Setiap umat Islam yang telah menunaikan ibadah haji di tanah suci Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah pasti mendambakan predikat haji mabrur; predikat yang dijanjikan oleh Rasulullah Saw, “Haji mabrur balasannya tidak lain adalah surga“. Predikat haji mabrur bukanlah sebuah gelaran yang ditulis di depan atau di belakang nama, bukan pula penghargaan yang diraih melalui prosesi acara layaknya wisuda sarjana atau prosesi acara pengukuhan lainnya, seperti pengukuhan gelar guru besar; Ia murni tentang kualitas ibadah.
Animo masyarakat Islam seluruh dunia untuk menunaikan ibadah haji -dan berziarah ke banyak tempat bersejarah dan maqbulnya doa dan harapan para jamaah haji- dari hari ke hari semakin bertambah besar, bahkan para calon jemaah khususnya Indonesia, harus masuk dalam daftar tunggu dan antri hingga bertahun-tahun untuk hanya untuk mendapatkan nomor kursi. Pada hakekatnya, semangat keberagamaan masyarakat yang sangat tinggi harus pula diimbangi dengan pengetahuan yang memadai terhadap perintah Allah SWT ini, bila masyarakat hanya memiliki semangat tanpa diimbangi dengan pengetahuan, pengaruh positif pelaksanaan ibadah tersebut tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan beragama.
Bukan hanya ibadah haji yang membutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang dalam, akan tetapi seluruh ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT. Semuanya menuntut pengetahuan yang komprehensif agar dapat membawa pengaruh dalam seluruh gerak-gerik kehidupan. Bila pemahaman masyarakat akan hakekat predikat haji yang mabrur diketahui dengan baik, maka perubahan akhlak, cara, dan gaya berpikir seorang yang telah menunaikan ibadah haji akan dapat semakin mencerahkan dan mendamaikan hidup dan kehidupan antara sesama makhluk manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Namun yang terjadi kini justru sebaliknya, predikat haji mabrur hanya tinggal sebuah nama yang diucapkan terutama sebelum berangkat menunaikan ibadah haji; “semoga mendapatkan haji yang mabrur,” atau “semoga memperoleh haji mabrur dari Allah SWT.” Ucapan selamat tersebut tidak semudah dibayangkan dan diucapkan, perubahan akhlak sebelum dan sesudah menunaikan ibadah haji harus jauh berubah dan jauh berbeda, mulai dari tutur kata, cara berpikir, dan cara pandang kita dalam hidup di tengah masyarakat yang sangat pluralistik.
Di antara indikator haji yang mabrur adalah tumbuhnya kepedulian sosial yang tinggi, memiliki sense of crisis, kepekaan sosial, dan terutama sikap peduli terhadap orang yang tidak berpunya dan selalu ikhlas memberi makan kepada mereka yang kelaparan. Perubahan Ini dapat dipahami dalam artian yang luas, implementasinya dapat berupa kepedulian untuk memberikan berbagai bantuan sosial, bisa pula berarti memberikan bantuan pendidikan kepada anak-anak yang putus sekolah, rajin bersedekah kepada para fakir miskin, suka bergotong royong untuk kemaslahatan bersama, jauh dari prilaku yang anarkis dan merasa diri benar, dan terutama tidak pernah mengkafirkan orang yang berbeda paham dengan dirinya.
Orang-orang yang kembali dari tanah suci dan meraih haji yang mabrur akan menjadi pribadi-pribadi dermawan, lebih mendahulukan kepentingan umum ketimbang kepentingan dirinya sendiri. Bahkan pada tingkatnya yang paling sempurna, mereka adalah orang-orang yang rela memberikan bantuan kepada orang lain padahal dirinya juga membutuhkan sesuatu yang diberikan itu.
Tutur kata yang santun dan baik menjadi syarat terjalinnya hubungan yang harmonis di tengah masyarakat, sebab seringkali perselisihan dipicu oleh kata-kata yang tak patut terucap dan menyakiti orang lain. Karena itu, mereka yang berhasil meraih haji mabrur tampak pada tutur katanya yang santun, selalu berusaha menjaga perasaan orang lain, tidak ingin menang sendiri dalam tiap pembicaraan, atau dalam ungkapan yang lebih tegas dapat dinyatakan bahwa para peraih haji mabrur adalah pribadi-pribadi yang berakhlak mulia.
Haji mabrur adalah juga tentang peningkatan semangat beribadah sekembalinya dari tanah suci. Mereka yang meraih haji mabrur akan semakin rajin ke masjid untuk shalat berjamaah ataupun menghadiri berbagai kegiatan keagamaan guna memperdalam pemahaman keagamaan yang diketahuinya. Sebab selama mereka di tanah suci, mereka telah melatih dirinya untuk terus menurus sholat secara berjamaah di masjid bersama umat Islam lain yang berbeda bangsa serta pengamalan. Mereka bahkan datang lebih awal dari jadwal waktu sholat berjamaah, sampai-sampai rela berlarian dan berdesak-desakan untuk meraih tempat yang utama di dalam masjid, seperti di Raudhah di Madinah dan Multazan di Masjidil Haram Makkah.
Bila haji mabrur dapat melembaga dalam setiap diri pribadi manusia yang telah menunaikan ibadah haji, sekali atau bahkan tiap tahun menunaikannya, prilaku saling menghina, saling menghujat atau mengkafirkan, membidahkan tidak akan terjadi dalam masyarakat muslim. demikianlah implikasi predikat haji yang mabrur dan diterima oleh Allah SWT yang akan mendapatkan kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat serta kekal dalam surga.
Haji yang mabrur tidak ditentukan dengan banyaknya jumlah haji yang dilakukan, karena yang diwajibkan hanya sekali seumur hidup. Bisa saja orang yang baru sekali berhaji mengalami revolusi mental dalam dirinya, sehingga segala aktivitas dan ibadahnya dilaksanakan dengan niat yang benar dan didasari dengan keikhlasan.
Karenanya hal terpenting dari ibadah haji adalah menyangkut perbaikan diri. Prosesi ibadah yang terjadi selama berhaji harus menjadi pelajaran dan acuan dalam meningkatkan kualitas hidup, baik dalam hal beribadah maupun bermasyarakat. Kebiasaan untuk melakukan sholat secara berjamaah dapat melahirkan pribadi yang disiplin, sementara pengalaman menyaksikan beraneka ragamnya tata cara dan pelaksanaan ibadah dari muslim lain yang berasal dari berbagai penujuru dunia dapat membentuk watak dan pemahaman yang pluralis. Karena sejatinya semua perbedaan ‘kecil’ itu berdasarkan fiqih dan pemahaman yang berkembang di daerah asal mereka masing-masing, namun tentu tetap mengacu pada mansik yang diajarkan Rasulullah SAW.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…