Ruang publik keberagamaan di Indonesia pasca Reformasi diwarnai oleh kontestasi dakwah Islam yang saling berebut dominasi. Secara garis besar, ada dua corak atau kelompok dakwah yang berebut menjadi paling dominan di ruang publik tersebut.
Kelompok pertama ialah dakwah yang mengusung semangat moderatisme Islam. Kelompok ini dicirikan dengan karakternya yang toleran, inklusif dan pluralis. Dakwah model ini cenderung adaptif terhadap pluralitas kebudayaan dan keagamaan yang ada di Indonesia. Kelompok kedua ialah dakwah yang mengusung spirit ekstremisme, yakni sikap berlebih-lebihan dalam beragama. Kelompok ini memiliki karakter cenderung intoleran, eksklusif dan tidak ramah pada perbedaan agama dan budaya yang hidup di tengah masyarakat.
Jika dibaca dari perspektif demografis, dakwah berkarakter moderat sebenarnya memiliki basis populasi yang lebih besar ketimbang corak dakwah ekstrem. Hanya saja, di permukaan, kelompok dakwah berkarakter ekstremisme cenderung lebih dominan dalam mewarnai ruang publik keberagamaan kita. Meski minoritas, mereka berani dan mampu memproduksi opini-opini yang menarik perhatian publik, meski hal itu harus dilakukan dengan mengangkat hal-hal kontroversial dan meresahkan masyarakat. Sebaliknya, kelompok dakwah moderat tergolong sebagai silent majority, yakni kelompok mayoritas yang cenderung tidak produktif dalam membangun opini publik. Alhasil, dinamika kontestasi dakwah Islam di Tahah Air seolah-olah didominasi oleh kelompok dakwah ekstremisme.
Hal ini berimplikasi pada sejumlah hal. Karakter dakwah ekstremisme yang didasari pada klaim kebenaran tunggal, sikap intoleran terhadap liyan dan nalar literalistik dalam memahami ajaran agama telah melahirkan sejumlah residu persoalan sosial-keagamaan. Antara lain, masyarakat menjadi mudah terprovokasi oleh isu-isu sosial-politik yang dibingkai dalam isu-isu sentimen agama. Tidah hanya itu, corak dakwah ekstremisme juga telah menyumbang andil pada suburnya teologi kebencian dan kekerasan di kalangan umat Islam. Seperti dapat kita lihat saat ini, umat Islam begitu mudah diprovokasi, dipolitisasi dan dimobilisasi melalui isu-isu agama yang belum jelas kebenarannya.
Jika disikapi secara permisif, hal ini tentu akan berdampak serius pada keutuhan NKRI. Seperti kita tahu, Indonesia merupakan negara kebangsaan (nation state) yang terdiri atas berbagai macam suku, agama, budaya, dan bahasa. Indonesia ialah satu kesatuan tunggal dari entitas keberagamaan dan kebudayaan yang plural. Kondisi itu menuntut corak keberagamaan yang adaptif pada nilai-nilai kebangsaan dan kebinekaan. Pada titik ini, corak dakwah Islam ekstremisme yang provokatif, intoleran dan tidak adaptif pada realitas sosial yang plural tentunya kontraproduktif terhadap upaya merawat kerukunan dan persatuan bangsa. Dakwah ekstremisme tidak diragukan telah merapuhkan sendi-sendi kebangsaan.
Sinergi NU dan Muhammadiyah Mengembangkan Dakwah Washatiyah
Merespons hal itu, kita perlu mendorong dakwah dengan perspektif moderatisme (washatiyah) agar menjadi corak dakwah yang dominan dalam ruang publik keberagamaan kita. Kelompok dakwah moderat tidak boleh lagi menjadi silent majority dan membiarkan kaum minoritas-ekstrem menguasai panggung dakwah yang menebar provokasi serta adu-domba umat secara leluasa. Kelompok dakwah moderat harus tampil ke muka, mengambil alih ruang publik dan mengisinya dengan narasi keagamaan yang mencerahkan, menyejukkan dan mempersatukan umat. Salah satu strategi yang kiranya bisa dilakukan ialah membanjiri kanal-kanal media sosial dengan konten dakwah yang bernuansa moderat.
Sudah menjadi kelaziman bahwa media sosial belakangan ini menjadi saluran dakwah paling efektif dan memungkinkan menjangkau umat secara luas. Media sosial telah menjadi sarana dakwah baru menggeser media-media konvensional yang mulai ketinggalan zaman (out of date). Dalam hal ini harus diakui bahwa corak dakwah ekstremisme sudah terlebih dahulu menjadikan dakwah sebagai corong komunikasi mereka. Di media sosial, konten dakwah bercorak ekstremisme bisa dengan mudah ditemukan. Akun-akun media sosial yang menyebarkan konten dakwah ekstrem mendapat pengikut ratusan ribu bahkan jutaan orang. Harus diakui, mereka memang gesit membangun jaringan di media sosial sehingga bisa solid sampai sekarang.
Sebaliknya, corak dakwah moderat yang dimotori oleh dua ormas Islam besar, yakni NU dan Muhammadiyah cenderung hanya menjadi arus pinggir (side stream) di ranah dakwah digital-virtual. Maka dari itu, para eksponen dakwah moderat harus bekerja keras, membangun jejaring di dunia virtual agar bisa menandingi kelompok dakwah ekstremisme. NU dan Muhammadiyah perlu bekerja keras untuk merebut kembali ruang publik virtual kita yang selama ini kadung dibanjiri oleh narasi keislaman intoleran-radikal. Jika bukan NU dan Muhammadiyah, lantas siapa lagi yang akan menjadi garda depan penjaga keutuhan NKRI? Pada dua ormas Islam itulah kita menaruh harapan akan adanya pergeseran corak dakwah dari ekstremisme ke moderatisme (washatiyah).
Ironisnya, NU dan Muhammadiyah sebagai katakanlah penjaga gawang NKRI justru kerap terlibat friksi lantaran hal sepele dan tidak subtansial. Selama ini, NU dan Muhammadiyah, terutama di akar rumput mengalami perpecahan akibat perbedaan praktik keberagamaan terutama dalam hal ritual peribadatan. Misalnya saja yang paling ramai diperbincangkan ialah perbedaan pandangan antara NU dan Muhammadiyah dalam hal doa qunut pada shalat Subuh, membaca tahlil dan ziarah kubur. Hal-hal khilafiyah itu telah memantik sentimen fanatisme masing-masing pihak dan memantik adanya perpecahan. Hal-hal semacam ini kiranya bisa diselesaikan dengan tidak membesar-besarkan persoalan.
Baik NU maupun Muhammadiyah, keduanya sebenarnya tengah menghadapi tantangan yang nisbi sama; yakni infiltrasi dakwah ekstremisme yang kian tidak terbendung. Keberadaan kelompok dakwah berhaluan ekstrem yang mempromosikan radikalisme bahkan khilafahisme tidak diragukan telah merong-rong keberadaan NU dan Muhammadiyah sebagai dua ormas Islam paling otoritatif di negeri ini. Di lapangan, banyak anggota NU dan Muhammadiyah yang akhirnya terpengaruh oleh corak dakwah radikal-ekstrem dan meninggalkan organisasi tempat mereka selama ini bernaung. Kesadaran mengenai musuh bersama ini patut dibangun di kalangan NU maupun Muhammadiyah. Tujuannya agar kedua ormas itu bisa bersinergi merebut kembali ruang publik keberagamaan kita dan mengisinya dengan corak dakwah moderat, dakwah berkemajuan ala Muhammadiyah dan dakwah berorientasi kebangsaan layaknya NU.
This post was last modified on 16 September 2020 1:55 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…