Adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa dunia maya telah menjadi lahan subur bagi bersemi dan tumbuh suburnya paham radikalisme terutama yang berbalut isu agama. karakterisitik dunia maya, apalagi media sosial yang terbuka, bebas dan dinamis memungkinkan ideologi radikal direproduksi dan didistribusikan oleh para penyokongnya. Dunia maya ibarat seperti dunia antah berantah dimana semua ideologi dan pemikiran dikontestasikan secara brutal tanpa mengindahkan mekanisme sosial apalagi etika. Dunia maya seolah-olah tidak memiliki batas-batas aturan, etika maupun norma. Komunikasi di media sosial bisa berjalan acak dan liar. Sebuah isu yang dilempar oleh akun-akun anonim akan diamplifikasi oleh ratusan bahkan ribuan akon bot dan menggelinding membentuk semacam bola salju raksasa.
Itulah gambaran alegoris dari kompleksitas dunia maya terlebih media sosial. Maka menjadi tidak mengherankan jika kaum radikal lebih senang menjajakan ideologinya di medsos. Di ranah akademik, mereka cenderung gagal memproduksi wacana ilmiah yang otoritatif. Sementara di panggung politik, kaum radikal tampaknya gagal mendulang simpati publik. Terbukti dalam setiap perhelatan politik elektoral, isu nasionalisme dan demokrasi jauh lebih dominan menarik simpati publik ketimbang isu-isu berkonotasi radikalisme. Lain halnya di medsos, dimana narasi radikalisme bisa disebarkan melalui beragam strategi dan cara. Media sosial selama ini telah dijadikan corong untuk mengamplifikasi gerakan radikal. Tidak berlebihan kiranya jika media sosial menjadi zona merah penyebaran radikalisme.
Mengubah dunia maya dari kondisi zona merah menjadi zona hijau radikalisme membutuhkan kerja keras dan sinergi lintassektor. Seperti kita tahu, dunia maya dan medsos ialah ekosistem masyarakat berbasis jaringan internet yang terdiri atas setidaknya tiga entitas, yakni perusahaan penyedia jasa layanan portal situs atau kanal media sosial, pemerintah sebagai pemegang regulasi dan pengambil kebijakan serta masyarakat umum sebagai penggunanya.
Baca Juga : Strategi Keluar dari Zona Merah Radikalisme
Dari sisi perusahaan alias korporasi kita tentu perlu mendorong mereka untuk tegas pada penyebaran konten bernuansa radikalisme di platform yang mereka buat. Dalam konteks media sosial misalnya, Facebook selama lima tahun belakangan ini dianggap sebagai platform medsos yang paling banyak digunakan untuk menyebarkan konten radikalisme yang berkelindan dengan hoaks dan ujaran kebencian. Salah satu faktornya ialah algoritma Facebook yang memungkinkan konten-konten berbau radikalisme bisa diamplifikasi melalui fitur “suka” dan “bagikan” alias like and share. Kondisi itu bukannya tidak disadari oleh pihak Facebook sendiri. Misalnya dalam momen Pilpres Amerika Serikat tahun 2016 lalu, Facebook mengakui bahwa banyak kampanye negatif dan ujaran kebencian yang disebar melalui platform mereka. Akhirnya, atas desakan banyak pihak, Facebook mengubah sistem algoritmanya yang memungkinkan konten-konten radikalisme, hoaks, dan ujaran kebencian bisa dihapus atau setidaknya dilokalisasikan agar tidak menyebar (viral).
Selain kebijakan perusahaan, pemerintah sebagai pemegang kebijakan dalam konteks kenegaraan kiranya juga perlu bersikap tegas dalam menghalau penyebaran radikalisme di dunia maya. Pemerintah sebagai otoritas tertinggi dalam sebuah negara harus menyusun aturan hukum untuk meregulasi segala aktivitas di dunia maya dan media sosial. Tujuannya tentu saja bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi warganegara, melainkan untuk menjaga eksistensi negara dari rongrongan pihak tertentu, utamanya kaum radikal. Di titik ini harus diakui bahwa pemerintah di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia acapkali berada dalam pilihan yang sulit.
Mengeluarkan regulasi untuk membatasi aktivitas di dunia maya dan media sosial kerapkali menempatkan pemerintah dalam posisi berlawanan dengan kelompok masyarakat sipil. Membatasi internet dan media sosial kerap dianggap sebagai sikap anti-demokrasi. Namun, di saat yang sama, ketika internet dan media sosial tidak dibatasi, hal itu dimanfaatkan kaum radikal untuk menyebarkan gagasannya, merekrut anggota bahkan merencanakan aksi teror. Dilema ini kiranya bisa diatasi ketika pemerintah mampu mengambil jalan tengah antara melindungi demokrasi dan kebebasan berpendapat dengan memastikan dunia maya atau kanal medsos tidak menjadi sarang penyebaran radikalisme.
Terakhir, namun tidak kalah pentingya ialah peran aktif masyarakat sebagai pengguna aktif internet dan medsos. Publik perlu mendapatkan edukasi dan pencerahan seputar bagaimana berinternet dan bermedsos secara sehat. Dalam konteks ini, pemahaman ihwal literasi digital menjadi keharusaan mutlak bagi masyarakat pengguna internet dan media sosial. Literasi digital diperlukan agar publik memiliki pemahaman untuk mengidentifikasi konten atau narasi di media sosial sekaligus membedakan antara konten positif dan negatif. Tidak hanya itu, literasi digital juga dibutuhkan agar masyarakat mampu bersikap dalam menghadapi penetrasi ideologi radikal di media sosial. Sebagai pengguna internet dan medsos, kita acapkali tidak bisa menyeleksi apa saja konten yang hadir dalam laman internet atau medsos yang kita akses. Namun, sebagai pengguna kita bisa menunjukkan respons dan sikap tegas kita dengan sejumlah langkah. Pertama ignoring (mengabaikan) konten bernuansa radikalisme dengan tidak membuka tautan yang dikirimkan, tidak mengklik “suka” dan tidak membagikannya ke orang lain. Strategi ignoring ini cukup efektif menangkal penyebaran radikalisme di kanal media sosial, karena unggahan yang tidak mendapat respons publik umumnya akan tenggelam dengan sendirinya oleh konten-konten lain yang mendapatkan respons publik lebih besar. Kedua, ialah reporting (melaporkan) konten bernuansa radikalisme agar bisa ditindaklanjuti oleh perusahaan penyedia platform internet maupun media sosial dimana konten tersebut menyebar. Strategi reporting ini juga relatif efektif menangkal penyebaran unggahan radikalisme di dunia maya dan medsos. Hanya saja, memang diperlukan kerjasama sesama pengguna internet dan medsos agar konten-konten berbau radikalisme ini tidak mendapat ruang gerak leluasa di internet terutama media sosial. Seperti kita tahu, kaum radikal pun kian cerdik dalam memasarkan gagasannya di internet maupun media sosial. Untuk menghindari pelaporan publik ini, mereka kerap kali menyamarkan unggahan konten radikalisme itu dengan berbagai cara. Kondisi ini tentu menuntut kewaspadaan dan ketelitian semua pihak. Dengan menggencarkan strategi di atas, kita patut optimis dunia maya terutama kanal medsos kita bisa menjadi zona hijau radikalisme.
This post was last modified on 2 September 2020 2:56 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…