Narasi

Bom dan Masa Depan Kebhinekaan

Usaha serius terus dilakukan semua elemen bangsa kita dalam menjaga kebhinekaan. Pemerintah sendiri juga terus menggalakkan program untuk menguatkan tekad NKRI dalam membangun masa depan dengan penuh warna-warni, alias kebhinekaan. Tetapi, ada saja ulah sebagian masyarakat yang terus mengoyak wajah kebhinekaan kita. Salah satunya adalah bom. Bom bukan saja membunuh diri sendiri dan membunuh orang lain, tetapi bom juga membunuh masa depan kebhinekaan kita. Bom telah merobek wajah harmoni dan penuh kesejukan yang terus diperjuangkan bangsa ini.

Iya, bom Kampung Melayu Jakarta adalah peristiwa tragis. Sebelumnya, warga Manchester, Inggris, juga mengalami hal serupa. Hobi bom bunuh diri yang didasari janji surga berdalih ajaran agama, sungguh telah merobek firman Tuhan. Kenapa untuk membunuh sesama justru membawa nama Tuhan? Inilah tragedi yang terus berlanjut itu.

Bom merupakan indikasi gagal paham terkait jihad. Kaum radikal selalu memilih jalan bom bunuh diri sebagai jihad, padahal ini sangat dikecam oleh agama. Dalam kaidah fiqh, menjaga jiwa (hifz al-nafs) adalah kewajiban primer yang harus ditegakkan. Mereka yang melanggar ini berarti melanggar kaidah utama dalam agama Islam. Jihad itu untuk menguatkan dalam menjaga jiwa (hifz al-nafs), bukan sebaliknya. Gagal paham inilah yang akhirnya jihad menjadi istilah yang mengerikan, mencederai sesama, dan akhirnya merobek kebhinekaan sebuah bangsa. Padahal, dengan jihad pula, para ulama pendiri NKRI ini menjaga kebhinekaan sampai hari ini.

Memuliakan Manusia                                                    

Dalam menegakkan masa depan kebhinekaan, bangsa ini harus menyudahi terorisme dan radikalisme. Bangsa ini harus tegak berdiri untuk memuliakan manusia. Menurut Gus Dur, dengan memuliakan manusia, maka itu tanda memuliakan penciptanya. Kebhinekaan bisa makin kuat kalau semua elemen bangsa mempunyai prinsip untuk memuliakan manusia.

Menurut Syaiful Arif (2013), perjuangan Gus Dur dalam memanusiakan manusia merupakan wujud dari permikiran Gus Dur tentang kemanusiaan. Ini dibuktikan dalam beberapa hal. Pertama, pesan Gus Dur kepada sahabatnya, Djohan Efendy, agar setelah ia meninggal, ia ingin di makamnya tertulis, “di sini dimakamkan seorang humanis”. Meskipun wasiat ini belum terlaksana, ini menjadi sinyal akan “relung kedalaman nilai” yang Gus Dur perjuangkan dalam membela kemanusiaan.

Kedua, pernyataan Gus Dur dalam pengajian rutin di Pesantren Ciganjur, 23 Maret 2009, bahwa “agama harus disandingkan dengan kemanusiaan. Jika tidak, ia akan menjadi senjata fundamentalistik yang memberangus kemanusiaan”. Ini jelas menyiratkan kesadaran Gus Dur akan perlunya kemanusiaan sebagai nilai-sandingan yang harus berdampingan dengan agama, sehingga agama tidak berbalik arah, menyerang manusia atas nama Tuhan. Ketiga, Gus Dur selalu menyampaikan bahwa siapa yang membantu kehidupan seorang manusia, sama dengan membantu kehidupan semua manusia. Ini berdasarkan al-Qur’an dalam QS. 5 ayat 32.

Dalam Islam sendiri, menurut Gus Dur, manusia adalah ciptaan terbaik Tuhan untuk mengemban amanah khalifah dalam misi kesejahteraan semesta. Misi kesejahteraan ini sudah dicontohkan oleh Muhammad. Dari sini, kemanusiaan tidak bisa dibenturkan dengan syariat dan tauhid. Sebab sebaliknya, kemanusiaan menjadi amal bagi keimanan dalam kerangka syariat. Penemuan ajaran kemanusiaan berdasarkan nilai-nilai Islam merupakan keyakinan intelektual Gus Dur yang autentik, sehingga ia terus memperjuangkan dengan berani dan konsisten.

Dari sini, bagi Arif, ajaran kemanusiaan Gus Dur bukanlah humanisme liberal, melainkan humanisme komunitarian, yakni prinsip kemanusiaan yang dilandasi nilai-nilai Islam dan berujung pada perwujudkan masyarakat yang adil.  Humanisme Gus Dur juga menandai de-Eropanisasi humanisme, sebab humanisme secara diskursus memang lahir dari rahim pencerahan Barat. Dengan menempatkan universalisme humanitarian sebagai universalisme Islam, Gus Dur telah menempatkan Islam sebagai rahim dari universalisme kemanusiaan. Perspektif Islam atas kemanusiaan ini juga menunjukkan perspektif komunitarian, sebab Gus Dur memijakkan kaki kemanusiaan dari nilai-nilai kultural yang melahirkannya.

Jalan hidup Gus Dur sudah berhenti, tetapi spiritnya dalam menjaga kebhinekaan akan tetap hidup untuk NKRI. Gus Dur memang sudah wafat, tetapi setiap hari terus dibanjiri manusia yang rindu dan kangen dengan perjuangannya. Sangat berbeda dengan mereka yang melakukan bom bunuh diri, justru dibenci dan dijauhi masyarakat.

Anak bangsa ini harus kembali kepada jati dirinya sebagai manusia Indonesia: memuliakan semua yang dianugerahkan Tuhan untuk Indonesia, khususnya manusianya.

This post was last modified on 26 Mei 2017 1:00 PM

Muhammadun

Pengurus Takmir Masjid Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul. Pernah belajar di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, Yogyakarta.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

17 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

17 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

17 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago