Narasi

Ekspresi Kemerdekaan dan Urgensitas Nasionalisme dalam Islam

Pada tanggal 17 Agustus ini, masyarakat Indonesia telah merayakan Ulang tahun Kemerdekaan Indonesia yang ke-75. Berbagai euforia dirayakan oleh seluruh elemen bangsa berdasarkan preferensinya masing-masing. Masyarakat pecinta alam mengekspresikannya dengan naik gunung dan kemudian mengibarkan sang saka merah putih di puncaknya. Sebagian masyarakat yang lain, ada yang mengekspresikannya dengan mengunjungi situs-situs budaya nasional untuk merawat ingatan akan romantisme Kemerdekaan, sedangkan masyarakat tradisional mengekspresikannya melalui selametan dan malam tirakatan kemerdekaan, serta berbagai ekspresi-ekspresi pembangkit nasionalisme yang lainnya.

Salah satu yang cukup unik, pemerintah mengajak masyarakat untuk mengheningkan cipta selama tiga menit mulai pukul 10.17 hingga 10.20 sesuai wilayah waktunya dari Sabang sampai Merauke, hal ini sebagai wujud menghormati hari kemerdekaan Indonesia. Kebetulan saya pagi tadi berada di jalan dan sejenak terhenti di perempatan lampu merah, yang secara tertib Polisi lalu lintas memimpin proses mengheningkan cipta secara langsung. Bagi saya, hal ini suatu pengalaman haru nan membanggakan yang luar biasa.  

Dari peristiwa di atas dapat menandakan bahwa jiwa nasionalisme harus terus kita dengungkan melalui berbagai ekspresi, sesuai dengan kapasitas dan preferensi masing-masing. Setidaknya ekspresi nasionalisme tersebut dilakukan dalam momentum hari kebangsaan Indonesia. Karena di sisi yang lain, para perongrong ideologi bangsa selalu mencari celah agar masyarakat dapat terkikis rasa kebangsaannya terhadap ideologi bangsa Pancasila.

Baca juga : Hijrah dari Primordialisme menuju Nasionalisme

Bersamaan dengan hal itu, di Timeline media sosial Facebook saya beberapa waktu lalu muncul propaganda film “Jejak Khilafah di Nusantara” yang akan di upcoming pada tanggal 1 Muharram 1442 H atau 20 Agustus 2020 di seluruh Indonesia. kelompok ini berupaya mengganggit emosi massa agar dapat percaya terhadap ideologi yang mereka dengungkan.    

Ekspresi primodialisme yang mereka lakukan sebenarnya akan mencederai cita-cita nasionalisme kebangsaan kita. Secara de jure kita telah merdeka dari segala bentuk kesewenang-wenangan penjajah. Tetapi secara de facto kita belum sepenuhnya merdeka dari perongrong ideologis yang harus kita reduksi bersama, agar tidak bisa menembus batas identitas kebangsaan kita.     

Sebagaimana menurut Sukarno, dalam pidato-pidato yang termuat bukunya berjudul “Di bawah Bendera Revolusi Jilid 2” yang mengemukakan bahwa Indoenesia Sekali Merdeka, Tetap Merdeka !. Sukarno dalam pidato-pidato kebangsaannya telah menegaskan bahwa pentingnya merdeka dari segala bentuk penindasan, serta pentingnya berdiri di kaki sendiri sebagai bangsa. Meskipun istilah nasionalisme sendiri tidak ada frasanya dalam Islam. Tetapi secara esensial, nilai nasionalisme tidak bertentangan dengan Islam.   

Nasionalisme dalam Islam

Nabi Muhammad SAW sendiri sangat mencintai tanah airnya, yakni Mekkah Al-Mukaromah. Sebagaimana dalam hadist dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh al-Tirmizi. bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Alangkah indahnya dirimu (Mekah). Engkaulah yang paling kucintai. Seandainya saja dulu penduduk Mekah tidak mengusirku, pasti aku masih tinggal di sini” (HR: al-Tirmidzi). Begitu cintanya nabi Muhammad terhadap tanah airnya, yang secara tidak langsung, Nabi telah mengekspresikan rasa nasionalismenya, sebagaimana juga tersurat dalam surat Al-Baqarah {2}: 144.  

Dalam Islam sendiri, terdapat dalil Al-Quran yang menandaskan pentingnya spirit nasionalisme. Misalnya dalam surat Al-Rum (30): 30, yang menyatakan bahwa rasa cinta tanah air merupakan fitrah manusia. Hal ini berkelindan dengan kebutuhan akan solidaritas kebangsaan, yang kemudian diparipurnai dengan berdirinya berbagai nation-state di berbagai belahan dunia.

Nasionalisme juga secara implisit termuat dalam surat Al-Qasas ayat 55 diuraikan bahwa “Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (petunjuk) Alquran benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali”. Menurut tafsir dari Syeikh Ismail Haqqi, pengarang kitab tafsir Ruhul Bayan fi tafsir Al-Quran ayat ini menegaskan bahwa cinta tanah air merupakan sebagian dari Iman, dan hal ini yang mengilhami Nahdlatul Ulama (NU) dalam mengekspresikan “Hubbul Wathon Minal Iman” dalam senandung kebangsaannya.    

Untuk itu, merawat rasa Nasionalisme merupakan kebutuhan sekaligus keharusan bagi segenap bangsa Indonesia. Para pendahulu dan pejuang kemerdekaan tanah air Indonesia telah rela mengorbankan jiwa raganya demi kemerdekaan bangsa. Mengeskpresikan kecintaan kita terhadap Negara merupakan wujud menghargai kotribusi para pendahulu bangsa yang telah menorehkan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa. Sehingga, kini kita bisa hidup dengan aman, aman dan sentosa.

Akhirnya, DIRGAHAYU Indonesia ke-75, semoga selalu berjaya sebagai Negara bangsa yang telah menyatukan seluruh Nusantara dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.               

This post was last modified on 18 Agustus 2020 2:49 PM

Ferdiansah Jy

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

13 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

13 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

13 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

13 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

1 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

1 hari ago