Jatuhnya Afganistan ke tangan Taliban–gerakan yang identik dengan kekerasan dan pemahaman agama yang kaku—merupakan peringatan bagi negara lain, termasuk Indonesia. Tidak gampang terprovokasi dan bijak dalam menyikapi peristiwa tersebut merupakan hal yang harus diutamakan. Lebih-lebih bagi fans Taliban yang berada di Indonesia, peristiwa tersebut harus ditempatkan pada tempatnya. Jangan justru dijadikan sebagai motivasi untuk mengubah ideologi Pancasila.
Abdullah Saeed membeberkan bahwa emosi dan simpati serta solidaritas keagamaan dapat menjadi faktor penting seseorang atau kelompok untuk menjadi ekstrimis. Persaudaraan atau rasa cinta terhadap kelompok tertentu yang dilandaskan pada pilar agama, bisa menggandakan kekuatan seseorang atau kelompok untuk membela dan memperjuangkan ideologi yang dianutnya.
Jika demikian yang terjadi, kita patut menaruh rasa waspada terhadap fans Taliban yang berada di Indonesia. Sebab, para fans Taliban di Indonesia banyak yang menilai bahwa apa yang dilakukan Taliban merupakan bagian dari konsep jihad. Dalam perspektif lain, mungkin saja perjuangan Taliban bisa disebut sebagai jihad, terlepas dari beberapa kepentingan yang mengirinya.
Namun, akan sangat bahaya dan fatal jika konsep jihad itu dipahami sebagai upaya untuk meruntuhkan pemerintahan sah suatu negara agar bisa mengganti sistem pemerintahan dengan khilafah dan sejenisnya. Pemahaman semacam ini tentu saja sangat berbahaya jika diterapkan di Indonesia karena dapat merontokkan keberagaman dan kedamaian yang sudah tercipta sejak dahulu kala.
Lebih lanjut, Saeed juga mendedahkan bahwa faktor lain seseorang menjadi radikal adalah adanya pengaruh transradikalisme. Sering kali seorang terlibat dalam radikalisme dan terorisme akibat dipengaruhi oleh pihak luar, baik yang langsung mengikuti rekrutmen atau via internet dan media sosial. Dalam posisi seperti ini, sangat mudah bagi kelompok radikal untuk ‘menunggangi’ isu Taliban.
Terbukti, pasca Taliban berhasil menguasai Ibukota Afganistan, banyak beredar di media sosial narasi yang mengarah pada rasa simpati atas Taliban. Simpati saja tentunya tidak menjadi masalah, tetapi ketika rasa simpati itu dipelintirkan sebagai bagian dari tanda-tanda kebangkitan Islam di bawah sistem khilafah, hal itu tentu saja sangat tidak tepat. Sebab, seolah-olah hanya khilafah yang dapat memajukan umat Islam. Padahal, sistem lain seperti Pancasila sama sekali tidak mengurangi semangat untuk maju.
Terakhir, Saeed menegaskan bahwa selain faktor di atas, ada satu faktor lagi, yakni tertarik menjadi radikalis karena kekaguman mereka terhadap keberhasilan kelompok politik yang bersifat internasional. Barangkali sudah banyak dikaji oleh para pengamat maupun peneliti, bahkan juga ada yang sudah viral di media sosial bahwa salah satu faktor utama seseorang rela meninggalkan bangsanya yang damai untuk bergabung bersama ISIS misalnya, karena ISIS berhasil membius seseorang karena mampu memberikan hal lebih—meskipun itu hanya ilusi.
Tangkal Ideologi Transnasional dengan Perkaya Wawasan Keagamaan dan Kebangsaan
Apa yang terjadi di Afganistan itu tidak bisa serta merta diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Indonesia sudah seharusnya melakukan upaya-upaya untuk membendung pengaruh Taliban terhadap bangsa Indonesia, khususnya para ‘fans’ Taliban.
Ada beberapa hal dan cara agar masyarakat Indonesia, terlebih para ‘fans’ Taliban, agar mempunyai daya tangkal dari berbagai ideologi transnasional, termasuk yang dibawa Taliban. Pertama, nalar kritis. Bagi seorang agamawan dan bangsawan ulung, nalar kritis merupakan ‘mahkota’ yang harus ada dalam setiap diri. Sebab, dengan nalar kritis itu, akan menjadikan seseorang tidak mudah menaruh simpati kepada apapun dan siapapun.
Dalam konteks kebangkitan Taliban misalnya, rasa simpati itu harus diletakkan secara benar. Sebagai saudara se-iman, kita patut turut ‘bahagia’ atas kemenangan kelompok Taliban di Afganistan karena dengan begitu, konflik yang berkepanjangan akan segara berahir. Tetapi, jangan sampai ikut-ikutan memperjuangkan penerapan ideologi transnasional ke Indonesia. Karena, Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara lain.
Radikalisme juga bisa terjadi lantaran tidak adanya daya banding paham dan keyakinan terhadap paham dan keyakinan orang lain. Artinya, hal ini akan melahirkan sikap eksklusifisme. Sehingga menganggap apa yang ia yakini sudah benar. Di sinilah, diperlukan sikap terbuka (inklusif), namun harus disertai dengan sikap nalar yang kritis. Sebab, jika tidak, akan ada dua kejadian. Ikut hanyut dalam kesesatan atau justru meluruskan apa yang tidak tepat.
Dalam hal ideologi transnasional misalnya, nalar kritis kita harus jalan sehingga dapat mengambil sikap yang bijak, tidak sekedar ikut-ikutan saja. Dengan nalar kritis, kita akan pada suatu pemahaman bahwa Pancasila sudah merupakan sesuatu yang final. Tak perlu dibenturkan dengan agama. Kewajiban kita adalah, bagaimana mengisi kehidupan berbangsa ini dengan nilai-nilai luhur yang diajarkan agama supaya negeri ini menjadi negeri yang diberkahi Tuhan dan aman sentosa.
Kedua, perkaya wawasan kebangsaan. Beragama dan berbangsa sejatinya merupakan satu tarikan nafas. Hal ini bukan berarti dalam bernegara, harus menggunakan sistem khilafah. Bukan demikian. Sebab, sistem khilafah sejatinya bukan sistem baku dalam agama (Islam-red). Di sinilah, diperlukan penguatan dan pengayaan wawasan kebangsaan.
Wawasan kebangsaan ini, jika diartikan dan dipahami serta diletakkan dengan benar, maka akan melahirkan sikap dan jiwa yang luar biasa. Ia bisa menjadi seorang muslim sekaligus nasionalis sejati. Oleh karena itu, perlu terus dilakukan upaya-upaya penguatan nasionalisme dan memfungsikan kearifan lokal untuk menangkal ideologi transnasional.
Terkait hal ini, rasa relevan dengan apa yang ditegaskan oleh Alissa Wahid dalam menyikapi perkembangan terkini terkait Taliban. Bahwa apa yang terjadi di Afghanistan itu tidak serta merta bisa diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu anak muda Indonesia perlu belajar sejarah Indonesia, perlu punya wawasan kebangsaan yang kuat, pemahaman ke Indonesiaan yang kuat, dan bagaimana merawat bangsa ini kedepannya.
Jangan sampai para ‘fans’ Taliban Indonesia yang memiliki pola pikir akan melakukan hal yang sama di Indonesia jumlahnya bertambah dan gerakannya semakin berkembang. Oleh karena itu, cara-cara di atas penting untuk dibumikan supaya emosi dan simpati keagamaan terjadi di tempat yang tidak semestinya. Mari kerahkan segala upaya dan daya untuk menangkal masuk dan berkembangnya ideologi transnasional.
This post was last modified on 25 Agustus 2021 2:29 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…