Categories: Narasi

Corona, Solidaritas, dan Optimisme

Virus Corona menjadi musuh terbesar dunia saat ini. Hampir semua negara ikut aktif terlibat dalam memeranginya. WHO sendiri sudah menaikkan statusnya dari efidemi menjadi pandemi. Corona adalah musibah dunia. Ia tidak kenal batas-batas negara, agama, umur, dan jenis kelamin.

Laiknya sebagai musibah, kita harus menghadapinya. Kita tak boleh gegabah dan mengatakan bahwa ini adalah takdir Tuhan, dan hanya Tuhan sendiri yang mampu menghilangkannya. Paradigma dalam melihat virus Corona perlu digeser dari anggapan azab menjadi musibah.

Azab identik dengan kutukan dan manusia biasanya passif. Sementara musibah adalah teguran dan manusia aktif untuk introspeksi diri. Yang pertama mengakibatkan manusia tak ada usaha, fatalisme, dan kalah dalam pertempuran. Yang kedua membuat manusia selalu berusa, optimisme, dan keluar sebagai pemenang.

Corona bukanlah azab, ia adalah ujian yang bisa kita hadapi bersama. Gotong-royong, saling bahu-membahu, memperkuat solidaritas sosial, mengedepankan sabda ilmu pengetahuan dalam menanggulangi virus berbahaya ini. Kita perlu menjauhi cara-cara kolot yang justru membahayakan kita, membuang egoisme masing-masing, dan menghilangkan sikap saling menyalahkan.

Dalam sejarah –demikian kesimpulan Harari –manusia selalu menjadi pemenang dalam melawan wabah virus berbahaya. Alasan utamanya adalah manusia memfungsikan nalarnya. Selain itu, solidaritas sosial yang ditunjukkan oleh semua pihak turut memperkuat manusia dalam menghadapi virus berbahaya ini.

Menolak Fatalisme

Dalam konteks inilah, bukan sikap yang tepat kalau kita menganggap bahwa Corona adalah takdir semata dari Tuhan, dan kita hanya bisa menerima takdir, berdiam diri laiknya kapas yang diterbangkan oleh kapas. Kebijakan pemerintah belajar dari rumah, berkerja dari rumah, dan beribadah dari rumah, jangan dimaknai bahwa kita hanya perlu berserah diri saja kepada Tuhan.

Baca Juga : Menjaga Kondusifitas, Melawan Hoax Corona

Sifat fatalisme yang diperlihatkan di media sosial oleh sebagai kalangan dalam mengahadapi virus ini patut disesalkan. Ini bukan hanya memperkeruh suasana, tetapi juga mempersulit proses penanggalan virus ini.

Masih ada yang berkomentar, kenapa tak boleh salat jumat, kenapa masjid dibatasi, kenapa pengajian tak dikasih izin, kenapa tablig akbar dibatalkan, dan sederet pertanyaan yang tidak fungsional lainnya. Bukankah –demikian anggapan mereka –hidup dan mati itu di tangan Tuhan.

Jangan sampai, lanjut mereka, kita lebih takut sama Corona ketimbang sama Allah. Logika seperti ini adalah salah. Kita bukan lebih takut kepada Corona ketimbang Allah, melainkan ini adalah bagian dari mengikuti perintah Allah.

Fatalisme adalah satu masalah baru dalam menghadapi Corona. Fatwa MUI tentang tak perlunya melaksanakan salat Jumat dalam keadaan darurat, dicurigai ingin menjauhkan umat Islam dari masjid. Bahkan ada analogi yang kebablasan, kenapa kami masjid ditutup, sementara mall tidak. Ini tentu sangat menjengkelakan.

Memang betul hidup dan mati itu ada di tangan Allah. Akan tetapi, kalau kita dikejar singan, kita harus lari. Kita tak boleh diam dengan alasan bahwa saya lebih takut kepada Allah ketimbang kepada singa. Ini adalah logika bodoh. Lari adalah bagian dari sunatullah untuk berusaha agar lepas dari sergapan singa. Ia bagian dari ajaran agama.

Bangun Optimisme

Dalam kondisi seperti ini, yang diperlukan adalah introspeksi diri. Muhasabah dalam bahasa agama. Kita perlu kembali menata diri, bangsa, dan negara. Pemerintah harus sigap, dunia kedokteran harus responsif. Para dermawan harus ikut membantu. Polisi dan tentara siap mengamankan. Media memberikan informasi edukatif, bukan menakut-nakuti. Dan, seluruh lapisan masyarakat harus ikut berpartisipasi.

Disebut muhasabah jika ada tindakan nyata dalam dunia riil. Kita harus bergandengan tangan dan bahu-membahu untuk menanggulangi virus ini. Sikap saling mengautakan, mendukung, dan memberikan suntikan motivasi harus lebih dikedepankan bersama.

Corana adalah musibah yang seharus menjadi bahan muhasabah bagi kita bersama. Muhasabah itu termanipestasi dalam wujud solidaritas sosial. Kita semua sama-sama berjuang. Tak boleh ada yang menggunting dalam lipatan, dan mencari untung dalam kesempitan.

Kita harus sama-sama menjaga. Sama-sama bekerja dalam memerangi virus ini. Kerja-kerja kolektif dengan kesadaran dan pendekatan partisipan semesta, kita bisa keluar sebagai pemenang. Mari kita menjadikan virus ini sebagai bahan introspeksi diri dan sebagai sarana untuk memperkuat solidaritas kita bersama.   Hanya dengan bermuhasabah, menjadikan ini sebagai ujian dan pelajaran, kita bisa berdiri tegak, melihat ke dapan. Sikap optimisme harus dikedepankan. Kita akan menang melawan virus berbahaya ini.

This post was last modified on 26 Maret 2020 1:18 PM

Nursaulina

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

8 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

8 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

8 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

8 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago