Menarik membaca tulisan Desi Ratriyanti di kolom Suara Kita portal Jalan Damai beberapa waktu lalu. Dalam ulasan yang berjudul “Ramadhan, Pandemi dan Propaganda Khilafah”, ia menegaskan bahwa para pengusung gerakan khilafah Islamiyyah memang tidak pernah lelah memasarkan dan mempropagandakan gagasannya, yakni kewajiban mendirikan khilafah.
Penulis sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Desi. Namun demikian, tulisan ini berbeda dengan sudut pandang yang digunakan oleh Desi karena uraian ini hendak mengulas sisi lain dari kelompok para pengusung khilafah, tepatnya strategi para pengusung khilafah dalam meraih simpati masyarakat dengan cara menjadi ‘penumpang gelap’ di tengah masa pandemi seperti saat sekarang ini.
Kelompok pengusung atau pro-khilafah, meskipun ditolak dan bahkan dalil yang mereka gunakan tentang kewajiban menegakkan khilafah dikuliti sampai mereka tak berkutik, tetapi mereka masih gencar melakukan kampanye di depan publik, berusaha meraih simpati masyarakat luas.
Kelompok pengusung khilafah ini dalam meraih simpati masyarakat awam dilakukan secara sistemis dan terukur. Diantara strategi yang masih menjadi andalan mereka adalah dengan memanfaatkan situasi masalah yang mendera manusia, baik secara global dan nasional, seperti Covid-19. Mereka mengatakan bahwa khilafah sudah berpengalaman menumpas virus seperti Covid-19.
Dengan narasi yang dibumbui dengan provokasi, strategi tersebut menyentak dan mampu mengetuk sebagian hati nurani serta emosi masyarakat awam. Intinya, mereka paparkan berbagai kejadian atau persoalan yang mendera manusia seperti ketidak-adilan, dominasi kekuatan Barat, kemiskinan dan masalah kemanusiaan lainnya.
Pada titik itulah, mereka meneriakkan khilafah sebagai solusi dalam berbagai persoalan. Mereka membius masyarakat bahwa dengan hidup di bawah naungan khilafah, semua masalah dapat teratasi. Manusia hidup damai, kebutuhan hidup serba tercukupi, pendidikan terjamin, pun kesehatan.
Baca Juga : Ramadhan, Pandemi dan Propaganda Khilafah
Tidak hanya itu, umat juga dicekoki berbagai narasi seperti hanya dengan khilafah, umat Islam dipersatukan dan menjadi kuat serta jaya. Satu entitas institusi politik yang bernama khilafah diklaim sebagai jalan nubuwah dan yang bisa menjamin Islam jaya kembali.
Beberapa Klaim
Penulis menggunakan istilah ‘klaim’ dalam konteks ini karena sesuatu yang diteriakkan dan dinarasikan oleh kelompok pro-khilafah belum terbukti kebenarannya. Meskipun pendapat dan apa yang mereka teriakkan menggunakan jargon-jargon teologis.
Pertama, sistem khilafah merupakan sistem terbaik yang pernah tercipta di muka bumi ini, khususnya bagi umat Islam. Berkaitan dengan klaim ini, mereka menyebut masa awal-awal periode Islam yang dinakhkodai Nabi Muhammad dan era khulafa ar-Rasyidun sampai Turki Utsmani sebagai contohnya. Tapi mereka seolah tidak mampu memahami sejarah secara jernih sehingga terjebak pada istilah sistem khilafah.
Padahal, selain khilafah itu bagian dari diantara model institusi politik bukan agama, sistem pemerintahan yang mereka sebut menerapkan sistem pemerintahan yang berbeda-beda; model kerajaan, bahkan juga ada yang menggunakan sistem demokrasi.
Kedua, sistem khilafah sebagai bagian integral dari ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan hadis dan satu-satunya model isntitusi politik dalam Islam. Bahwa khilafah adalah bagian dari sejarah Islam, adalah kebenaran yang sulit dibantah atau diingkari oleh siapa pun. Namun mengatakan bahwa menegakkan khilafah adalah kewajiban bagi umat Islam dan satu-satunya sistem yang diridloi Allah, adalah anggapan dan pemahaman yang tidak hanya sekedar keliru, namun salah-kaprah.
Karena hanya sekedar bagian dalam sejarah Islam, maka menegakkannya tidak menjadi sebuah kewajiban. Jika memang bisa dikehendaki untuk dikehendaki dan dapat menuai banyak kemaslahatan, maka silahkan saja ditegakkan. Namun, apabila tidak memungkinkan dan dianggap akan menimbulkan persoalan besar di kemudian hari, tidak menegakkanya juga tidak berdosa.
Ketiga, aliran-aliran Islam dapat disatukan. Kesulitan di sini, jika diilustrasikan, ibarat usaha manusia untuk bisa melihat bulan memeluk matahari, alias tidak mungkin. Sejarah Islam adalah sejarah yang penuh dengan dinamika kelompok yang menyertainya. Apalagi khilafah yang diusung HT (Hizbut Tahrir), mereka saat ini memiliki amir yang bernama ‘Atha Abu ar-Rasytah-Abu Yasin.
Jadi, jika khilafah berdiri, maka umat Islam seluruh dunia berada dibawah kepemimpinan Abu Rasytah, seorang lulusan teknik sipil dari Universitas Kairo. Tentu kondisi latar belakang sebagai insinyur teknik sipil itu sudah menuai persoalan yang menimbulkan sulitnya umat bersatu. Jadi, umat Islam dapat disatukan dalam institusi politik bernama khilafah adalah tak lebih dari sekedar klaim saja.
Strategi Ideologisasi
Mengingat bangunan dalil dan pendapat kelompok pengusung Khilafah seperti HT begitu lemah sehingga mudah diruntuhkan, maka sesungguhnya mereka sudah sadar akan hal ini, sehingga mereka selalu melakukan berbagai strategi guna meraih simpati masyarakat.
Diantara strategi itu adalah dengan melakukan indoktrinisasi melalui proses ideologi secara sistematis dan massif. Menurut Louis Althusser (1918-1990 M), ideologi didefinisikan sebagai penentu semua gerak laju pemikiran dan tindak tanduk seseorang.
Dengan proses ideologisasi dan indoktrinisasi terhadap orang awam inilah yang kemudian menjadikan pengikut kelompok pro-khilafah semakin banyak. Dan kader hasil proses ini lazimnya mempunyai pandangan yang sejalan dengan kelompoknya sehingga mereka tidak mudah disadarkan, bahkan mereka justru menjadi kader yang memiliki loyalitas luar biasa.
Strategi selanjutnya dalam meraih simpati masyarakat luas adalah dengan menyerang ideologi lain seperti komunisme, kapitalisme dan liberalisme. Mereka secara kuat dan konsisten bisa membongkar dan menguliti ideologi besar dunia tersebut dan menyebutkan kelemahannya masing-masing. Jika sudah demikian, maka mereka kemudian menyodorkan khilafah di tengah keburukan dan kejahatan ideologi besar dunia tersebut sebagai satu-satunya solusi. Sebagai orang Islam awam, tentunya cara tersebut menjadikan orang akan kagum (mangguk-manggukkan kepala).
Selain ideologi yang dikritik habis-habisan, mereka juga mencari kesalahan dan keburukan pemerintah yang menerapkan sistem selain khilafah. Masalah ekonomi anjlok misalnya, mereka goreng sedemikian rupa sehingga pemerintah kelihatan buruk dan tidak becus dalam mengurus negara, bersamaan dengan itu, mereka meneriakkan khilafah sebagai solusi atas persoalan tersebut.
Tentu saja mengkritik merupakan tindakan yang sah-sah saja dan dijamin oleh konstitusi, namun yang menjadi persoalan adalah, mereka tidak turut memperbaiki kondisi yang buruk itu tetapi malah menawarkan solusi penerapan khilafah. Penerapan khilafah tentu akan merubah sistem negara dan ini tidak mudah dilakukan.
Setidaknya inilah beberapa strategi para pengusung khilafah untuk membius dan mempengaruhi masyarakat awam agar mempercayai gagasan dan gerakan serta ideologi mereka.
Semoga uraian singkat ini dapat memberikan secercah pengetahuan bahwa apa yang dilakukan oleh kelompok pengusung khilafah, terutama yang berada di Indonesia, merupakan langkah yang tidak tepat sehingga harus dihindari, bukan malah menaruh simpati kepada mereka.
This post was last modified on 28 April 2020 3:04 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…