Narasi

Delusi Akar Radikalisme Agama

Jika radikal berarti kembali ke akar (radix). Radikalisme berarti suatu paham untuk kembali ke akar. Maka akar dari seluruh agama sesungguhnya adalah kasih-sayang. Tetapi bagaimana sekarang bisa berubah potensi menjadi kekerasan. Maka adanya fenomena kekerasan yang mengatasnamakan agama itu tegak bukan berdasarkan akar historis agama atau bahkan fenomena yang bersifat agamis. Tetapi delusi yang mereka bangun adalah kisah-kisah “teknis” politik tentang “penaklukan” “kejayaan” dan “Penguasaan” yang masih dijadikan framing kebenaran akar agama itu sendiri.

Karena orang lebih menyukai kisah-kisah pembantaian atau mati di medan perang dan dipraktikkan dalam kehidupan saat ini. Lalu memiliki kepercayaan masuk surga karena gugur dalam perang sebagaimana Nabi Muhammad SAW selalu menjanjikan para Sahabat yang mati syahid karena berperang di jalan-Nya.        

Tanpa memahami lebih jauh akar tujuan yang diperjuangkan mereka sebetulnya adalah (kemanusiaan) dan melawan serangan dari non-Islam. Karena sepanjang sejarah peperangan umat Islam utamanya Nabi Muhammad SAW tidak pernah menyerang non-Islam jika mereka tidak diserang. Tidak pernah melukai atau bahkan membantai jika tidak dilukai dan membantainya. 

Maka delusi Radikalisme di Indonesia sejatinya tidak memiliki akar keagamaan yang nyata dan kuat. Karena perannya dalam kehidupan sosial berbuat kekerasan. Berkiblat pada praktik politik kekuasaan masa-lalu yang usang karena tergerus oleh konteks dan zaman yang semakin berubah. Tetapi para kelompok radikalisme masih menyandang “teknis” politik yang mereka bangun sebagai satu-satunya kekuatan dengan membungkus agama dan menyebar menjadi virus masyarakat dalam banyak hal. Anti-sosial, nasionalisme (Pancasila) dan Toleransi.

Baca Juga : Strategi Keluar dari Zona Merah Radikalisme

Mereka anti toleransi dalam beragama karena “Teknis” politik identitas yang terbangun dalam bayangannya sebagai ruh kebenaran agama. Bukan sebuah perwujudan (Akar Agama) yang menjembatani pikirannya. Tetapi kisah-kisah situasi politik identitas yang menjadi tolak-ukur dirinya menjadi lebih sensitif melakukan kekerasan. Ini sangat kuat di dalam merenggut hubungan antar kemanusiaannya dan membuat pagar pembatas dalam lingkup sosial dengan mereka yang berbeda agama.

Di Indonesia, radikalisme disebut virus karena sangat mampu dan mudah membuat masyarakat lebih sensitif melakukan sesuatu tindakan kekerasan tanpa pertimbangan rasionalitas. Serta bagaimana harapan-harapan “Surga” dan “Kedamaian diri” dengan menanam karakter kekerasan tersebut jauh lebih ampuh karena berkaca kepada jejak sejarah masa-lalu tanpa penggalian subtansial di dalam mendalami akar-akar kehadiran agama untuk umat Manusia.

Bahkan ada fenomena, bagaimana di saat pemilu, entah pemilihan Bupati, DPR, Gubernur dan bahkan Pilpres. Masyarakat lebih suka dan mudah tergeliat ketika ada sekelompok orang tertentu yang selalu menyandang slogan “Dia kafir tidak boleh dipilih” “No, Islam No Pemimpin” dan  “Pemimpin dari Islam Wajib” tegak menjulang dan masyarakat meyakini ini sebagai gerakan agama. Karena gerakan “identitas” pada hakikatnya masih menjadi racun atau bahkan virus masyarakat. Ini akan semakin mudah mengendurkan perlawanan kita terhadap paham-paham kekerasan yang mengatasnamakan agama.  

Bagaimana kita beneran mengetahui mereka yang sudah memiliki SIM (Syarat Izin Mengemudi) di dalam berkendara motor dan bebas secara hukum berkeliaran mengendarainya. Hanya menjamin secara kualifikasi “Identitas” itu bisa berkendara dengan mahir dan bebas secara hukum. Tetapi sebetulnya, belum memahami dengan kritis apakah SIM (Syarat Izin Mengemudi) yang dia miliki itu diperoleh dengan “menyogok” jalur menyuap aparat. Atau memang benar-benar mengikuti tes dan lulus secara layak untuk mengendarainya.

Maka niscaya tidak bisa kita pungkiri jika setiap harinya di Indonesia penuh dengan tabrakan dan terjadi kecelakaan. Persoalannya entah karena kesalahan pengemudi, keteledoran pengemudi, melanggar aturan lalu-lintas atau bahkan karena memang secara kualitas tidak benar-benar paham di dalam berkendara.            

Pembicaraan ini bukan pada ranah “Takdir” atau dalam bahasa agamanya sudah menjadi kehendak Tuhan. Tetapi di tengah realitas yang mudah terselesaikan karena persoalan “teknis” sudah terpenuhi. Semuanya bisa aman terkendali. Maka yang menjadi keresahan kita hari ini, bahwa Radikalisme semakin mengejar target untuk meluapkan segala ideologi-nya kepada seluruh masyarakat dengan upaya-upaya (teknis keagamaan) yang menjadi sandaran bahwa “Sekadar Islam” dan “Mencaci” itu sudah termasuk kualifikasi kambing hitam untuk mendikte ideologi-nya semakin kuat dan kita akan semakin sulit untuk berada dalam zona hijau dari paham radikalisme.

This post was last modified on 2 September 2020 2:09 PM

Fathur Rohman

Photographer dan Wartawan di Arena UIN-SUKA Yogyakarta

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

1 hari ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

1 hari ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

1 hari ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

1 hari ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

2 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

2 hari ago