Narasi

Deradikalisasi: Memahami Relasi Thoughtlessness dan Kekerasan

Banyak langkah yang telah hadir sebagai bentuk upaya banyak pihak dalam menguraikan benang kusut persoalan radikalisme. Beragam upaya tersebut hadir sejatinya sebagai bentuk ikhtiar guna memunculkan langkah preventif serta penyelesaiannya. Namun menganggap penanganan persoalan hanya sebagai domain pemerintah saja, rasanya terlalu apatis.

Eksistensi individu yang selama ini dianggap sebagai mahluk rasional – namun kerap terjebak dalam kekerasan, seolah terabaikan begitu saja. Sementara bila kita memperhatikan bagaimana kisah perekrutan anggota jaringan radikal dan terorisme sejak peristiwa bom bali 1 hadir, kita mendapati bahwa pemanfaatan thoghtlessness para calon anggota dan anggota mereka untuk menghadirkan kekerasan sangatlah Dahsyat.

Fenomena di atas akan coba kita perhatikan dalam narasi para eks-teroris. Iswanto alias Isy Kariman alias Zaim adalah pemuda yang ketika itu masih berusia belia, namun telah mencecap posisi yang yang tidak remeh dalam kelompok radikal yaitu sebagai komandan kelompok Mujahidin untuk konflik di Poso. Dalam pemaparannya, ia menggambarkan bagaimana proses yang ia lalui hingga menjadi bagian dari kelompok tersebut.

Selain menggambarkan mengenai proses awal dan dinamika yang ia alami ketika terlibat dalam kelompok terorisme, ia pun memaparkan sekilas proses deradikalisasi dalam dirinya (tempo.co, 2018). Titik balik tersebut hadir setelah ia mendapat surat dari Ali Imron, seorang narapidana terorisme yang sempat menjadi mentor dalam mendoktrin dirinya. Dalam suratnya itu, Ali Imron berpesan agar Iswanto tidak lagi meneruskan jalan yang salah dan mulai kembali ke jalan yang benar.

Berikutnya adalah kisah Sofyan Tsauri yang sejak 2005 mulai bergabung dengan barisan gerakan teroris dalam jaringan Al-Qaeda. Dalam pemaparannya ia menjelaskan bahwa doktrin kuat yang sengaja dilancarkan kepada calon-calon anggota-lah yang berhasil membuat koridor pandangan semua yang terlibat akhirnya homogen (Kumparan, 2017). Bahkan daya gedor cara tersebut bukan lagi semata mengarahkan manusia untuk menjadi senada, tapi sampai mampu menggerakkan manusia yang sejatinya mahluk yang bisa berfikir menjadi semacam kekuatan materiil. Proses penalaran yang melekati hakikat manusia seperti gagasan Rene Descartes, seakan sirna dalam realitas pelaku aksi teror yang siap melakukan apa saja tanpa berfikir kritis.

Baca juga : Melawan Terorisme Sejak dalam Pikiran

Tak jauh berbeda adalah kisah di atas, ada pula kisah dari Nasir Abbas, salah seorang eks-kombatan yang sempat mengecap pelatihan di Afghanistan. Dalam pengakuannya, di Afghanistan pria yang ketika itu masih berusia 18 Tahun ini mempelajari beberapa hal seperti menembak, merakit bom dan juga beberapa latihan militer lainnya (tribunnews.com, 2019). Selain mempelajari hal tersebut, proses indoktrinasi ideologi tanpa nalar kritis juga telah dilewatinya.

Tiga kasus rasanya adalah representasi yang pas untuk memahami munculnya persoalan terorisme di negara ini dalam kaitannya dengan “keremang-remangan” alam fikir manusia. Pengamatan seksama terhadap hal ini, tentunya bisa menjadi sebuah katalis bagi kita untuk melihat diri kita sendiri dan potensi kerentanannya. Artinya, melalui pemahaman atas hal-hal di atas potensial menghadirkan sebuah lesson-learned bersama guna memunculkan potensi mawas diri.

Sebuah Lesson-learned Bersama

Dari semua gambaran kisah di atas, kita akan menemukan kesamaan pola yaitu hadirnya sebuah keadaan di mana “ketiadaan-berfikir” menjadi sebuah kenyataan. Bagi Hannah Arendt, dalam bukunya yang berjudul Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil, hal di atas disebutnya sebagai thoughtlessness. Dalam penyelidikan yang kemudian ia tuangkan ke dalam tulisan yang cukup mengguncang dunia akademik dan jurnalisme itu, Hannah Arendt menyadari bahwa lewat tekanan, agitasi, indoktrinasi dan kampanye yang dilakukan terus-menerus diselingi penyebarluasan politik ketakutan, seorang Adolf Hittler mampu membuat banyak perubahan pada negara Jerman dan wilayah Eropa. Politik hasutan untuk melontarkan kebencian secara massal dilakukannya, guna membangkitkan spirit nasionalisme bangsa Jerman ketika itu. Efeknya sangat luar biasa, sebab ternyata luapan emosi masyarakat berhasil diinstrumentalisir demi kepentingan sang fuhrer.

 

Korelasi bentuk thoughtlessness atau ketiadaan-berfikir seperti dijelasakan paragraf di atas, hadir dalam kisah-kisah para eks-teroris dan eks-simpatisannya. Mereka semua mendapatkan agitasi, indoktrinasi dalam bingkai politik ketakutatan yang dihadirkan oleh pemimpin kelompok teror tersebut. Nalar kritis serta keragaman berfikir yang dimiliki masing-masing individu tersebut tidak hadir menjadi sarana dalam melihat realitas. Sebaliknya, mereka justru hanya menjadi manusia yang patuh terhadap perintah dan akan berupaya melakukan dengan benar apa yang menjadi ketetapan atau pun keinginan pemimpinnya.

Hal ini juga yang terjadi pada seorang pelaku teror yang cukup terkenal asal Indonesia bernama Hambali (Abbas, 2005). Sehingga tidak-lah mengherankan bila para pelaku teror bom yang selama ini beraksi, tidaklah memiliki rasa takut sedikit pun dalam melakukan aksinya. Sebaliknya mereka justru berupaya melakukan perintah dan tugas sebaik-baiknya.

Tidak ada perasaan bersalah atas tindakan yang dilakukan oleh para anggota teroris tersebut. Sebab jangan-kan berbicara mengenai moralitas kemanusiaan yang mesti dijunjung tinggi, yang mereka ketahui hanyalah kepatuhan dalam mengikuti dan menaati petunjuk pimpinan. Sehingga bila kemudian mereka keluar dari ruang interaksi dalam kelompok terorisnya, maka yang ada dalam kepala mereka hanyalah kebingungan karena kehilangan petunjuk.

Thoughtlessness bukanlah kebodohan, melainkan keadaan di mana manusia yang hakikatnya sebagai mahluk yang mampu berfikir malah memilih untuk tidak menggunakan nalar kritisnya dalam melihat realitasnya dan malah memilih patuh saja terhadap apa yang ia yakini benar. Melalui pemahaman di atas artinya persoalan terorisme sebenarnya potensial menghinggapi siapa saja, terkhusus bila keadaan thoughtlessness hadir dalam diri individu.

This post was last modified on 18 Oktober 2019 2:27 PM

Fredy Torang WM

Penerima Asian Graduate Student Fellowship - Asia Research Institute 2016, Pengajar di program studi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago