Beberapa waktu lalu, di media sosial sempat viral foto pawai anak-anak yang mengenakan jubah serta cadar hitam dan menenteng replika senjata. Saat potret itu tersebar, banyak kalangan prihatin dan menyesalkan kejadian tersebut. Sebab dianggap menggambarkan adanya penyebaran paham radikalisme-terorisme pada anak-anak. Kekhawatiran tersebut wajar, sebab adegan menenteng senjata, dengan pakaian bercadar dan berjubah, selama ini identik dengan gerakan-gerakan radikalisme-terorisme.
Belakangan, diketahui kejadian itu terjadi di Probolinggo Jawa Timur, tepatnya dalam pawai budaya TK Kartika V-69. Dikabarkan, pada 19/8/2018, Mendikbud Muhadjir Effendy sampai datang langsung ke kota Probolinggo untuk menuntaskan persoalan tersebut. Setelah mendapatkan paparan dari Kapolresta Probolinggo, diketahui bahwa foto barisan pakai anak-anak TK Kartika V-69 yang viral di media sosial ternyata tidak utuh. Sebenarnya, jika dilihat secara utuh, pawai tersebut menampilkan barisan yang menunjukkan simbol-simbol Islam kerajaan Arab Saudi.
Di barisan pertama, ada barisan yang membawa miniatur Ka’bah, yang diikuti kereta yang menggambarkan barisan kerajaan Arab Saudi. Sedangkan barisan paling belakang adalah pengawal kerajaan yang mengenakan jubah, cadar hitam, dan menenteng replika senjata. Barisan terakhir inilah yang potretnya viral, sehingga menimbulkan kekhawatiran publik. Mendikbud menilai bahwa tema yang diangkat dalam pawai tersebut adalah perjuangan umat Islam dalam kemerdekaan Indonesia. “Ada bendera merah putihnya, kemudian ada Ka’bah,” kata Mendikbud (Detik.com, 20/8/2018).
Meski Mendikbud menilai pawai tersebut tidak memperlihatkan unsur penyebaran paham radikalisme-terorisme, ia tetap mengimbau semua pihak, terutama guru dan kepala sekolah, untuk lebih berhati-hati dalam memberikan sesuatu pada anak-anak. Dalam kasus tersebut, pihak Dinas Pendidikan Kota Probolinggo memberikan peringatan tegas pada sekolah terkait. Diharapkan, kejadian tersebut bisa menjadi pelajaran semua pihak agar lebih teliti dan cermat dalam memberikan atau memperkenalkan sesuatu pada anak.
Bagi penulis, mendandani anak dengan cadar dan jubah hitam, serta menenteng senjata, untuk pawai bertema perjuangan memang bukan pilihan yang bijak. Meski yang diusung adalah perjuangan umat Islam dan kemerdekaan Indonesia, hal tersebut terlalu riskan. Sebab, kita tahu bahwa masa anak-anak, terlebih di usia TK, merupakan masa-masa pertumbuhan dan perkembangan. Apa-apa yang dialami anak akan tersimpan kuat dalam memorinya, dan bukan tidak mungkin akan memengaruhi tumbuh kembang hingga dewasa.
Ketika anak pada usia dini dikenalkan dengan perjuangan memakai senjata, dikhawatirkan kelak terbentuk ingatan, memori, dan bahkan pemahaman yang tersimpan dalam alam bawah sadar bahwa sebuah perjuangan agama harus dilakukan dengan kekerasan, dengan menenteng senjata di tangan, atau bahkan dengan perang. Kita tahu bahwa senjata, atau dalam kasus tersebut berupa senapan, merupakan alat untuk menyerang, melukai, bahkan membunuh orang lain. Jelas ini kontraproduktif di tengah segala upaya kita selama ini menyebarkan narasi perdamaian, terutama dalam penyebaran agama.
Kita tidak bisa sembarangan dalam menanamkan narasi sejarah perjuangan Islam. Bagi orang dewasa pun, dibutuhkan pemahaman menyeluruh dan mendalam tentang berbagai sebab peperangan yang terjadi dalam sejarah perjuangan umat Islam. Apalagi ini untuk anak-anak, kita butuh cara-cara yang lebih cermat dan bijak agar anak bisa memahami makna sebuah perjuangan secara lebih bijaksana dan damai.
Simbol perjuangan yang damai
Penanaman perjuangan menggunakan simbol-simbol perang dan senjata menjadi semakin berbahaya mengingat realitas masyarakat Indonesia yang majemuk dan beragam. Kita hidup di sebuah bangsa di mana masyarakatnya terdiri dari berbagai macam suku, etnis, maupun agama yang berbeda-beda. Artinya, potensi terjadinya pertentangan, konflik, bahkan perpecahan sangat besar apabila yang ditanamkan dan tumbuh di masyarakat adalah mentalitas kekerasan atau perjuangan dengan senjata.
Bangsa ini lebih membutuhkan sikap-sikap toleran, saling menghargai, dan nilai-nilai dialog serta musyawarah agar kemajemukan bisa menghasilkan kehidupan yang harmonis dan damai. Sebaliknya, mentalitas perang yang anti dialog atau anti musyawarah, dan lebih mengedepankan arogansi dan kekerasan, merupakan sikap-sikap yang tidak dibutuhkan masyarakat dalam menjalani kehidupan bersama. Jika kita hendak menanamkan spirit perjuangan agama, alangkah lebih bijak jika yang diangkat adalah simbol perjuangan agama yang damai.
Kita bisa mengangkat perjuangan menyebarkan agama para Wali Songo yang dilakukan secara cerdas, kreatif, bijaksana, dan damai untuk dikenalkan pada anak-anak. Dalam sebuah pawai misalnya, anak-anak dikenalkan dengan simbol-simbol yang menggambarkan keharmonisan agama dan budaya, entah dengan atribut wayang, tarian, dan lain sebagainya yang diiringi kumandang syair-syair keislaman. Ini pilihan yang rasanya lebih bijak ketimbang memilih cadar dan hubah hitam disertai senjata. Diharapkan, anak akan mengenal sejak dini tentang keharmonisan yang bisa diciptakan antara agama dan budaya, sehingga anak tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang kuat agamanya, sekaligus menghargai tradisi leluhurnya.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…