Narasi

Teladan Mahasantri dalam Merawat Kebhinekaan

Sungguh, pluralisme agama dan beragamnya suku serta ras yang ada di negara Indonesia merupakan modal kekayaan yang mesti dipelihara keberadaannya. Namun, akhir-akhir ini tak sedikit perbedaan menuntut adanya perpecahan hingga pertikaian. Perang mulut hingga pertumpahan darah tak dapat dihindarkan. Semua itu dapat terjadi karena semakin terkikisnya rasa persatuan antara satu orang dengan yang lainnya.

Ingatlah, kebhinekaan dalam berbagai bidang merupakan sunatullah yang sudah pasti adanya. Dalam beragama misalnya, sejak awal mula datangnya Islam, Allah sudah “melegalkan” keberadaan agama yang plural. Ayat “Lakum diinukum waliyadin” menjadi penegas bahwa agama bukan hanya satu, melainkan plural. Hanya saja, sinkretisme (mencampuradukkan agama) tidak diperbolehkan. Islam sendiri mengajarkan kepada umatnya bahwa hanya agama Islam-lah agama yang benar. Inna ad-dina ‘indallahi al-Islam (sesungguhnya agama yang paling hak adalah agama Islam).

Ketika keberagaman sudah menjadi sunatullah, maka upaya untuk meniadakannya pun hanya sia-sia belaka. Yang dapat dilakukan adalah upaya mempersatukan dalam keberagaman. Maka, slogan “bhineka tunggal ika” menjadi sangat tepat untuk diamalkan. Individu satu jangan selalu mencari perbedaan orang lain sebagai bahan perpecahan. Di balik perbedaan antara individu satu dengan yang lainnya pasti ada persamaannya. Dan dari persamaan inilah dapat ditumbuhkan benih persatuan. Selain itu, dari perbedaan yang ada, jika dapat disatukan maka akan menjadi kekuatan yang luar biasa.

Dalam merawat kebhinekaan dalam berkeyakinan agama, seorang mahasantri, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) memberikan teladan. Sosok ulama yang sangat dihormati oleh para kiai pondok pesantren sejak zaman hidup hingga kini ini selalu menjunjung tinggi dan menghargai kebhinekaan. Dalam mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) misalnya, ia tidak dengan segera me-launching NU sebagai organisasi. Padahal, Syekh Kholil Bangkalan yang notabene sebagai gurunya sudah dua kali memberikan restu untuk mendirikan NU. Selain itu, Kiai Wahab Hasbullah yang menjadi teman sekaligus murid juga sudah menyiapkan segala kebutuhan dalam mendirikan organisasi ini. Meski demikian, Mbah Hasyim tidak bersegera mendirikan organisasi Islam ini.

Bagi Mbah Hasyim, organisasi Islam dari kalangan pesantren penting untuk segera dibentuk. Namun, ia sadar bahwa sudah terdapat organisasi Islam di dalam negara Indonesia. Dengan dirinya mendirikan organisasi Islam tradisionalis, ia hawatir akan terjadi “pertikaian” antara satu organiasi dengan organisasi yang lain. Dan, baru ketika saat gentinglah Mbah Hasyim mendirikan organisasi Islam tradisionalis yang dinamai NU.

Dalam perjalanannya, Mbah Hasyim menahkodai organisasi NU juga dengan semangat persatuan. Ia berusaha untuk menghormati sekaligus menghargai organisasi lainnya. Ia tidak menghendaki adanya pertikaian hanya karena masalah-masalah furuiyah(cabang). Ia juga sangat menjunjung tinggi persatuan bersamaan dengan para tokoh bangsa. Bersama Soekarno, Mbah Hasyim berupaya menyatukan hati rakyat untuk bersatu padu dalam berdakwah memerdekakan dan merawat kemerdekaan negara Indonesia.

Maka, tidak eloklah manakala generasi muda saat ini, termasuk dari kalangan santri, yang sedikit-sedikit mempermasalahkan perbedaan. Bahkan, perbedaan suku ras dan agama (SARA) menjadi senjata untuk saling menjatuhkan antara satu golongan dengan yang lain. Tidak hanya dalam berinteraksi sosial, dalam percaturan politik pun saat ini sering kali terjadi perpecahan hanya karena perbedaan SARA.

Ingatlah wahai pemuda, pertikaian di dalam satu tubuh negara Indonesia hanya akan menjadikan bangsa ini rapuh. Dari kejauhan sana, orang lain akan menyoraki perpecahan yang dilakukan antara satu golongan pemuda dengan lainnya. Mereka menunggu pertikaian dalam satu negara berlangsung dengan sengit hingga akhirnya salah satu “mati” dan yang lainnya terkapar kehabisan tenaga. Dan, saat itulah orang-orang asing yang memiliki niatan jahat akan melibas habis keberadaan pemuda di Indonesia.

Bermula dari sinilah, pemuda Indonesia harus sadar bahwa perbedaan merupakan sunatullah yang tidak harus dihindari. Perbedaan akan menjadi rahmat manakala dikelola dengan baik. Jadikanlah perbedaan sebagai senjata untuk memperkuat diri pemuda Indonesia. Bersatu padu dalam perbedaan telah dicontohkan oleh pemuda bangsa terdahula sebagai modal utama kemenangan dan merawat Indonesia. Wallahu a’lam.

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Emansipasi Damai dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an sejatinya tidak pernah pincang di dalam memosisikan status laki-laki dan perempuan. Di dalam banyak…

2 hari ago

Langkah-langkah Menjadi Kartini Kekinian

Dalam era modern yang dipenuhi dengan dinamika dan tantangan baru sebelum era-era sebelumnya, menjadi sosok…

2 hari ago

Aisyiyah dan Muslimat NU: Wadah bagi Para Kartini Memperjuangkan Perdamaian

Aisyiyah dan Muslimat NU merupakan dua organisasi perempuan yang memiliki peran penting dalam memajukan masyarakat…

2 hari ago

Aisyah dan Kartini : Membumikan Inspirasi dalam Praktek Masa Kini

Dua nama yang mengilhami jutaan orang dengan semangat perjuangan, pengetahuan dan keberaniannya: Katakanlah Aisyah dan…

3 hari ago

Kisah Audery Yu Jia Hui: Sang Kartini “Modern” Pejuang Perdamaian

Setiap masa, akan ada “Kartini” berikutnya dengan konteks perjuangan yang berbeda. Sebagimana di masa lalu,…

3 hari ago

Bu Nyai; Katalisator Pendidikan Islam Washatiyah bagi Santriwati

Dalam struktur lembaga pesantren, posisi bu nyai terbilang unik. Ia adalah sosok multiperan yang tidak…

3 hari ago