Narasi

Informasi dan Disintegrasi

Tidak sulit menjadi warga negara yang baik sekaligus penganut agama yang taat. Kesulitan terhadap hal itu terjadi akibat cara pandang yang memisahkan dan mempertentangkan keduanya. Padahal perilaku berbangsa dan perilaku beragama bisa saling melengkapi. Tidak ada yang dihilangkan. Apalagi di Indonesia. Negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia tetapi tidak menggunakan syariat Islam sebagai dasar negaranya. Kebebasan beragama dan berkeyakinan dijunjung tinggi sehingga siapapun bebas mengekspresikan ketaatannya terhadap tuhan yang maha esa. Konflik muncul jika menganggap keduanya berbeda. Aktivitas keagamaan berjalan ke kanan, dan aktivitas kewarganegaraan berjalan ke kiri. Sehingga tidak menemukan titik singgungnya.

Jika hal di atas dapat dipahami oleh masyarakat Indonesia, maka tidak akan ada pandangan negatif terhadap salah satunya. Sebab menjadi warga negara sekaligus umat beragama adalah satu kesatuan. Pancasila dan UUD 45 memberi spirit agama dalam kehidupan berbangsa kita. Pendiri republik ini juga banyak dihuni oleh kelompok religius sekaligus nasionalis. Upaya mengolok-olok atau mendiskreditkan salah satu atau keduanya merupakah hal yang perlu dihindari sebab kontraproduktif bagi kesolidan bangsa ini. Kita bisa belajar dari beberapa peristiwa yang hadir hari-hari ini. Kejadian-kejadian yang memberi pelajaran agar dapat saling menghormati.

Dalam beberapa hari ini, viral iklan bergambar kue klepon. Iklan tersebut bertuliskan klepon sebagai makanan yang tidak islami. Sementara makanan yang islami adalah kurma. Sejak postingan ini hadir, kita dengan mudah bisa langsung menyimpulkan validitasnya. Sayangnya, nalar kritis pada sebagian masyarakat terlihat memudar. Langsung percaya begitu saja. Kemudahan informasi ternyata justru menenggelamkan seseorang dalam sampah informasi. Tidak bisa memilah dan memilih informasi yang valid dan bermanfaat.

Baca Juga : Menemukan Tuhan dalam “Seporsi” Persaudaraan

Pekan sebelumnya, beredar gambar ASN di depan kantor pemerintahan. Pria tersebut menggunakan seragam korpri dengan model gamis. Banyak masyarakat yang percaya. Narasi instansi-instansi menjadi semakin radikal pun mencuat. Beberapa saat setelahnya, situs turnbackhoax.id menjelaskan bahwa gambar ini merupakan hoax. Masih dalam pekan yang sama, muncul juga gambar ASN bergamis korpri yang sedang berdiri diantara rekan-rekan lainnya. Foto ini pun tidak terbukti kebenarannya. Tetapi ratusan fitnah dan hujatan telah keluar. Tahun kemarin, muncul surat edaran dari salah satu pemkot di Indonesia. Isi surat tersebut memerintahkan pegawai kecamatan menggunakan gamis hitam setiap hari Jumat. Setelah viral, baru diketahui bahwa surat ini adalah hoax.

Berbagai postingan di atas langsung diserbu berbagai komentar negatif. Mereka tidak mengecek apakah gambar tersebut asli atau editan. Yang penting menghujat terlebih dahulu. Perkara isu yang dihujat benar atau salah, tidak menjadi persoalan. Para buzzer pun, yang beberapa diantara mereka tidak peduli dengan kedamaian, menari-nari kegirangan. Akun-akun yang memproduksi dan menyebarkan berbagai postingan tersebut juga bersikap masa bodoh. Merasa tidak bersalah dan menganggapkan sebagai lelucon belaka. Mengenai postingan kue klepon tidak islami, setelah diketahui merupakan hoax, dilakukanlah upaya pembenaran. Salah satunya postingan ini merupakan social experiment. Padahal sudah banyak fitnah yang tersebar dan tercipta dari gambar klepon ini. Pola seperti ini akan memperuncing perbedaan yang ada. Oleh sebab itu, postingan-postingan dengan tujuan membenturkan seperti ini harus dihilangkan.

Memang, kita tidak bisa menafikkan, masih ada segelintir kelompok beragama di Indonesia yang berpandangan eksklusif. Merasa benar sendiri dan kerap menyalahkan kelompok yang tidak sependirian dengannya. Akan tetapi, semestinya kelompok ini pun tidak boleh difitnah dan dihujat. Sebab, dapat membuat mereka semakin menjauh. Justru hal yang lebih urgen adalah merangkul kelompok ini untuk menyamakan persepsi dengan kerukunan dan keberagaman. Bisa saja, mereka melakukan hal tersebut dikarenakan ketidaktahuannya.            

Termasuk jika ada kelompok yang menyebarkan propaganda dengan hoax,  jangan lantas dilawan dengan hoax. Informasi palsu harus dikubur dengan informasi yang benar. Sebab hoax yang dilawan dengan hoax hanya akan menjauhkan kita dari realitas. Api kecurigaan pun akan semakin membesar. Selain itu, literasi media jangan hanya menjadi slogan. Tetapi harus menjadi bagian dari aktivitas setiap saat.  Jangan pernah menyepelekan validitas informasi. Sebab informasi yang baik bermanfaat untuk merawat persaudaraan di Indonesia. Sebaliknya, informasi yang buruk akan selalu memecah ikatan persaudaraan.

This post was last modified on 24 Juli 2020 11:33 AM

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

8 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

8 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

8 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

9 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago