Pustaka

Fakta Khilafah yang Tak Dirindukan

Judul Buku                  : Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim

Penulis                        : Farag Fouda

Tahun  Terbit              : 2012, New Digital Editions

Cetakan                       : Democracy Project: Yayasan Abad Demokrasi

Tebal                           : 293 Halaman

Saya rasa, tidak ada bukti yang paling kokoh selain fakta sejarah. Sebagaimana, ada begitu banyak fakta-fakta sejarah yang mencoba mematahkan sebuah reputasi khilafah yang dianggap sebagai ajaran “suci” itu. Ajakan kembali khilafah sebagai solusi dengan merujuk ke 13 abad yang lalu yang disebut-sebut sebagai “masa keemasan” tampaknya sebagai doktrin sangat ditantang oleh Farag Fouda.

Khilafah tidak ubahnya sebagai imajiner surga duniawi yang sebetulnya hanya ilusi yang berujung ke dalam praktik particularism. Fouda pada dasarnya menulis buku “Kebenaran yang Hilang” atau dalam bahasa aslinya Al-Haqiqah Al-Ghaibah tidak lain hanya ingin menunjukkan betapa gemilangnya peradaban kita hari ini untuk (dipertahankan) dengan melepas segala hasrat kembali ke khilafah.

Buku ini begitu banyak membahas tentang (fakta-fakta) kekeliruan dalam konteks (sosial-politik) dalam membangun negara: baik di era Al-Khulafa’ Al-Rasyidun, Bani Umayah dan bahkan sampai Bani Abbasyiah. Di era Al-Khulafa’ Al-Rasyidun. Kritikan Fouda pada dasarnya bukan melecehkan para Sahabat Nabi dan bukan pula tidak melecehkan agama-Nya.

Ini adalah sudut pandang sejarah tentang (sistem politik) yang kini diagung-agungkan sebagai kebenaran suci dan dianggap solusi itu. Bagi Fouda, hampir dalam 13 Abad lamanya sistem kekhalifahan hanya tentang cara mempertahankan sebuah kekuasaan yang bersifat otoriter, banyaknya fitnah memecah-belah, saling mengucurkan darah demi tahta, kecamuk perang saudara dan pemberontakan atas penguasa hingga menghalalkan darah dengan mencari dalih kebenaran agama sebagai pembenar di dalamnya. 

Bahkan, kekuasaan Al-Khlafa’ Al-Rasyidun yang kini dijadikan sandaran kaum penegak khilafah dengan sebutan masa-masa “keemasan” juga tidak terlepas dari konflik, polemik, kejahatan dan kepentingan untuk tetap berkuasa. Bahkan, Sayyidina Usman bin Affan terbunuh  di tangan rakyatnya akibat (polemik kekuasaan) yang Beliau miliki. Begitu juga Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang wafat dibunuh oleh kaum muslim radikal.

Fakta sejarah yang demikian tidak ada kaitannya dengan Islam atau identitas individual. Ketiganya memang sebagai (sahabat Nabi) yang harus kita agungkan, namun kita harus sadar bahwa ini tentang sejarah sistem politik yang sangat tidak layak untuk kita miliki saat ini. Bahkan ada begitu banyak peperangan saudara yang saling mengkafir-kafirkan demi sebuah (kekuasaan) seperti di era Abu Bakar, perang Shiffin yang melibatkan kelompok Ali memerangi kelompok Muawiyah pada saat itu.

Fouda menekankan bahwa ini adalah fakta sejarah tentang sistem kekhalifahan atau “negara agama” yang sebetulnya banyak kekeliruan. Kelalaian, konflik demi sebuah kekuasaan dan konfrontasi. Ini adalah tentang (ijtihad politik) di masa lalu yang sebetulnya kita jadikan pelajaran untuk lebih mencintai peradaban yang kita miliki saat ini.

Ini bukan tentang kebencian terhadap Islam, melainkan kecintaan terhadap Islam di tengah arus gerakan konservatif keagamaan yang mencoba mengangkat roda sejarah sistem bernegara di masa lalu untuk dijadikan “mimpi buruk” bagi peradaban kita hari ini. Sebab, ini tidak lain sebagai kesadaran penting bagi kita bahwa segala angan-angan tentang sebuah kejayaan di masa lalu tidak lain melainkan sebuah misi untuk menghancurkan peradaban yang kita telah miliki ini.

Fouda dalam bumi ini begitu sangat lantang menjelaskan bahwa sistem kekhalifahan di masa lalu bukan sesuatu yang “sakral” untuk kita ikuti. Ini tentang sejarah sistem politik dan sejarah tidak pernah sakral. Fouda meniscayakan sebuah kesadaran bahwa sejarah peradaban yang kita memiliki merupakan hal yang layak untuk kita pertahankan dari pada kita menengok ke belakang untuk mengembalikan roda sejarah tentang praktik politik yang kelam itu.

This post was last modified on 29 November 2022 2:12 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

9 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

9 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

9 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago