Media sosial sebagai sarana informasi, komunikasi, pendidikan, dan hiburan sering dihinggapi oleh virus-virus penyakit: ujaran kebencian, hoax, provokasi, caci-maki, rasisme, konten radikalisme, dan sejenisnya. Upaya mendeteksi virus itu sedini mungkin perlu dilakukan, agar imunitas sosial media biar tetap terjaga. Ibarat penyakit, jika dilakukan pengobatan sedini mungkin dan terus menerus, maka virus penyakit akan terkontrol, tidak berkembang ke mana-mana, dan pada akhirnya bisa disembuhkan. Mendeteksi virus-virus penyakit itu sesegera mungkin, merupakan aksi mulia demi menyelamatkan keharmonisan, kesejukan, dan kedamaian yang terjalin selama ini di masyarakat.
Upaya mendeteksi itu dilakukan dengan cara memproteksi media sosial. Proteksi ini sebagai tindakan pengobatan dan penyembuhan kewarasan narasi yang berkembang. Tugas ini, bukan hanya wajib dilakukan oleh semua kalangan warganet, melainkan juga sebagai beban moral yang harus diemban bersama. Dengan menganggap proteksi sebagai kewajiban moral, maka tingkat kesadaran setiap netizen akan lebih tinggi untuk merawat dan meruwat narasi kedamaian di media sosial dari sesuatu yang bersifat nista. Narasi-narasi kedamaian sebagai counter terhadap narasi kotor itu adalah penting, mengingat media sosial adalah dunia bebas. Di mana setiap orang dengan bebas mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. Di lain sisi, media sosial sudah menjadi semacam eksistensi diri –terutama di kalangan milenial. Ungkapan yang pas adalah: Aku ada karena aku bermedsos.
Konteks sekarang, literasi media –artinya netizen bisa mebedakan mana berita benar, mana berita hoax; mana konten yang mendamaikan, mana yang justru memprovokasi –sesuatu yang sangat urgen sebagai alat detektif online. Cara mendeteksi yang bisa diparaktekkan adalah detektisi ala Socrates (469 SM-399 SM), seorang filsuf besar Yunani kuno. Deteksi on-line itu adalah perlu mempertanyakan setiap konten dengan tiga pertanyaan sekaligus: Apa kebenaran konten ini? Apa kebaikan konten ini? Dan apa kemanfaatan konten ini? Dengan demikian menjaga: kebenaran, kebaikan dan kemanfatan –adalah kunci. Dengan tiga kunci ini, media social akan terproteksi dari virus kebencian.
Baca juga : Patroli Digital; Gerakan Hijrah Milenial Meninggalkan Hate Speech
Ujian pertama sebagai langkah awal memproteksi virus kebencian dari media sosial adalah dengan mempertanyakan kebenarannya. Pertanyaan ini untuk menguji validitas sebuah konten, baik itu bersifat korespondensi –yaitu mempertanyakan sejauh mana berita/informasi sesuai dengan realitas di lapangan –maupun bersifat koherensi, yakni sejauh mana berita/informasi konsisten dengan berita/infomasi lain atau sebelumnya. Ddengan mempertanyakan kebenaran mendorong netizen untuk mempertanyakan ulang kredibilitas sebuah informasi/berita. Benar apa tidak, dari mana berita itu muncul, dan siapa yang mengatakannya. Dengan logika seperti ini, verifikasi sebuah konten akan berjalan terus-menerus. Netizen yang cerdas adalah netizen yang selalu mempertanyakan validitas sebuah konten.
Ujian kedua yang perlu dilakukan netizen adalah memepertanyakan sejauh mana sebuah konten mempunyai dampak baik kepada orang lain. Seandinya pun sebuah konten benar, toh tidak selamanya ia mengandung kebaikan. –baik terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain. Kerena tidak semua yang benar itu adalah baik. Signifikansi mempertanyakan sisi baik tidaknya sebuah konten adalah untuk menguji sisi kemanusian kita. Jika ujian pertama adalah aspek logis, maka ujian kedua ini merupakan aspek hati. Hati harus ikut dalam menyensor konten di media sosial. Selama ini, kita sebagai netizen hanya sering mempertimbangkan sisi kelogisan berita, sementara sisi kemanusia sering luput dari pengawasan.
Bila tidak semua yang benar itu baik, maka hal yang sama: tidak semua yang baik itu fungsional (bermanfaat). Ujian tahap ketiga ini sebagai bagian dilakukan seandainya ujian kedua lolos. Toh, banyak konten benar dan baik justru dalam kondisi tertentu tidak membawa kemanfatan yang berarti. Mempertimbangkan kemanfaatan dari sebuah informasi/berita itu penting, mengingat banyak pelintiran dan dramatisasi di media sosial. Ketiga ujian ini perlu diterapkan demi menjaga keharmonisan. Kedamaian, dan kesejukan di media sosial. Terpeliharanya ketiga poin ini akan melahirkan ruang publik yang membangun, bukan ruang publik yang justru penuh dengan caci-maki, hoax, ujaran kebencian, dan segala macam konten negatif lainnya.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments