Narasi

Idul Fitri, Kembali Ke Fitrah Bernegara dan Persatuan Umat

Kembali ke fitrah atau kesucian diri merupakan tujuan akhir dari setiap insan, utamanya umat Islam yang sebulan penuh melaksanakan puasa Ramadan. Ajaran illahiah (keTuhanan) yang selaras dengan nilai kearifan telah disampaikan oleh para ulama agar setiap insan meningkat iman dan taqwanya. Pemaknaan atas peningkatan taqwa tentunya terrefleksi dalam sikap dan perilaku, dimana rasa saling menghormati dan menghargai merupakan keniscayaan dalam menjalin hubungan antar manusia (habluminannas). Menyikapi perbedaan dengan bijaksana dan mengedepankan toleransi dalam bermuamalah adalah salah satu pondasi keimanan yang harus terealisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin sudah sepantasnya memberikan teladan dalam mewujudkan persatuan umat, tentunya tidak hanya sebatas persatuan dalam satu keimanan saja (Islam), namun lebih luas persatuan dalam konteks kebangsaan.

Kemenangan umat Islam yang diwujudkan dengan merayakan Idul Fitri juga bisa dimaknai sebagai kemenangan bangsa Indonesia untuk menjaga persatuan. Pada konteks keshalehan sosial, Umat Islam di Indonesia mengenal ritual sosial yang bernama “Halal bi Halal”, dimana semua elemen masyarakat,baik lintas agama dan golongan berkumpul melakukan refleksi atas perilaku yang sudah dilakukan selama ini. Tradisi “Halal bi Halal” secara sosiologis bukan tradisi yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad,SAW, namun demikian, tradisi tersebut tidak bisa dilabeli menyalahi ajaran Islam, karena “Halal bi Halal” adalah sarana bagi umat Islam dan pemeluk agama yang lain untuk saling bersilaturahmi dan memaafkan.  Hal tersebut selaras dengan sabda Rasulullah, dari Abi Dzaar Jundub bin Junadah dan Abi abdirrahman Mu’adz bin Jabal r.a dari Rasulullah SAW telah berkata: Takutlah engkau kepada Allah dimana saja engkau berada, dan ikutilah sesuatu kejahatan itu dengan kebaikan, pasti akan menghapusnya dan bergaullah sesama manusia dengan budi yang baik, (HR. Tirmidzi)

Secara fitrah Islam mengajarkan kepada umat nya untuk menunjukkan perilaku yang santun dan toleran. Karakter inilah yang diharapkan semakin melekat dan menguat pada diri umat Islam paska menjalankan puasa Ramadan dan diakhiri dengan Takbir kemenangan dalam melawan hawa nafsu. Momentum Idul Fitri merupakan momentum bagi umat Islam dan seluruh pemeluk agama serta bangsa ini untuk kembali pada jati diri kebangsaannya. Kita tidak boleh lupa akan sejarah bangsa, bahwa momentum kemerdekaan yang ditandai dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia juga terjadi pada momentum bulan Ramadan, ini artinya jiwa kemerdekaan dan kemandirian bangsa sejatinya tidak terlepas dari ridho Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu, karakter kebangsaan yang melekat dalam tubuh Negara Indonesia adalah karakter Pancasila yang disetiap silanya sarat dengan nilai-nilai ajaran agama. Perspektif keagamaan inilah yang pada momentum Idul Fitri ini harus lebih mengakar kuat, dimana agama menjadi pedoman dalam menjalankan negara. Dan untuk mewujudkannya diperlukan dua prasayarat yakni: melek beragama (religion literacy) dan melek berdemokrasi (democracy literacy). Jika kedua prasyarat tersebut mampu dijalankan dengan seimbang niscaya persatuan umat sebagai pilar penyokong kehidupan berbangsa dan bernegara akan mewujud dalam bentuk ghiroh bernegara.

Persatuan umat adalah fitrah dalam bernegara, maka sudah sepatutnya jika kita memanfaatkan momen Idul fitri sebagai sumbu penguatnya sehingga aspek sosio religiusitas yang menjadi ruh dari dasar ideologi kenegaraan bangsa Indonesia terus terjaga konsistensinya. Kuatnya komitmen kenegaraan ini sudah tentu akan memberi dampak bagi tumbuh kembangnya paham-paham radikalisme yang secara ideologis  masuk dicelah-celah kelemahan kita dalam menjaga ghiroh agama dalam bernegara. Semakin kokoh pondasi keagamaan yang dianut oleh masyarakat niscaya akan mengeliminir setiap pemahaman yang salah atas agama itu sendiri yang berujung pada perilaku yang radikal, dimana orientasi dasarnya ada pada keinginan untuk merongrong ideologi negara dan merebut kekuasaan yang sah melalui cara-cara kekerasan

Kembali ke fitrah adalah kembali kepada ajaran Islam yang kaffah, syamil, dan mutakamil. Pemahaman keIslaman yang seperti ini akan membentuk karakter pemeluknya menjadi pribadi-pribadi yang sholeh, dimana rasa toleransi, penghargaan atas perbedaan, dan keinginan untuk mewujudkan persatuan umat adalah kewajiban yang harus direalisasikan demi menjaga keutuhan NKRI dan meneguhkan Pancasila sebagai ideologi negara.

Agung SS Widodo, MA

Penulis adalah Peneliti Sosia-Politik Pusat Studi Pancasila UGM dan Institute For Research and Indonesian Studies (IRIS)

Recent Posts

Makna Jumat Agung dan Relevansinya dalam Mengakhiri Penjajahan di Palestina

Jumat Agung, yang diperingati oleh umat Kristiani sebagai hari wafatnya Yesus Kristus di kayu salib,…

18 menit ago

Jumat Agung dan Harapan bagi Dunia yang Terluka

Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025 bukan sekadar penanda dalam kalender liturgi, melainkan…

19 menit ago

Refleksi Jumat Agung : Derita Palestina yang Melahirkan Harapan

Jumat Agung adalah momen hening nan sakral bagi umat Kristiani. Bukan sekadar memperingati wafatnya Yesus…

21 menit ago

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

1 hari ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

1 hari ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

1 hari ago