Narasi

Hikayat Binatang Beragama

 Well, mother, tell your children

Never do what I have done

Spend your lives in sin and misery

In the house of the rising sun

—Five Finger Death Punch

 

Pernah suatu kali saya disepelekan “kecil” karena tak mau menuruti kemauan ataupun kebiasaan goblok mereka untuk berbuat dosa. Maklum, derajat mereka cuma sekedar tukang kepruk dan pedagang selangkangan. Pada dasarnya saya tak anti terhadap kalangan seperti itu. Tapi ada yang berbeda dengan modus perbuatan dosa mereka dengan perbuatan dosa seperti yang terjadi di masa silam. Di hari ini mereka sangat mahir menggunakan berbagai kemasan untuk menutupi boroknya: pilihan ideologis-politis dan paham keagamaan.

Terkadang saya terkekeh, bagaimana mungkin ukuran kebesaran seseorang diukur dengan keberanian untuk berbuat dosa atau kejahatan dengan tutup ataupun label tertentu? Saya tak pula manusia suci yang luput dari perbuatan dosa. Tapi ide dasar yang goblok yang melatari perbuatan dosa itulah yang menggelitik saya untuk menelisik lebih jauh. Manusiakah kalangan yang justru berbangga atas segala aib dan perbuatan dosa atau kejahatan yang dilakoni?

Adalah organisasi teroris internasional, IS, yang secara tepat dapat menggambarkan pola dan struktur gerakan “kejahatan” dengan memakai kemasan ideologis dan idiom-idiom ataupun simbol-simbol keagamaan tertentu. Siapa pun tahu bahwa kehidupan para anggota ataupun simpatisan IS sangat berkebalikan dengan tampilan mereka di ruang publik. Ada banyak, misalnya, mantan pemusik, orang-orang yang karib dengan alkohol, penari bugil hingga pelacur yang sekonyong-konyong berbaiat dan langsung melakonkan diri mereka sebagai

para jihadis. Siapa pun tahu pula bahwa banyak perempuan, khususnya suku Yazidi, digunakan sebagai pulihan seksual atas segala jihad yang telah dilakukan para anggota IS.

Baca juga : Para Pembajak Agama

Tentu kita ingat Omanta Maute, seorang “emak-emak” yang—secara simbolis—memomong “anak-anakannya” yang diorganisir oleh Omar dan Abdullah Maute, dua bersaudara lulusan SMA Kristen Dansalan College, di Marawi. Untuk sedikit mengulik gerakan-gerakan yang anti pemerintah beberapa waktu lalu, banyak diantara bukti visual yang ada menunjukkan adanya relasi antara para pelaku yang umumnya anak-anak muda dengan emak-emak (lihat video ancaman pemenggalan kepala presiden yang viral beberapa bulan yang lalu). Adakah struktur gerakan “emak-emak” dan “anak-anakannya” ini merupakan struktur khas gerakan IS khususnya di Indonesia?

Tapi sebenarnya tak pula modus-modus kejahatan di atas semata dilakukan oleh gerakan-gerakan yang bernuansa keagamaan. Modus-modus itu kentara pula dilakukan oleh gerakan-gerakan yang pernah saya namakan sebagai gerakan “nasionalisme masturbasif” (Parasit dan “Nasionalisme Masturbasif,” Heru Harjo Hutomo, www.harakatuna.com). Mereka, pada tataran mindset, sebenarnya tak berbeda: sama-sama memelihara kegoblokan untuk selalu berada di titik ekstrim sehingga dua pilar yang secara permukaan tampak berlawanan dapat menunjukkan pola pikir dan wajah yang sama, yang otomatis pula ekses radikalitas dan teroristik yang sama pula. Itulah kenapa kedua bentuk radikalitas itu saya labeli sebagai kalangan yang maunya enak sendiri, parasit, seperti orang yang buta agama tapi menginginkan surga. Dan pada titik inilah sesungguhnya radikalisme tak melulu berkaitan dengan kesan keislaman, tapi dapat pula kekatolikan atau bahkan kanasionalismean. Dengan demikian saya kira, IS tak lagi sebuah gerakan, tapi sudah menjadi pola pikir dan kebiasaan yang dapat merasuki golongan atau paham apapun—seperti ada sebuah model, plot ataupun pola yang terus berulang tak peduli apapun formatnya.

Karakteristik IS yang sudah menjadi semacam pola pikir dan kebiasaan itu dapat saya rangkum berikut ini. (1) Adanya penafsiran-penafsiran keagamaan ataupun ideologi yang sengaja didistorsi dan dibuat rendah (baca: gampangan), dapat digunakan seenaknya dan semaunya di mana batas antara maksiat dan ibadat tak lagi terlihat (semisal pemalakan yang dikemas sedemikian rupa menjadi sebentuk shodaqoh). (2) Menciptakan chaos epistemologis dan kultural dengan cara mengadudomba atau memanfaatkan sentimen keagamaan (pelecehan-pelecehan terhadap ajaran keagamaan tertentu). (3) Secara sengaja mencampuradukkan berbagai doktrin agama dengan tujuan menghilangkan jejak kejahatan (seumpamanya doktrin khumul dalam Islam dengan doktrin kenosis dalam Katolik secara goblok dan salah kaprah). (4) Menggaet dengan menjebak sebanyak mungkin pengikut untuk menisbahkan suatu kejahatan atau kesalahan yang tak dilakukan pada mereka. (5) Perendahan dan caci-maki untuk menghilangkan kepercayaan publik pada orang-orang yang mereka anggap menghalangi agenda-agenda tersembunyi mereka.

This post was last modified on 21 Oktober 2019 5:28 PM

Heru harjo hutomo

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

14 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

14 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

14 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago