Editorial

Mencegah Para Pembajak Agama

Radikalisme sering dikritisi sebagai istilah yang dianggap mendiskreditkan dan menyudutkan agama tertentu. Dalam kasus Islam, istilah Islam radikal dianggap sangat menyudutkan umat Islam. Betapa tidak, berbagai kejadian teror yang dilakukan oleh orang yang beragama Islam kerap dilabeli dengan istilah Islam radikal.

Penyebutan Islam radikal sebenarnya lebih pada simplifikasi dari pengertian individu atau kelompok yang membajak ajaran Islam untuk tindakan radikal seperti teror dan kekerasan lainnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada inidvidu, kelompok bahkan jaringan yang secara dangkal dan menyesatkan memaknai ajaran Islam dengan pendekatan ekstrim dan radikal.

Mereka menggunakan istilah jihad sebagai pembenaran aksi kekerasan, mereka menggunakan kalimat thagut untuk menghakimi pemerintah dan mereka berlindung di balik istilah khilafah untuk mengusung ideologi politiknya. Walaupun memang istilah Islam radikal ini tidak arif, namun istilah ini kerap digunakan untuk mereka yang membajak ajaran Islam untuk kepentingan tindakan radikal.

Beberapa tokoh mengkritik bahwa penggunaan Islam radikal sangat melukai dan membuat umat Islam marah. Namun, pertanyaannya kenapa tingkat kemarahan umat tidak sebanding terhadap mereka yang nyata membajak atau dalam tingkat lebih ekstrim menistakan ajaran agama dengan tindakan radikal? Apakah mereka menutup mata bahwa ada sebagian kecil umat kita yang kerap menggembar-gemborkan ajaran Islam untuk kepentingan radikal?

Kelompok radikal sebenarnya anomali dalam setiap agama. Mereka adalah kelompok menyimpang yang menggunakan ajaran agama untuk kepentingan politik dan nafsu pribadinya. Dalam Islam, misalnya Nabi memberikan peringatan tentang munculnya kelompok beragama yang fasih dalam membaca Qur’an tetapi bacaan itu tidak melampaui kerongkongan mereka. Dalam sejarah Islam, kelompok ini dikatakan sebagai genealogi kelompok khawarij.

Baca juga : Para Pembajak Agama

Dalam suatu peperangan saudara antara Khalifah Ali dan Muawiyah ada kelompok yang mengusung ayat tahkim untuk mengkafirkan kedua kelompok. Muncullah slogan yang dibajak dari ayat Qur’an.  “Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir” (Al-Maidah:44). Ayat yang berbicara persoalan otoritas (hakimiyah) ini telah menjadi landasan penting bagi lahirnya tradisi takfiri baik yang digunakan oleh Khawarij masa lalu ataupun kelompok khawarij masa kini (neo-khawarij).

Sayyidina Ali menyangkal pemikiran para pembangkang perjanjian dengan ungkapan yang sangat lugas: “itu adalah kalimat kebenaran yang dimaksudkan untuk kebatilan. Benar tiada kekuasaan (otoritas) kecuali milik Allah, tetapi mereka (khawarij) memaksudkan tiada kepemimpinan kecuali milik Allah. Padahal kaum muslimin harus memiliki pemimpin, baik maupun jahat”.

Kata kunci dari pembajak agama sebagaimana disampaikan oleh Sayyidina Ali adalah mereka menggunakan kalimat kebenaran untuk kebatilan. Pada prakteknnya mereka menggunakan ajaran jihad, khilafah, tauhid yang mengandung nilai yang mulia untuk kebatilan. Fenomena pembajak agama ini bukan hal baru, tetapi telah ada sejak dulu.

Sebenarnya mewaspadai dan mencegah para pembajak agama, bukan sekedar ingin menjaga Islam dari para pembajak agama, tetapi lebih pada melindungi umat agar tidak terpengaruh dengan cara dan pola mereka mempropagandakan ajaran agama untuk kepentingan tindakan yang radikal. Sungguh menjadi naif, jika hanya marah pada istilah radikal, tetapi kita menutup mata terhadap kelompok yang kerap membajak ajaran agama untuk tindakan radikal.

Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Tetapi tidak sedikit orang dan kelompok yang membawa agama sebagai pembenaran tindakan kekerasan. Tidak ada agama radikal, tetapi fakta ada kelompok yang mencoba meradikalisasi praktek beragama untuk kepentingan tertentu.

Radikalisme bukan istilah yang mendiskreditkan agama tertentu, tetapi warning sekaligus sebutan untuk kelompok radikal yang membajak agama sebagai pembenaran. Karena itulah, umat beragama selayaknya tidak marah dengan istilah radikalisme, tetapi mestinya marah ketika ajaran agama dibajak untuk tindakan radikal.

This post was last modified on 21 Oktober 2019 5:28 PM

Redaksi

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago