Narasi

Dunia Maya sebagai Corong Orasi Perdamaian

Penetrasi media sosial dalam satu dasawarsa terakhir memang tidak dapat terkendalikan. Perkembangannya yang menjelajah ke pelosok negeri membuat publik semakin “asyik” dengan dunianya sendiri. Manusia di berbagai belahan dunia dapat berkomunikasi. Dengan kata lain, masyarakat dapat berinteraksi dengan siapapun tanpa batas. Namun ironisnya, ketika media sosial berkembang, ada gejala yang tidak diimbangi. Pada akhirnya, beragam tindakan yang dapat membelah kesatuan bangsa juga menjadi konsekuensi logis.

Jika ditelisik lebih jauh, perkembangan dunia maya justru menjauhkan manusia dari sifat toleran. Malahan, media sosial sebagai etalase untuk menanamkan benih-benih kebencian, permusuhan dan kekerasan. Pada akhirnya, permusuhan virtual menjadi tidak terkendali. Hal-hal seperti ini yang dikhawatirkan berimbas kepada persatuan dan kesatuan bangsa.

Pada kondisi inilah penghargaan terhadap kebhinnekaan belum menjadi sikap dalam ber-sosial media. Di dunia maya, banyak orang menyelesaikan berbagai perbedaan pendapat dengan cacian dan makian. Saling mengolok-olok, membentuk poros lover dan hatter menjadi tidak terkendali. Pada posisi inilah, dunia maya sebagai ladang subur untuk mengekang kebhinnekaan.

Lebih dari itu, arus kebencian dan permusuhan juga menyusup ke berbagai lapisan termasuk di dunia politik. Dalam realitas politik yang terjadi sekarang ini, kampanye kebencian menjadi jualan politik untuk menumbangkan kompetitornya. Beragam isu sensitif seperti suku, agama dan antar golongan (SARA) dijadikan meriam untuk menggergaji lawannya. Dengan kesadaran tinggi, isu sara dijadikan alat untuk melegitimasi lawannya.

Maka, praktik-praktik seperti inilah yang justru meningkatkan kebencian sesama warga negara. Kebhinnekaan yang menekankan kerukunan antar agama, suku, ras hanya menjadi isapan jempol belaka. Rasa saling mengasihi, menghormati dalam aspek apapun tidak terjadi. Kampanye kebencian seperti ini juga diekspresikan di dunia maya. Dunia maya menjadi ajang pertempuran opini kosong dan menyesatkan. Perang opini tanpa etika yang bermuara pada kebencian antar individu semakin meninggi. Sehingga, sikap-sikap yang tidak semestinya menjadi liar di dunia maya.

Yang patut kita sayangkan ketika kaum intelektual terlibat dalam debat beraroma kebencian. Orang-orang yang memiliki dedikasi tinggi seolah menemukan egalitasnya di dunia maya. Mereka mendegradasi dirinya setara dengan orang tidak berpendidikan, dengan cara menyampaikan pesan-pesan anti kedamaian. Debat kusir yang dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tentu merobohkan nilai-nilai intelektualitasnya. Orang berpendidikan seolah-olah harus turun tangan berdebat dan saling menjelek-jelekan, menghina, dan memaki.

Meskipun niat hati tidak ingin menebarkan kebencian, dan kebohongan, ujaran di dunia maya yang berpotensi menyuburkan permusuhan tetap saja salah. Apalagi, ujaran yang dilontarkan membawa-bawa sentimen agama, ras, dan budaya. Tentu ini akan memantik kelompok lain untuk memanfaatkan situasi ini.  Kelompok yang berniat memecah-belah bangsa akan masuk dan menjadi pengadu domba. Pada akhirnya, sesama putra-putri bangsa bercerai berai.

Tentunya, hal semacam ini harus dihalangi dengan seksama. Dunia maya yang semestinya menjadi corong orasi perdamaian, tidak boleh menjadi alat propaganda, penebar kebencian, dan permusuhan. Maka, tidak ada cara lain bagi kita untuk terus kritis di dunia maya. Artinya, dunia maya tidak hanya dijadikan alat untuk berinteraksi. Namun menjadi alat untuk berdiskusi untuk mempererat tali persaudaraan.

Harapan tentu tetap kepada kaum intelektual dan berpendidikan serta para pendakwah. Karena itu, mari kita tebar kedamaian dan kesejukan di media sosial demi keutuhan bangsa dan negara.

Aminuddin

Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan aktif menulis di berbagai media massa lokal dan nasional

Recent Posts

Pesta Rakyat dan Tafsir Lokalitas dalam Menjaga Imajinasi Kolektif Satu Bangsa

Setiap bulan Agustus, bangsa Indonesia seolah menemukan denyut kebersamaannya kembali. Dari istana hingga gang sempit…

2 hari ago

Sangkan-Paran, Ingsun, dan Kedaulatan

Tentang arti dari sebuah kedaulatan, barangkali Sri Sultan Hamengku Buwana I adalah salah satu sosok…

2 hari ago

Ekspresi Pengorbanan dan Cinta Tanah Air dalam Perayaan Kemerdekaan

Pesta rakyat merupakan sebuah ekspresi komunal yang tak hanya menandai perayaan, tetapi juga mencerminkan wujud…

2 hari ago

Euforia Kemerdekaan Rakyat Indonesia Sebagai Resistensi dan Resiliensi Rasa Nasionalisme

Kemerdekaan Indonesia setiap tahun selalu disambut dengan gegap gempita. Berbagai pesta rakyat, lomba tradisional, hingga…

3 hari ago

Pesta Rakyat dan Indonesia Emas 2045 dalam Lensa “Agama Bermaslahat”

Setiap Agustus tiba, kita merayakan Pesta Rakyat. Sebuah ritual tahunan yang ajaibnya mampu membuat kita…

3 hari ago

Bahaya Deepfake dan Ancaman Radikalisme Digital : Belajar dari Kasus Sri Mulyani

Beberapa hari lalu, publik dikejutkan dengan beredarnya video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang seolah-olah menyebut…

3 hari ago