Di belahan bumi mana pun, para pengusung ideologi khilafah akan hidup seperti benalu yang numpang hidup di pohon, namun pada akhirnya justru membunuh pohon tempatnya bernaung tersebut. Tidak terkecuali di Indonesia. Kita menyaksikan sendiri bagaimana eksponen pengusung ideologi khilafah selama ini hidup di Indonesia, menghirup udaranya, mencari penghidupan dan menikmati segala sumber dayanya, namun di saat yang sama mereka mencacimaki pemerintahan yang sah, menolak Pancasila dan menganggap NKRI sebagai thaghut. Mereka seolah menunggu momentum pemerintah bertindak salah yang lantas menciptakan celah bagi kelompok radikal untuk menguasai negara dan pemerintahan dan mengganti bentuk serta ideologi negara sesuai dengan kepentingan golongannya.
Perangai yang demikian ini telah menjadi semacam karakter khas para pengusung khilafah. Kita bisa berkaca dari konflik sosial-politik yang meluluhlantakkan negara Suriah. Konflik berdarah di Suriah berakar dari praktik provokasi dan propaganda yang salah satunya dilancarkan oleh kelompok pengusung khilafah. Mereka memanfaatkan isu sektarianisme atau perbedaan aliran keagamaan sebagai komoditas politik untuk menurunkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan meruntuhkan wibawa pemerintah di hadapan rakyatnya. Ketika upaya delegitimasi itu berhasil, maka langkah selanjutnya ialah mengobarkan api konflik. Konflik yang berujung pada kekacauan sosial ialah tujuan puncak dari para pengusung khilafah karena disaat itu terjadi mereka bisa mengambil alih kekuasaan negara dan pemerintahan.
Propaganda Khilafah di balik Polemik RUU HIP
Strategi itu pula yang tampaknya berusaha dimainkan oleh para pengusung ideologi khilafah belakangan ini. Mereka tampak berusaha berselancar di atas gelombang kontroversi RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila) yang sempat menuai polemik publik. Pembahasan RUU HIP memang telah dihentikan atas kesepakatan pemerintah dan DPR RI. Namun, upaya kelompok pengusung ideologi khilafah untuk menggoreng isu ini dengan tujuan mendeskreditkan pemerintah tampaknya masih akan terus berlanjut. Narasi yang menuduh pemerintah bersekongkol dengan DPR untuk membuka ruang bagi kebangkitan komunisme nyaris saban hari digaungkan melalui beragam kanal media sosial. Di saat yang sama, kelompok pengusung ideologi khilafah juga sibuk mencitrakan diri sebagai pembela Pancasila dan nasionalis sejati.
Bagi masyrakat yang telah paham sepak terjang gerakan khilafah di Indonesia dan di seluruh dunia, manuver para khilafaher ini tidak lebih dari sebuah lelucon belaka. Bagaimana mungkin kelompok yang sejak awal selalu berteriak anti-Pancasila, NKRI thagut dan menuntut tegaknya khilafah dan syariah di bumi Indonesia tiba-tiba mendaku diri sebagai nasionalis dan pembela Pancasila? Di titik ini harus kita akui bahwa kelompok pengusung khilafah memang lihai (baca: licik) dalam memanfaatkan isu dan momentum untuk menarik perhatian sekaligus simpati publik. Mereka lihai dalam mengkomodifikasi sebuah isu politik sekaligus mempengaruhi psikologi publik dengan manuver-manuvernya yang manipulatif. Terakhir, dalam konteks polemik isu RUU HIP mereka berupaya mempengaruhi persepsi publik bahwa pengusung khilafah ialah nasionalis dan pembela Pancasila tulen.
Baca Juga : Ideologi Khilafah dan Politik Kuda Troya
Klaim ini jelas merupakan kamuflase dan manipulasi belaka. Apa yang mereka banggakan sebagai nasionalisme pada dasarnya tidak lebih dari sebuah pseudo-natonalism alias nasionalisme semu belaka. Nasionalisme semu ialah rasa cinta tanah air yang tidak tulus, dibuat-buat alias tidak orisinal yang memiliki motif lain. Dalam konteks para pengusung khilafah, pseudo-nationalism itu dilatari oleh kepentingan untuk menarik simpati masyarakat. Barangkali mereka menyadari bahwa corak komunikasi mereka yang cenderung konforntatif dengan menghadap-hadapkan Pancasila-NKRI dan khilafah-syariah terbukti tidak efektif menarik simpati publik. Oleh karena itu, mereka mulai mengubah corak komunikasinya menjadi lebih lunak. Hal ini bisa dilihat dari slogan-slogan propaganda mereka belakangan ini antara lain, “NKRI Bersyariah”, “Khilafah Sesuai Pancasila” dan slogan manipulatif lainnya.
Memberangus Para Propagandis Khilafah
Corak manipulatif dan kamuflatif itu juga tampak dalam aksi bela Pancasila yang belakangan disuarakan oleh kelompok yang selama ini getol mengusung ideologi khilafah. Di titik ini harus kita akui bahwa gerakan aksi bela Pancasila tersebut mencerminkan sikap ambiguitas para pengusung ideologi khilafah. Di satu sisi, mereka menghendaki Indonesia sebagai negara khilafah dengan penerapan syariah Islam. Ini artinya mereka secara terbuka menentang Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Namun, di sisi lain mereka bersikap seolah berada di garda terdepan pembela Pancasila ketika Pancasila mengalami gejolak pro-kontra penafsiran. Kita patut bertanya, apakah aksi bela Pancasila itu berdasar pada kesadaran nasionalisme atau hanya kedok untuk mencari simpati publik?
Tentu tidak sulit bagi kita untuk menjawab pertanyaan di atas. Rekam jejak dan sepak terjang kaum pengusung gerakan khilafah di banyak negara membuktikan bahwa mereka ialah kelompok oportunistik, manipulatif dan cenderung menghalalkan segala cara untuk mewujudkan agenda terselubungnya. Maka dari itu, kita berharap masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh pencitraan yang dilakukan oleh kelompok pengusung ideologi khilafah. Klaim nasionalis dan aksi bela Pancasila yang belakangan ini mereka gaungkan pada dasarnya merupakan bagian dari skenario besar untuk menggeser ideologi bangsa dan menggantinya dengan sistem khilafah. Sikap waspada saja tidak cukup untuk menangkal infiltrasi gerakan khilafah. Diperlukan langkah konkret untuk mempersempit ruang gerak mereka dalam bermanuver.
Pemerintah melalui lembaga terkait perlu lebih intensif memburu eksponen kelompok radikal yang berusaha mengail di air keruh dalam konteks polemik RUU HIP ini. Pendekatan hukum dan keamanan terhadap para propagandis khilafah yang menyebar narasi provokatif dan adu domba perlu dilakukan. Sikap tegas pemerintah dalam memburu para pengusung khilafah penting sebagai semacam pesan bahwa negara tidak akan pernah menoleransi segala bentuk gerakan yang mengancam eksistensi bangsa dan negara. Lebih spesifik dalam konteks media sosial, pemerintah perlu memberangus akun-akun penyokong gerakan khilafah yang nyaris setiap hari mengampanyekan khilafah sekaligus mendelegitimasi wibawa negara. Tidak kalah penting dari itu, di level masyarakat kita perlu memperkuat wawasan kebangsaan guna melahirkan sikap nasionalisme yang murni dilandasi oleh kecintaan pada bangsa dan negara. Nasionalisme sejati muncul dari komitmen untuk menjaga NKRI dari segala anasir yang berpotensi menjadi bahaya laten. Begitu pula, aksi bela Pancasila idealnya merupakan wujud dari komitmen menjaga Pancasila dari penafsiran yang keluar dari bingkai NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Arkian, segala bentuk nasionalisme semu dan aksi bela Pancasila yang ambigu harus kita lawan bersama dengan segenap kekuatan bangsa.
This post was last modified on 16 Juli 2020 7:38 AM
Seluruh elemen masyarakat untuk terus waspada terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang dapat mencederai nilai-nilai…
Pemilu atau Pilkada adalah fondasi bagi keberlangsungan demokrasi, sebuah sistem yang memberi kesempatan setiap warga…
Pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia selalu menjadi momen penting untuk menentukan arah masa depan…
Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…
Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…
Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…