Narasi

Halalbihalal, Kearifan Sejarah dari Solo

Libur Lebaran sudah kelar. Para pegawai perkantoran mulai bekerja, sekalipun merampungkan pekerjaannya dari rumah. Mereka memulainya dengan Halalbihalal virtual. Tengok saja, tangkapan layar acara daring ini banyak diunggah di media sosial. Perlahan kita sudah mampu beradaptasi dengan teknologi, dan menahan diri untuk berkerumun menggelar Halalbihahal. Saling maaf memaafkan tanpa bersentuhan fisik memang memedihkan. Kendati demikian, bukan berarti kita menyingkirkan ingatan historis tentang Halalbihalal.

Menarik mendiskusikan riwayat muasal Halalbihalal. Ternyata kadung menjadi accepted history alias sejarah yang kebenarannya diterima oleh khalayak ramai bahwa Halalbihalal merupakan kreasi kolaborasi Kiai Wahab Hasbullah dengan Bung Karno pada 1948. Sebagaimana beredar dalam laman internet, keduanya berembuk untuk mencari solusi ancaman disintegrasi bangsa oleh kelompok DI/TII dan PKI. Kiai Wahab mengusulkan silaturahmi nasional. Bung Karno menganggap ide itu bagus, namun istilahnya harus dimodifikasi agar bisa menjadi ekstravaganza. Kiai Wahab mengusulkan istilah ‘Halalbihalal’. Halalbihalal bukan berakar dari struktur gramatika bahasa Arab. Istilah ini lahir dari spontanitas Kiai Wahab Hasbullah.

Nah, kisah Halalbihalal di atas perlu diluruskan dengan menengok sumber yang lebih luas merekam dunia Lebaran di Jawa.  Menurut pekamus Poerwadarminta, “Lebaran” berakar kata “lebar” artinya “selesai”, usai merampungkan berpuasa sebulan penuh. Dalam budaya Jawa, Lebaran dipahami juga dengan istilah riyaya atau riyadi. Merujuk kamus Bausastra Jawa (1939), riyaya mengandung arti bêbarêngan mangan enak (bersama makan enak). Sedangkan riyadi memiliki maksud mangan enak sarta slamêtan ing mangsa lêbaran (bersantap nikmat dan perayaan di hari Lebaran Idulfitri).

Saya menemukan keterangan penting yang tersurat dalam majalah Persatuan (1937), sewindu sebelum teks proklamasi dibacakan Bung Karno dan dimitoskan sebagai pencetus terminologi Halalbihalal. Media cetak tersebut diterbitkan oleh organisasi priayi di Surakarta bernama Narpawandawa. Pihak redaksi menurunkan sepucuk artikel yang menjelaskan aspek utama dari perayaan Lebaran ialah “silaturahmi” dan “alal bihalal” (tidak pakai huruf h, sesuai lidah Jawa). “Wontenipun sabên lebaran Siyam, sami damel alal bihalal, amargi manungsa punika amung tansah kebak ing panggodha,” tulisnya. Di bawah bimbingan Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Ingkang Minulya Saha Wicaksana Kangjêng Susuhunan Paku Buwana X, barisan priayi itu mengemukakan silaturahmi membungkus arti nyambung sih (menyambung kasih sayang), sementara “alal bihalal” menegaskan maksud apura-ingapura (saling memaafkan).

Baca Juga : Menangkal Ancaman Terorisme di Masa Pandemi

Kaum melek literasi kala itu bersesorah, dua hal tersebut sukar diceraikan tatkala Lebaran tiba. Pasalnya, manusia penuh godaan dan egois. Terkadang mencari menangnya sendiri tanpa memperdulikan kepentingan liyan. Imbasnya, lahirlah pertengkaran dan ketidaknyamanan (adamêl êcrah lan pasulayan) bagi keluarga, masyarakat maupun bangsa (Jawa). Lantaran menyebabkan suasana tidak kondusif dan meretakkan hubungan sosial, sebaiknya faktor pemicu percekcokan itu disingkiri.

Himbuan mulia ini dirasa tak cukup serta kurang mujarab. Kita paham, karakter barisan pemikir Boedi Oetomo cabang Solo itu mengedepankan harmoni ketimbang konfrontasi supaya jagad cilik (mikrokosmos) tidak guncang. Maklum bila mereka mewanti-wanti pentingnya merabuk kasih sayang antarsesama dan memelihara spirit berkumpul (vergadering). Dengan kesempatan berkumpul, segenap warga mudah menenun tali persaudaraan lintas kelas serta mewujudkan kepentingan kolektif yang menyangkut kemajuan bangsa.

Sebagai kepanjangan tangan kerajaan, pangreh (pegawai) yang terwadahi dalam Narpawandawa menghimbau masyarakat lintas kampung menggelar Halalbihalal saat Lebaran menyapa. Bukan melepas rindu dan bercengkrama bareng keluarga saja, namun juga saling memaafkan dan menjaga kerukunan di tingkat praja. Karena menjadi agenda pokok kerajaan, maka raja Paku Buwana bersama Gusti Mangkunegara menyediakan “ubarampe” dan stadion Sriwedari yang sanggup menampung ribuan orang untuk perhelatan akbar tersebut.

Apa yang diperbuat kedua pemimpin kerajaan ini sangat tepat, mengingat detik itu konflik antarpendukung dua kerajaan menajam. Studi George D Larson (1989) menyinggung beberapa perkumpulan para kawula bersitegang gara-gara membela junjungannya dan dipicu persoalan remeh. Wilayah mereka hanya dibatasi sepenggal jalan Slamet Riyadi. Ketegangan politik serta dendam yang melibatkan dua kubu kudu diredakan melalui jalur silaturahmi dan halal bihalal yang dihadiri langsung oleh pembesar istana. Lagipula, pemerintah kolonial Belanda tak mencurigai pertemuan akbar dalam nuansa kultural di hari kemenangan umat Islam itu.

Fakta menarik yang perlu dikabarkan ke publik, yakni acara Halalbihalal tidak hanya digelar di pusat kerajaan. Diberitakan majalah Kajawèn edisi September 1940 dalam bahasa Jawa yang saya terjemahkan: seperti yang sudah dilakukan setiap tahun, di Semarang sudah dibentuk panitia penyelenggara perayaan Lebaran dan menghibur anak-anak. Yang menjadi ketuanya adalah Dr. Moenandar. Secuil fakta tersebut menunjukkan, acara Lebaran yang memuat unsur Halalbihalal dan silaturahmi dipandegani tokoh kebangsaan. Dan, Lebaran ditunggu para bocah karena menjadi sumber kebahagiaan. Tampaknya anak-anak belum mengerti makna Halalbihalal yang diusung tinggi para sesepuh. Sekadar mengerti gayengnya berkumpul, mengenakan baju baru, bersantap makanan enak, juga memperoleh “pitrah” dari sanak saudara. Dari kilas balik ini, dapat ditegaskan bahwa halahbihalal tenyata sudah mengada sedari periode kolonial, jauh sebelum Indonesia merdeka. Juga bukan Kiai Wahab yang mengusulkan istilah “Halalbihalal”. Yang tak kalah pokok, dulu rupanya sudah muncul kesadaran politik yang tertanam dalam diri para pendahulu kita mengenai pentingnya Halalbihalal guna membasuh jiwa yang letih dan melepas belenggu konflik. Semua hal yang mengalirkan energi negatif itu kudu dilebur pada momentum Halalbilalal. Hati kembali putih. Inilah potret warisan berharga kakek moyang di jalan kebudayaan yang khas Indonesia maupun di jalan agama guna menuju kebaikan bangsa Indonesia. Mari kita menyemaikan spirit untuk menghadapi pandemi Covid-19.

This post was last modified on 5 Juni 2020 2:21 PM

Heri Priyatmoko

Recent Posts

Pembubaran Doa Rosario: Etika Sosial atau Egoisme Beragama?

Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi…

23 jam ago

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam…

24 jam ago

Cyberterrorism: Menelisik Eksistensi dan Gerilya Kaum Radikal di Dunia Daring

Identitas Buku Penulis               : Marsekal Muda TNI (Purn.) Prof. Asep Adang Supriadi Judul Buku        :…

24 jam ago

Meluruskan Konsep Al Wala’ wal Bara’ yang Disimplifikasi Kelompok Radikal

Konsep Al Wala' wal Bara' adalah konsep yang penting dalam pemahaman Islam tentang hubungan antara…

2 hari ago

Ironi Kebebasan Beragama dan Reformulasi Hubungan Agama-Negara dalam Bingkai NKRI

Di media sosial, tengah viral video pembubaran paksa disertai kekerasan yang terjadi pada sekelompok orang…

2 hari ago

Penyelewengan Surat Al-Maidah Ayat 3 dan Korelasinya dengan Semangat Kebangsaan Kita

Konsep negara bangsa sebagai anak kandung modernitas selalu mendapat pertentangan dari kelompok radikal konservatif dalam…

2 hari ago