Wacana menjadikan Indonesia sebagai negara berlandaskan syariat Islam (khilafah-red) sejatinya bukanlah sesuatu yang baru. Begitu juga dengan diskursus mengenai negara sekuler. Sejak pertama kali republik ini berdiri, perdebatan bentuk negara pun sudah santer bergulir.
Ada kalangan agamamis yang dengan tegas dan mantab menginginkan dasar negara Indonesia berlandaskan syariat Islam. Adapun tokoh yang secara terang-terangan menginginkan Islam sebagai dasar negara, salah satunya adalah mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Ki Bagoes Hadikoesoemo. Dalam pidatonya, ia menegaskan bahwa jika negara Indonesia berdiri berlandaskan Syariat Islam, maka kesejahteraan, keadilan, masyarakatnya berbudi luhur dan serta terjaminnya kebebesan beragama akan tercipta dengan sepenuhnya. Sebab, agama pangkal kesatuan, Islam membangun dan menegakkan keadilan, menjunjung tinggi HAM, menghargai perbedaan, dan Islam tidak bertentangan dengan negara. Singkatnya, Islam adalah ajaran yang lengkap, menyeluruh dan universal (Dzulfikriddin. 2010).
Di lain pihak, ada kalangan nasionalis-sekuler yang bertolak belakang dengan kelompok pertama. Misalnya, penolakan itu tercermin dari pidato Soepomo (31 Mei 1945). Dalam pidatonya, Soepomo dengan tegas mengatakan bahwa mendirikan Negara Islam berarti, tidak akan mendirikan persatuan, dan akan menimbulkan soal-soal “minderheden”, soal golongan agama yang kecil, dan lain sebagainya. Meskipun Soepomo menolak Negara Islam dan dukungannya terhadap pemisahan urusan negara dan agama, ia tetap menghendaki adanya dasar ketuhanan (Yudilatif, 2011).
Kini, ada sebagian kecil kelompok yang menyulutkan api ghirah untuk mendirikan khilafah. Semangat mereka mengembalikan Piagam Jakarta yang dahulu sempat menjadi dasar negara Indonesia. Narasi yang mereka bangun adalah, bahwa umat Islam di Indonesia saat ini tidak begitu mendapatkan hak secara penuh sebagai mayoritas. Selain itu, mereka dengan tegas mengatakan bahwa Islam adalah solusi segala sesuatu, termasuk krisis yang dialami oleh Indonesia saat ini.
Memang benar bahwa Islam adalah solusi segala sesuatu. Karena Islam adalah agama universal dan menyangkut seluruh aspek kehidupan. Akan tetapi, tidak serta merta ajaran-ajaran tersebut harus diformalkan dalam bentuk undang-undang. Maka dari itu, masyarakat Islam Indonesia harus yakin dan berusaha menjaga NKRI dengan cara memasukkan nilai-nilai atau spririt keislaman dalam bingkai Pancasila, NKRI dan UUD 1945 serta Bhinneka Tunggal Ika.
Jika ditinjau secara mendalam, dapat ditemukan beberapa faktor penyebab meningkatnya ghirah mendirikan khilafah, di antaranya imperialisme nilai-nilai dan norma sekuler yang jelas mengikis kemungkinan penguatan atau dapat menyebabkan tergesernya institusi dan politik Islam. Juga dominasi segala lini kehidupan global oleh Barat menjadi penyebab kuatnya lahirnya radikalisme dan mengarah pada pembentukan Negara Islam. Meraka berangkat dari keyakinan bahwa Islam adalah solusi segala hal (Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (ed.). 2005).
Dari sini dapat ditegaskan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Selanjutnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural. Dengan kondisi seperti ini, maka formulasi yang tepat untuk persatuan dan kesatuan seluruh lapisan masyarakat Indonesia adalah Pancasila. Jadi, Indonesia bukan negara Islam juga bukan negara sekuler. Apalagi komunis. Indonesia adalah negara religious (nation-religius). Maka, menteri Agama sering berkata bahwa: “Kita bangsa religius yang menjadikan agama sebagai acuan bersikap.”
Kesimpulannya, bahwa kelompok-kelompok yang getol menyuarakan dan menghendaki Indonesia sebagai Negara Islam merupakan sebuah sikap dan perilaku kurang arif. Mereka gagal paham hubungan agama dan negara. Mereka tidak mengetahui dan memanfaatkan betul formulasi ideal dasar negara Pancasila. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh A. Bakir Ihsan, bahwa dengan pola hubungan yang simbiotik, umat Islam sebagai mayoritas penduduk ini harus bekerja keras memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam seluruh sendi kehidupan, termasuk dalam UU.
Jadi, tanpa “ngotot” mendirikan negara Islam, umat Islam bisa, bahkan dengan “leluasa” memasukkan subtansi nilai-nilai islami dalam UU, seperti UU perkawinan dan lain sebagainya. Singkatnya, dari pada sibuk memikirkan setrategi untuk mendirikan Negara Islam, lebih baik kita berfikir bagaimana Islam tidak hanya mewarnai negari ini, melainkan berkontribusi aktif dalam membangun Indonesia yang lebih maju dengan landasan nilai-nilai atau subtansi Islami. Dalam kesimpulan pemikiran Tokoh NU, Salahuddin Wahid, bahwa “ Negara Sekuler No! Negara Islam No!
Kiranya jelas bahwa pilar bangsa Indonesia adalah Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika. Dan pilar itu sesungguhnya sudah sangat sesuai dengan kondisi bahkan karakteristik bangsa Indonesia. Menjaga keutuhan NKRI saat ini dan di masa yang akan datang adalah langkah yang lebih baik nan arif dari pada memperjuangkan bentuk pemerintahan khilafah atau bahkan sekuler, yang tidak ada tempat di negeri ini bagi keduanya itu. Untuk itu, marilah singkirkan ego sektoral dan primordialisme.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…