Era digital membawa arus perubahan yang begitu deras, membentuk lanskap sosial kita dengan cara yang tak terbayangkan sebelumnya. Bagi generasi muda Indonesia, interaksi sosial kini tak lagi hanya terbatas pada tatap muka. Media sosial dan platform daring lainnya telah menjadi arena utama, namun ironisnya, kemudahan konektivitas ini seringkali justru mendorong kita untuk berkumpul dalam “ruang gema” – lingkungan di mana pandangan kita terus-menerus dikonfirmasi oleh orang-orang yang sepaham, sementara suara-suara yang berbeda diredam atau bahkan diabaikan.
Fenomena kecenderungan bergaul hanya dengan lingkaran yang sepaham ini, seraya menutup diri dari mereka yang berbeda pandangan, patut menjadi perhatian serius di tengah upaya kita membangun masyarakat yang harmonis. Kecenderungan ini bukanlah tanpa alasan. Algoritma media sosial didesain untuk menampilkan konten yang disukai pengguna, secara efektif menciptakan gelembung filter yang membatasi paparan terhadap ide-ide baru atau kontras. Secara psikologis, berada dalam kelompok yang sepaham memberikan rasa aman, validasi, dan identitas kolektif.
Diskusi menjadi lebih nyaman karena minim konfrontasi. Namun, kenyamanan semu ini datang dengan harga mahal: menumpulnya empati, menguatnya prasangka terhadap “mereka yang di luar sana,” serta hilangnya kesempatan untuk belajar dan tumbuh dari sudut pandang yang beragam. Kita berisiko menjadi generasi yang fasih berdebat dalam lingkaran sendiri, namun gagap saat dihadapkan pada perbedaan nyata di ruang publik.
Dalam konteks ini, tema Hari Raya Waisak tahun ini, ‘Tingkatkan Pengendalian Diri dan Kebijaksanaan, Wujudkan Perdamaian Dunia’, menawarkan sebuah kontemplasi yang mendalam dan relevan. Tema ini bukan sekadar seruan spiritual bagi umat Buddha, tetapi juga sebuah prinsip universal yang esensial bagi seluruh elemen masyarakat, tak terkecuali kaum muda Indonesia, dalam menghadapi tantangan polarisasi yang kian kentara.
Pengendalian diri (dalam ajaran Buddha dikenal sebagai Sila) bukan hanya tentang menahan keinginan negatif, tetapi juga tentang mengelola reaksi emosional, terutama saat berhadapan dengan pandangan yang tidak disukai. Di era digital, ini berarti mampu menahan diri dari komentar reaktif yang menyerang personal, menolak godaan untuk menyebarkan hoaks atau ujaran kebencian hanya karena sejalan dengan narasi kelompok kita, atau sekadar memiliki kesabaran untuk membaca dan memahami argumen yang berbeda sebelum buru-buru menolak. Tanpa pengendalian diri, ruang-ruang interaksi daring maupun luring akan mudah tersulut api konflik hanya karena perbedaan selera, keyakinan, atau pilihan politik.
Sementara itu, Kebijaksanaan (Panna) adalah kemampuan untuk melihat sesuatu sebagaimana adanya, dengan pikiran yang jernih dan objektif. Ini melibatkan kemampuan berpikir kritis, membedakan fakta dari opini, serta memahami bahwa kebenaran seringkali kompleks dan multifaceted. Kebijaksanaan mendorong kita untuk keluar dari gelembung filter. Ia memotivasi kita untuk mencari informasi dari berbagai sumber, mendengarkan sudut pandang yang berbeda dengan pikiran terbuka, dan menyadari bahwa setiap individu memiliki latar belakang dan pengalaman yang membentuk pandangannya. Dengan kebijaksanaan, perbedaan pandangan tidak lagi dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai kekayaan yang bisa memperkaya pemahaman kita tentang realitas.
Bagaimana kaitan antara pengendalian diri dan kebijaksanaan dengan mewujudkan perdamaian dunia, dimulai dari lingkungan kaum muda? Perdamaian dunia bukanlah tujuan abstrak yang hanya bisa dicapai melalui traktat internasional. Perdamaian sesungguhnya berakar pada interaksi antarindividu di tingkat akar rumput. Ketika kaum muda mampu mengendalikan diri untuk tidak langsung menyerang atau menghakimi orang yang berbeda, dan menggunakan kebijaksanaan untuk memahami dan menghargai keragaman pandangan, saat itulah jembatan perdamaian mulai dibangun.
Menutup diri dalam ruang gema adalah tindakan pasif yang melanggengkan sekat. Sebaliknya, secara sadar berinteraksi dengan mereka yang berbeda pandangan, dengan dilandasi pengendalian diri dan kebijaksanaan, adalah tindakan aktif membangun harmoni. Ini bukan berarti harus selalu sepakat, tetapi mampu tidak sepakat tanpa harus bermusuhan. Ini tentang belajar berdialog konstruktif, menemukan titik temu di tengah perbedaan, dan merayakan kekayaan mozaik Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.
Mengatasi kecenderungan bergaul hanya dengan yang sepaham memang tidak mudah di tengah derasnya arus polarisasi, namun ini adalah perjuangan yang patut kita menangkan demi masa depan Indonesia yang lebih damai dan harmonis. Refleksi Waisak mengingatkan kita bahwa kuncinya ada pada diri kita sendiri: melalui pengendalian diri dan kebijaksanaan, kita memiliki kekuatan untuk melampaui sekat, merangkul perbedaan, dan merajut harmoni dalam keberagaman.
Ketegangan geopolitik antara India dan Pakistan bukanlah hal baru dalam peta konflik internasional. Namun, setiap…
Perang Dunia III. Narasi tentang itu, hari-hari, kerap sekali saya jumpai di medsos. Perang Rusia-Ukraina…
Pada sebuah kesempatan, seorang Bhante mengatakan pada saya, Buddhisme itulah yang sebenarnya dipraktikkan oleh orang…
Isu eskatologis, yakni pandangan tentang akhir zaman, kiamat, dan kehidupan setelah kematian tampaknya terus bahan…
Konflik antara India dan Pakistan kembali pecah. Perebutan wilayah Kashmir yang terjadi sejak dekade 1970an…
Konflik antara India dan Pakistan telah menjadi salah satu perseteruan terpanjang dan paling kompleks dalam…