Tokoh

Gus Dur, Natal, dan Toleransi

Abdurrahman Wahid—atau yang akrab disapa Gus Dur—adalah sosok yang mengilhami banyak orang melalui pemikiran dan tindakannya yang dipenuhi toleransi dan keberagaman. Menilik kiprahnya dalam mengelola negara, terutama ketika menjabat sebagai Presiden Indonesia pada periode 1999-2001, kita dapat melihat bagaimana nilai-nilai toleransi tercermin dalam kepemimpinannya. Gus Dur, seorang pemimpin Muslim, merayakan Natal dengan penuh semangat dan kehangatan, menunjukkan bahwa toleransi adalah landasan bagi kerukunan antarumat beragama.

Gus Dur melibatkan dirinya dalam perayaan Natal tidak sekadar sebagai tindakan simbolis, melainkan sebagai ekspresi nyata dari keyakinannya pada toleransi dan saling penghargaan. Beliau tidak ragu-ragu untuk menghadiri perayaan Natal bersama dengan umat Kristiani, menyampaikan pesan persatuan di tengah perbedaan keyakinan. Tindakan-tindakan Gus Dur itu bukan hanya memperkuat toleransi antaragama dan keyakinan, tetapi juga menciptakan iklim harmoni yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang kaya akan keberagaman seperti Indonesia.

Selama perayaan Natal, Gus Dur sering kali menyampaikan pesan-pesan tentang pentingnya hidup berdampingan dengan damai tanpa memandang perbedaan keyakinan dalam masyarakat. Dia meyakini bahwa Indonesia, dengan keberagaman budaya dan agamanya, dapat menjadi contoh bagi dunia tentang bagaimana berbagai kelompok manusia dapat hidup bersama dalam kedamaian. Pesan toleransi yang diusungnya tidak hanya sebatas retorika, melainkan tercermin dalam langkah-langkah nyata untuk menghormati dan menghargai semua penganut agama.

Gus Dur, dengan kepemimpinannya yang inklusif, merangkul pluralitas Indonesia sebagai kekuatan, bukan sebagai ancaman. Dia menekankan bahwa keberagaman adalah bagian dari identitas bangsa yang perlu dijaga dan diperkuat. Saat merayakan Natal, beliau tidak hanya memberikan contoh toleransi agama, tetapi juga mempromosikan kerjasama antaragama dalam membangun masyarakat yang adil dan berkeadilan.

Bisa dikatakan, Gus Dur tidak hanya mengamalkan toleransi antaragama saat perayaan Natal, melainkan juga sepanjang tahun. Pemikiran dan aksi beliau menciptakan fondasi bagi hubungan antarumat beragama yang harmonis. Dia menegaskan bahwa menjaga toleransi bukanlah pekerjaan sesaat, melainkan komitmen seumur hidup. Gus Dur memahami bahwa untuk mencapai masyarakat yang damai, kita harus terus-menerus bekerja sama, saling mendengarkan, dan menghormati satu sama lain.

Lebih dari sekadar seorang pemimpin, Gus Dur adalah seorang intelektual yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dia mengajarkan bahwa toleransi tidak hanya berkaitan dengan agama, tetapi juga dengan keberagaman sosial, budaya, dan pandangan politik. Gagasan toleransi yang dimilikinya tidak terbatas pada ruang lingkup agama, tetapi melibatkan semua aspek kehidupan masyarakat. Inklusivitas dan penghargaan terhadap perbedaan adalah dasar dari pesan cinta dan toleransi yang diwariskan oleh Gus Dur kepada masyarakat Indonesia dan dunia.

Saat merenungkan warisan Gus Dur dalam konteks Natal, kita diingatkan bahwa Natal bukan hanya milik umat Kristiani, tetapi adalah saat yang tepat bagi semua orang untuk merayakan nilai-nilai kemanusiaan, kasih sayang, dan toleransi. Gus Dur mengajarkan kita bahwa dalam perbedaan kita dapat menemukan kekuatan bersama, dan dalam toleransi kita dapat membentuk masyarakat yang inklusif dan damai. Warisan Gus Dur terus hidup dalam semangat Natal yang mengajarkan kita untuk membuka pintu hati kita bagi semua orang, tanpa memandang perbedaan, sebagai tanda cinta-kasih dan kesatuan umat manusia secara keseluruhan.

This post was last modified on 29 Desember 2023 1:31 PM

W Arrifki

Recent Posts

Jihad Santri; Mengafirmasi Kritisisme, Membongkar Fanatisme

Hari Santri Nasional tahun ini diperingati di tengah kontroversi seputar tayangan Xpose Uncencored Trans7 yang…

6 jam ago

Diplomasi Santri di Kancah Global; Dari Komite Hijaz, Isu Palestina, ke Kampanye Islam Moderat

Santri kerap diidentikkan dengan kelompok muslim tradisional yang kuno, kolot, bahkan ortodoks. Santri juga kerap…

6 jam ago

Santri Sebagai Rausyanfikr; Transformasi dari Nalar Nasionalisme ke Internasionalisme

Kaum santri barangkali adalah kelompok yang paling tepat untuk menyandang gelar Rausyanfikr. Istilah Rausyanfikr dipopulerkan…

6 jam ago

Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…

3 hari ago

Dari Khilafah ke Psywar; Pergeseran Propaganda ISIS yang Harus Diwaspadai

Gelombang propaganda kelompok teror ISIS tampaknya belum benar-benar surut. Meski kekuasaan teritorial mereka di Suriah…

3 hari ago

Framing Jahat Media terhdap Pesantren : Upaya Adu Domba dan Melemahkan Karakter Islam Nusantara

Islam di Indonesia, yang sering kali disebut sebagai Islam Nusantara, memiliki ciri khas yang sangat…

3 hari ago