Aturan-aturan baru akan muncul atas dasar fenomena sosial dan diskursus yang berkembang di masyarakat. Akan tetapi, apakah hal itu sudah diimbangi dengan nalar kritis untuk menyelesaikan persoalan? Sehingga solusi yang ditawarkan tidak memunculkan persoalan baru.
Fenomena sosial selalu menjadi perbincangan menarik di tengah masyarakat multikultural ini. Apalagi jika mengamati fenomena sosial akhir-akhir ini, di antaranya adalah gerakan radikalisme. Radikalisme ini bukanlah arti sesungguhnya, lebih tepatnya adalah gerakan ekstrimis terorisme, atau separatisme. Karena fenomena itu mengacu pada kekerasan dan penyebaran paham untuk memisahkan diri dari negara – dengan konsep negara islam.
Alih-alih menggunakan dalil agama dan nama Tuhan, gerakan separatisme ini semakin menjamur paska reformasi. Jamur separatisme ini semakin berkembang biak di lembaga pendidikan, khususnya kampus. Kampus telah menjadi sarang penyebaran paham ini, sebagaimana yang pernah dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ada tujuh perguruan tinggi terbesar di Indonesia yang terpapar radikalisme.
Baca juga : Menguatkan Wawasan Pancasila di Kampus dalam Menangkal Radikalisme
Penulis pernah mengamati pergerakan mahasiswa separatis ini – mahasiswa separatis di sini adalah individu atau kelompok yang anti Pancasila dan berkeinginan kuat mendirikan negara Islam. Mahasiswa ini sebenernya tidak memiliki basis massa yang banyak. Akan tetapi, mereka memiliki tradisi manajerial organisasi yang kuat dan militan.
Militansinya tidak diragukan, dengan jumlah massa yang tidak cukup banyak mereka aktif bergerak. Pergerakannya terstruktur dan masif. Seperti halnya dengan menyebarkan buletin secara rutin, mengadakan pengajian hingga turut serta dalam perpolitikan kampus.
Mereka pun punya gerakan underbone, dengan ideologi yang sama dan tidak melibatkan nama besar organisasinya. Gerakan underbonenya pernah melakukan kajian yang penulis ikuti dengan tema Kedaulatan Sumber Daya Alam. Alhasil, setelah diskusi panjang lebar, kesimpulannya adalah khilafah solusinya.
Dari fenomena kampus di atas, turut membuat Azyumardi Azra, cendekiawan muslim dan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah angkat bicara. Sebagaimana yang dilansir dari tirto[dot]id, Juli 2018, Ia berkata benih radikalisme di kampus tumbuh karena makin berkembang organisasi mahasiswa berpandangan kanan. Tak cuma HTI, organ mahasiswa seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pun jadi pintu masuk penyemaian bibit radikalisme.
Selebihnya, Azyumardi juga tulis status di akun media sosialnya; kembalikan organisasi ekstra seperti HMI, PMII, dan IMM ke dalam kampus, sehingga mengurangi dominasi organisasi Islam kanan. Dari runtutan gagasan-gagasan Azyumardi inilah muncul tanggapan serius dari Menristekdikti. Dengan dikeluarkannya pemenristekditi nomer 50, tahun 2018.
Pemenristekdikti ini menjadi polemik baru bagi gerakan mahasiswa khususnya. Bagaiman tidak, dengan dikeluarkannnya peraturan itu, menristekdikti seolah mau mengatur organisasi kepemudaan, seperti organisasi ekstra kampus (omek). Peraturan tersebut dengan dibuatnya Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKM PIB).
UKM itu dibuat untuk mengawal ideologi bangsa dan menangkal paham radikalisme di kampus. Sebenarnya tujuannya mulia, akan tetapi penanganannya terlalu heroik. Di mana biasanya omek itu dikenal dengan nalar kritisnya akan kondisi sosial secara merdeka, dengan tetap berpegang teguh pada Pancasila. Di sini malah akan ada pemersatuan dalam wadah UKM PIB, yang dikontrol kampus.
UKM PIB ini berlandaskan pada pasal 1 permenristekdikti, bahwa perguruan tinggi bertanggung jawab melakukan pembinaan ideologi bangsa, yang mengacu pada empat pilar kebangsaan yaitu UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, bagi mahasiswa dalam kegiatan kurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler. Menristekdikti mengungkapkan, melalui UKM PIB yang akan dibentuk oleh pimpinan perguruan tinggi. Anggota UKM PIB ini berasal dari organisasi kemahasiswaan intra kampus dan organisasi kemahasiswaan ekstra kampus.
Dengan diterbitkannya Permenristekdikti ini, maka organisasi ekstra kampus seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan lainnya dapat masuk kampus dan bersinergi dengan organisasi intra kampus di bawah pengawasan pimpinan perguruan tinggi.
Dengan dibuatnya permenristekdikti guna mengawal ideologi Pancasila di kampus, akankah mampu membentengi kampus dari paham radikalisme? Bukankah ideologi itu tidak bisa mati, meskipun organnya telah tiada. Ideologi berawal dari paradigma akal pikiran setiap orang. Jika setiap orang memiliki kerangka berpikir radikal, apakah mampu ditangkal hanya sekedar membuat UKM PIB.
This post was last modified on 13 November 2018 2:59 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…
View Comments