Narasi

Dakwah Washatiyah: Menjaga Semangat Islam dan Keutuhan NKRI

Menjadi warga negara Indonesia berarti telah setuju merelakan jiwa, raga, serta hartanya demi kepentingan bangsanya. Itulah kiranya yang sangat-sangat diharapkan oleh para pendiri bangsa. Mereka telah berjuang melawan penjajah dengan mati-matian demi anak-cucu agar merdeka dan terlepas dari intervensi bangsa mana pun.

Sejak dulu, leluhur bangsa Indonesia sangat agamis. Terbukti, dengan adanya agama dan kepercayaan yang melimpah ruah. Hal itu tentu menjadi basis pembentukan karakter bangsa, sehingga tak heran jika sila pertama menggaungkan asas ketuhanan, yang berarti menjunjung tinggi agama dan kepercayaan di atas segalanya.

 Sila pertama, diambil dari nilai sakral berbagai agama dan kepercayaan, oleh karena itu bisa diterima oleh semua kalangan walau beda agama atau kepercayaan. Bisa dikatakan, sila pertama adalah titik tengah yang menyatukan semua agama dan kepercayaan dalam bingkai NKRI.

Islam, sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki andil yang sangat besar bagi kemerdekaan. Banyak tokoh-tokoh pendiri bangsa tak luput lahir dan berkembang dari rahim Islam. Pertempuran 10 Nopember menjadi bukti bahwa kuatnya Islam dalam melawan penjajah. Selain itu, Islam juga memiliki trackrecord sejarah yang bebat berupa kerajaan-kerajaan Islam yang menjamur di berbagai wilayah Indonesia.

Dari dulu sampai sekarang, Islam masih bisa bertahan karena regenerasinya yang terus ada setiap waktu. Tak terhitung, sudah berapa generasi dari dulu sampai sekarang yang masih keukeuh memeluk Islam. Tentu hal tersebut tidak bisa lepas dari aktivitas berdakwah. Nah, sekarang pertanyaannya, bagaimana agar Islam bisa terus eksis berdakwah sekaligus mengobarkan semangat juang nasionalisme?

Tentu, yang paling utama adalah masalah dasar Islam sendiri seperti aqidah dan fiqh-nya. Dakwah Islam menggunakan ajaran dasar aqidah dan fiqh sebagai rujukannya dalam bergerak, sehingga cara pandang terhadap aqidah dan fiqh akan sangat berpengaruh terhadap sosial-politik masyarakat yang didakwahi.

Seperti yang selama ini diikuti oleh HTI, mereka menganggap bahwa penyatuan negara dan agama adalah wajib. Maka, dalam setiap gerakan dakwahnya di sana-sini selalu mengajak masyarakat untuk menegakkan negara Islam yang tentu bertentangan dengan asas dasar negara kita. Dan hal itu yang menyebabkan umat Islam di Indonesia semakin berpecah belah.

Sedangkan ormas besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, memandang bahwa negara dan agama tidak wajib bersatu. Sekiranya, jika umat Islam tidak dihalang-halangi untuk beribadah, maka tetap wajib taat dengan negara yang ditempatinya, entah negaranya berbentuk demokratis, kerajaan, ataupun sosialis. Bahkan menjadi wajib membela negara tersebut jika ada pihak yang merongrongnya, tersebab dengan negara itu umat Islam bisa bebas beribadah dan mengamalkan ajarannya.

Jika merujuk pada kata Islam Washatiyah, maka akan diperoleh setidaknya  empat sifat yang harus melekat pada setiap gerakan dakwah. Pertama, tawasuth, yaitu bersikap tengah-tengah, tidak ikut ekstrim kanan (Islam radikalis) atau ekstrim kiri (komunis) melainkan tetap berpegang teguh pada konsensus bangsa yaitu UUD 45 dan Pancasila.

Kedua, tawazun, yaitu seimbang antara penggunaan akal dan dalil dalam menafsirkan ajaran agama. Tidak saklek dengan teks agama ataupun terlalu liar dalam menafsiri sehingga ajaran Islam tetap bisa relevan dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan pedoman.

Ketiga, i’tidal, yaitu adil dalam setiap hal. Bagi seorang pendakwah dipastikan berhubungan dengan masyarakat yang heterogen. Untuk itu, Islam sangat menekankan keadilan sehingga jika ada Muslim yang bersalah maka tidak boleh dibela, sebaliknya, jika ada non-Muslim yang benar maka wajib dibela. Itulah kehebatan Islam, sama rata di depan hukum.

Keempat, tasamuh, yaitu toleransi dan menghargai perbedaan. Inilah inti yang paling pokok dalam berdakwah. Islam hanya mewajibkan untuk sekedar menyampaikan, jika pun ada yang tidak mau mengikuti ajakan untuk berislam, maka haram hukumnya untuk memaksa. Inilah kiranya yang sering luput oleh pendakwah, seringkali saya melihat mereka menjelek-jelekkan agama lain, padahal dalam Islam sendiri secara tegas dilarang.

Dengan melihat bahwa umat Islam Indonesia diberi dan dijamin kebebasannya dalam beribadah dan mengamalkan ajaran agamanya, maka sepantasnya untuk hidmat dan patuh terhadap negara. Bahkan, KH Hasyim Asy’ari—pendiri NU—mengfatwakan hubbul wathan minal iman. Membela negara sebagian dari iman. Karena dengan negara umat Islam bisa tenang dan bebas dalam beribadah, maka menjadi wajib hukumnya untuk menjaga negara dari setiap ancaman. Pada intinya, bagi para pendakwah harus mengajarkan Islam Washatiyah. Islam yang santun dan ramah, serta menanamkan rasa cinta pada negara. Sehingga Islam bisa terus regenerasi dan tetap keukeuh dalam bingkai NKRI.

This post was last modified on 15 September 2020 11:22 AM

Slamet Makhsun

Recent Posts

Tiga Nilai Maulid ala Nusantara; Religiusitas, Kreativitas, Solidaritas

Menurut catatan sejarah, perayaan Maulid Nabi Muhammad secara besar-besaran muncul pertama kali di Mesir pada…

18 jam ago

Muhammad dan Kehidupan

Konon, al-Ghazali adalah salah satu ulama yang memandang sosok Muhammad dengan dua perspektif, sebagai sosok…

20 jam ago

Meneladani Nabi Muhammad SAW secara Kaffah, Bukan Sekedar Tampilan Semata

Meneladani Nabi adalah sebuah komitmen yang jauh melampaui sekadar tampilan fisik. Sayangnya, sebagian kelompok sering…

20 jam ago

Warisan Toleransi Nabi SAW; Dari Tanah Suci ke Bumi NKRI

Toleransi beragama adalah energi lembut yang dapat menyatukan perbedaan. Itulah kiranya, salah satu ajaran mulia…

2 hari ago

Walima, Tradisi Maulid ala Masyarakat Gorontalo yang Mempersatukan

Walima, dalam konteks tradisi Maulid Nabi, adalah salah satu momen yang sangat dinanti dan dihormati…

2 hari ago

Darul Mitsaq; Legacy Rasulullah yang Diadaptasi ke Nusantara

Salah satu fase atau bagian paling menarik dalam keseluruhan kisah hidup Rasulullah adalah sepak terjang…

2 hari ago