Jika diamati, akhir-akhir ini sangat marak gejala intoleransi yang sulit untuk kita hindari di tengah masyarakat yang majemuk. Mulai dari konflik isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan), kasus kekerasan (violence), persekusi terhadap suatu kelompok, menebar kebencian, berita hoax bahkan hingga penyesatan antar sesama umat beragama karena berbeda pandangan.
Indonesia yang dibangun diatas perbedaan yang ada memang sangat rawan terhadap konflik SARA. Ketika sentimen terhadap identitas dimunculkan pada publik, maka yang terjadi adalah permusuhan dan konflik. Sehingga situasi ini bisa jadi dimanfaatkan oleh sekelompok orang atau golongan untuk kepentingan tertentu.
Kepolisian Negara Republik Indonesia mencatat pada tahun 2015-2016 konflik SARA mencapai 1.568 kejadian (Kompas, 16/3/17). Laporan ini mengindikasikan penanganan masalah-masalah sosial masih jauh dari yang namanya harapan. Akibatnya kondisi kebhinekaan ditengah arus globalisasi dan pembangunan bangsa menuai ancaman yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Lihat saja, konflik berbau agama paling tragis di Ambon meletup pada tahun 1999 silam. Konflik yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999, telah berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan semua tatanan kehidupan bermasyarakat. Konflik itu kemudian meluas dan menjadi kerusuhan hebat antara umat Islam dan Kristen yang berujung pada banyaknya nyawa yang melayang.
Tidak hanya itu, pada tahun 2012 juga terjadi konflik penyerangan Kelompok Syi’ah di Sampang, Madura. Klimaksnya adalah aksi pembakaran rumah ketua Ikatan Jamaah Ahl al-Bait (IJABI), Tajul Muluk, beserta dua rumah jamaah Syi’ah lainnya serta sebuah mushola yang digunakan sebagai sarana peribadatan. Akibat kejadian tersebut 1 orang tewas dan 1 orang lainnya kritis terkena sabetan celurit, serta puluhan orang menderita luka-luka.
Kasus diatas menjadi perhatian kita bersama. Akankah kita akan mengulangi lagi konflik SARA yang bisa saja setiap waktu menimbulkan korban jiwa. SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan.
Dunia maya belakangan ini semakin disesaki sentimen yang berlebihan. Isu SARA sangat mudah dipertontonkan kepada publik. Mestinya pemerintah harus mengambil tindakan lebih lanjut terhadap oknum-oknum penebar hate speech yang semakin menjamur terlebih di dunia maya. Kita perlu mengapresiasi upaya pemerintah yang telah membentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang salah satu tujuannya adalah memberantas hoax dan ujaran kebencian.
Perbuatan menyebar ujaran kebencian atau isu SARA dan hoax, berakibat buruk bagi keutuhan bangsa dan negara. Hal tersebut didasari karena melihat ujaran kebencian mampu memberi dampak pada masyarakat luas, apalagi jika dilakukan terorganisir. Kita harus selalu waspada dan berhati-hati terhadap konten yang disajikan di dunia maya. Tanpa filterisasi, orang akan larut bahkan menjadi penyebar konten SARA.
Generasi milenial yang akrab dengan dunia maya adalah ujung tombak penangkal derasnya arus ujaran kebencian dan hoax. Kaum muda harus ikut ambil bagian dalam mengisi konten-konten positif yang ada pada dunia maya. Jangan sampai bangsa kita terpecah-belah karena postingan konten yang negatif.
Babak Baru
Kecenderungan masyarakat Indonesia memang mulai berubah. Budaya masyarakat kita yang santun, ramah dan toleran seolah luntur karena isu SARA yang digodok sangat masif selama beberapa tahun ini. Globalisasi memang melahirkan babak baru yang serba instan terutama dalam berkomunikasi. Revolusi komunikasi menjadi vital dalam berbagai aspek kehidupan dan keselamatan bangsa-bangsa di dunia.
Hal-hal yang serba instan dan terbuka ini memunculkan kecenderungan yang tidak ada batasan. Sehingga jika kita tidak bijak dalam menyikapi perkembangan zaman maka persatuan dan kesatuan bangsa kita bisa terancam.
Maka dari itu, stop isu SARA mulai dari sekarang. marilah kita bijak di dunia maya. Isilah dunia maya dengan konten yang mendidik, mencerahkan dan meningkatkan rasa nasionalisme. Pergunakan media sosial selayaknya dengan memenuhi etika dan norma yang berlaku. Mari kita jalin kembali persatuan kerukunan antar bangsa Indonesia. Banjiri media sosial dengan konten pesan perdamaian dan semangat persatuan sehingga bangsa kita bisa menjadi percontohan bangsa-bangsa yang lain.
This post was last modified on 24 Januari 2018 12:00 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…