Narasi

Puasa, Covid-19 dan Empati Sosial

Marhaban Ya Ramadan, selamat datang wahai bulan suci Ramadan. Bulan yang dirindukan oleh semua umat Islam karena penuh dengan keberkahan dan segala amal akan dilipatgandakan pahalanya. Setiap kali datang bulan Ramadan, Nabi Muhammad Saw selalu memberi kabar gembira kepada para sahabat. ”Telah datang kepada kalian bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah, Allah mewajibkan puasa atas kalian di dalamnya. Pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka jahim ditutup, setan-setan dibelenggu, di dalamnya ada satu amalan yang lebih baik dari seribu bulan, barang siapa yang diharamkan mendapat kebaikan malam itu maka ia telah diharamkan.” ( HR Imam Ahmad, 2/230).

Saling mengucapkan selamat datang di bulan Ramadan dan menyambut Ramadan dengan melaksanakan beragam ibadah merupakan bentuk bukti cinta kita kepada Allah Swt. Tak ayal, mudah sekali menemukan orang yang saling berlomba-lomba melaksanakan ibadan dan kebaikan-kebaikan kepada orang lain. Multazam Ahmad, Sekretaris MUI Jawa Tengah, menyebut bahwa dalam bulan Ramadan Allah Swt memanggil semua hamba-Nya untuk kembali menuju hakikat hidup yang sebenarnya. Wamaa khalaqtu al jinna wa al-insa illa liya’buduuni. (Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku) (QS. Adz Dzariyat: 56).

Hanya saja, nuansa ini akan sedikit berbeda karena kita dihadapkan dengan pandemi virus korona yang telah merenggut 647 nyawa WNI per 23 April 2020 (Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19) dan memperpuruk kondisi perekonomian bangsa. Tentu, Ramadan ini benar-benar akan menjadi pelajaran berharga bagi kita untuk bukan cuma merefleksikan puasa dalam upaya menahan lapar dan dahaga. Tapi, dalam solidaritas sosial. Puasa seyogyanya menjadi media untuk mengekang nafsu kuasa dan membangkitkan empati sosial.

Baca Juga : Puasa, Pandemi dan Akselerasi Filantropi

Ini harus diperhatikan agar puasa kita tidak selayaknya puasanya hewan yang hanya tidak makan dan minum, tapi juga penuh makna dalam menjalankan perintah agama. Dengan memperhatikan aspek empati dan solidaritas sosial, esensi ajaran Islam yang tidak hanya menekankan aspek ‘ubudiyyah kepada Allah tapi juga menekankan aspek mu’amalah kepada sesama. Lagipula, Allah Swt. juga telah menegaskan, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yanglalaidarisalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. Al-Ma’un: 1-7)”

Maka, secara definitif dapat disebut bahwa orang berpuasa seharusnya orang yang bisa menggembirakan tetangganya, menghormati orang lain, meski beda agama, memiliki empati dan solidaritas sosial kepada kaum mustadh’afin (kaum lemah), dan memberi bantuan kepada orang miskin. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang sehari-harinya di masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.

Dengan menunjukkan kepekaan sosial dan melakukan aksi solidaritas sosial, kita sejatinya telah menjaga jarak dari nafsu yang umumnya mengantarkan kita untuk melakukan segala cara demi memiliki dan menguasai segala hal yang ada di dunia. Lebih-lebih dalam masa pandemi sekarang, solidaritas sosial amat dibutuhkan karena banyak orang-orang yang kehilangan pekerjaan: baik karena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau matinya pasar UMKM dan lain-lain.

Jangan sampai ada kasus kriminal karena ingin memenuhi kebutuhan pangan. Atau bahkan mati kelaparan yang menjangkiti lingkungan sekitar kita, akibat ketidakpedulian kita terhadap sesama. Tentu itu menjadi dosa besar karena ketika kita bisa makan secara berkecukupan, justru pada saat yang sama tetangga kita menderita kelaparan. Maka, orang yang memiliki kelebihan rejeki harus memastikan tetangga dan sanak famili di sekitarnya jangan sampai kelaparan. Tidak perlu menunggu ulur tangan pemerintah. Agar, semua dapat melewati cobaan ini dengan sehat dan selamat. Hanya saja, perlu dipahami bahwa kita harus tetap melakukan protokol kesehatan agar terhindar dari penularan virus Covid-19. Dekat secara emosional dan senantiasa beramal baik adalah keharusan kita sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan. Tapi, kita tetap harus menjaga jarak fisik. Ini penting untuk memutus penularan virus jahat ini. Wallahu a’lam bish-shawaab.

This post was last modified on 28 April 2020 6:06 PM

Hani Fildzah Rusydina

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

2 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago