalam arus besar yang berbeda dengan pandangan mereka. Arus besar umat Islam Indonesia menempatkan Islam sebagai kekayaan khazanah nusantara dalam bingkai keberagamaan yang damai, toleran dan moderat. Pilihan spiritualitas umat Islam Indonesia lebih tampak sebagai ciri khas Islam yang melebur dengan toleransi sebagai watak nusantara. Islam ditanamkan melalui ruang pendidikan, pelayanan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Watak toleransi nusantara terus disemai dan dirawat oleh ormas besar Islam moderat tersebut hingga saat ini.
Nah, gerakan Islam yang bercorak keras dan bermuka sangar yang belakangan muncul memang tidak menemukan tempat berpijak di Indonesia. Namun, mereka terus memaksakan mindset perang di negeri damai ini. Mereka akan terus mengumbar narasi ketertindasan dan keterancaman untuk mengajak masyarakat merasa dalam kondisi perang. Kapan mereka akan berhenti mengumbar perang? Sejatinya mereka tidak akan berhenti sebelum mereka mampu mendamaikan pikiran mereka dengan kenyataan yang damai.
Umat Islam Indonesia tidak merasa terancam dan tertindas dengan kebijakan dan serangan umat lain yang dapat menganggu kenyamanan ibadah. Umat Islam tidak merasa terasing di negeri damai ini karena bisa menjalankan ibadah dan syariah tanpa ada ketakutan. Justru umat Islam merasa terancam dengan kelompok umat Islam yang selalu membawa narasi perang di negeri yang damai.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…