Editorial

Hate Speech dan Ujian terhadap Kebhinnekaan

Ketika para pemuda pada masa lalu mengikrarkan “persatuan” dalam kebhinnekaan, yang terbayang dalam imajinasi mereka adalah sebuah bangsa dengan ragam bahasa, suku, etnis, kepercayaan dan agama yang disatukan dalam sebuah Negara Kesatuan. Komitmen itu muncul dengan dorongan tujuan yang sama tentang berdirinya sebuah Negara yang merdeka. Indonesia lahir dari kebulatan tekad para pemuda untuk menyatukan ragam perbedaan dalam tujuan yang sama. Bhinneka Tunggal Ika. Demikian komitmen ini menjadi semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kebhinnekaan bangsa ini bukan tanpa cobaan. Dalam lintasan sejarah, khusus pada masa perumusan format Negara, kebhinnekaan bangsa mendapatkan ujian besar baik berupa ide maupun gerakan sektarian. Dalam beberapa peristiwa tragis, kebhinnekaan kerap mendapatkan ujian berat.  Namun, sekali lagi kebulatan tekad anak bangsa tetap membuktikan komitmen untuk merawat kebhinnekaan dari pada mengedepankan egoisme pribadi dan kelompok.

Dewasa ini, kebhinnekaan bangsa ini kembali diuji. Arus globalisasi, demokratisasi, dan liberalisasi yang menyentuh berbagai lini kehidupan turut memberikan andil dalam ujian kebhinnekaan bangsa ini. Kebebasan berpendapat yang menjadi prinsip bernegara ternyata tidak disertai dengan etika publik yang baik. Kebebasan berpendapat kerap menjadi dalih dari suburnya ujaran kebencian dan hasutan (hate speech) yang mengancam kebhinnekaan bangsa.

Jika pada masa Orde Baru orang masih dihantui dengan ancaman SARA, barangkali saat ini orang tidak lagi berpikir kesekian kali untuk melecehkan orang lain atas nama perbedaan agama, bahasa, suku, dan etnik. Ujaran kebencian, hasutan, provokasi dan fitnah semakin deras dalam wadah kemajuan teknologi dan informasi bernama internet. Akhrinya, realitas sosial dan dunia maya penuh disesaki dengan propaganda, provokasi dan hasutan yang mengancam kebhinnekaan bangsa. Beberapa kelompok sudah mulai membanggakan identitas sekterian dan kelompok dengan melupakan persatuan.

Banyak persoalan sosial politik akhir-akhir ini yang mengarah pada kristalisasi pikiran, sikap dan tindakan sekterian yang berlawanan dengan kebhinnekaan bangsa. Kontestasi politik kerap menjadi katalisator dari proses pengembangbiakan ujaran kebencian dan hasutan. Titik persoalannya adalah saat ini masyarakat tidak lagi berbicara politik dalam konteks kebangsaan, tetapi politik kekuasaan. Apapun bisa menjadi “halal” asal kekuasaan bisa diraih sekalipun dengan menghina, melecehkan, menghujat, dan menikam yang lain.

Akhirnya, kita harus mulai belajar dari sejarah bahwa kebhinnekaan adalah anugerah bangsa yang memiliki potensi dan tantangan besar. Dewasa ini, jika Indonesia bisa lolos dari ujian hate speech yang mengancam terhadap kebhinnekaan niscaya bangsa ini akan menjadi bangsa besar dalam ragam kekayaan perbedaan di berbagai aspek. Selagi regulasi tidak tegas menindak para penyebar hate speech yang mengancam kebhinekaan bangsa ini, masyarakat harus didorong untuk bisa dewasa dan cerdas dalam mengelola kebhinekaan. Masyarakat harus mampu memfilter informasi dan berita yang benar agar tidak mudah termakan hasutan dan kebencian.

Dalam kondisi ujian berat ini sejatinya peran pemuda sangat dibutuhkan. Penguatan peran pemuda dalam merawat kebhinnekaan merupakan keniscayaan sebagai implementasi dari Sumpah Pemuda yang telah digaungkan hampir satu abad silam. Pemuda harus kembali menjadi pelopor persatuan di tengah kondisi warga Negara yang mengalami krisis “perasaan kebersamaan”. Pemuda harus terpanggil untuk kembali menggelorakan sumpah pemuda sebagai ikrar persatuan dalam kebhinnekaan.

Terlalu banyak persoalan bangsa ini yang ditunggangi oleh ujaran kebencian dan hasutan. Pemuda harus belajar banyak dari beberapa Negara gagal yang disebabkan oleh konflik sekterian dan kebhinekaan yang tidak bisa dikelola dengan baik. Dalam kondisi itulah, warga Negara tidak memiliki perasaan bersama sebagai sebuah bangsa. Hate speech seberapun kecilnya adalah sumbu yang mengawali konflik besar. Mari jaga dan rawat kebhinekaan bangsa.

 

This post was last modified on 17 Oktober 2016 9:51 AM

Redaksi

Recent Posts

Membumikan Hubbul Wathan di Tengah Ancaman Ideologi Transnasional

Peringatan hari kemerdekaan Indonesia setiap 17 Agustus bukan hanya sekadar momen untuk mengenang sejarah perjuangan…

2 hari ago

Tafsir Kemerdekaan; Reimajinasi Keindonesiaan di Tengah Arus Transnasionalisasi Destruktif

Kemerdekaan itu lahir dari imajinasi. Ketika sekumpulan manusia terjajah membayangkan kebebasan, lahirlah gerakan revolusi. Ketika…

2 hari ago

Dari Iman Memancar Nasionalisme : Spirit Hubbul Wathan Minal Iman di Tengah Krisis Kebangsaan

Ada istilah indah yang lahir dari rahim perjuangan bangsa dan pesantren nusantara: hubbul wathan minal iman —…

2 hari ago

Merayakan Kemerdekaan, Menghidupkan Memori, Merajut Dialog

Setiap Agustus, lanskap Indonesia berubah. Merah putih berkibar di setiap sudut, dari gang sempit perkotaan…

3 hari ago

Menghadapi Propaganda Trans-Nasional dalam Mewujudkan Indonesia Bersatu

Sebagai bangsa yang beragam, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan persatuan di tengah globalisasi dan…

3 hari ago

Penjajahan Mental dan Ideologis: Ujian dan Tantangan Kedaulatan dan Persatuan Indonesia

Indonesia, sebagai negara yang merdeka sejak 17 Agustus 1945, telah melalui perjalanan panjang penuh tantangan.…

3 hari ago