Narasi

Inklusifitas Negara Kepulauan

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki keanekaragaman dalam segala aspek: budaya, suku, bahasa, agama, bahkan flora dan fauna. Kebinekaan adalah karakter bangsa ini. Meskipun plural, tetapi Indonesia tetap kokoh sebagai negara dengan semboyan bhineka tunggal ika.

Lantas apa yang menyebabkan bangsa ini bisa bersatu? Tentu jawabannya adalah karakter bawaan dari geografis negeri ini sendiri, yakni kepulauan. Kepulauan adalah entitas yang terbuka, inklusif, akomodatif, dan egaliter.

Kepulauan mengedepankan kolaborasi ketimbang kompetisi sebagaimana dalam karakter wilayah daratan. Peradaban bahari kita adalah peradaban gotong-royong, kerja-sama, dan saling bahu-membahu. Di negeri kepulauan-lah, sikap saling asuh dalam kehidupan dan saling asah dalam beragama, bisa terjadi.

Zamakhsyari Dhofier (2011) menyatakan, dulu nenek moyang kita hidup dan menguasai daerah pinggir laut. Kondisi iklim yang tak tentu, ombak yang tak tetap, serta arah angin yang bisa berubah-ubah, mempengaruhi sikap dan tindakan para penghuni pinggir laut.

Tamu yang datang dijamu dengan baik, pendatang yang baru disambut hangat, dan budaya yang masuk diterima dan diakomodir. Sikap inklusif bangsa ini dulu disalahgunakan  oleh kaum penjajah. Para kolonialis memonopoli perdagangan, menguasai pasaran, dan mengambil kekuasaan atas pelabuhan. Akibatnya, nenek moyang kita tak ada wilayah lagi, dengan terpaksa harus mundur ke pedalaman, yakni desa.

Baca Juga : Daerah Perbatasan dan Urgensitas Wawasan Nusantara

Profesi pokok pun berganti, dari pelaut yang handal menjadi petani. Itulah makanya, –menurut Dhofier (2011) mengapa hampir semua pesantren di Indonesia dulu selalu berdiri di pedalaman desa, bukan di kota besar, apalagi di pinggir laut.

Peradaban Bahari

Ciri khas peradaban bahari adalah terbuka dan setara. Pola hidupnya adalah kolaborasi dan kerjasama. Bila disebut apa karakter bangsa ini, jawabannya ada pada karakter negeri kepulauan itu sendiri. Dari sejak dulu, manusia Nusantara sudah terbiasa dengan gotong royong. Semua adalah kawan yang harus dihormati dan dibantu.

Kristalisasi dari karakter bangsa yang lahir dari wilayah kepulauan adalah Pancasila. Pancasila bukanlah produk daratan. Ia diambil dari bawah alam sadar masyarakat Indonesia yang hidup di bantaran ribuan pulau.

Sila-sila Pancasila menunjukkan keterbukaan dan kesetaraan. Dari sila Ketuhanan, Persatuan, Kemanusiaan, Kerakyatan, sampai Keadilan –semuanya adalah cerminan dari peradaban bahari yang menghargai ragam perbedaan.

Dalam peradaban bahari, semua permasalahan diselesaikan dengan bijak dengan penuh keterbukaan. Jika saya menganggap benar, maka saya akan membuktikannya di khalayak umum. Pun demikian sebaliknya, jika saya menuduh pihak lain salah, saya harus membuktikannya.

Semua permasalahan diselesaikan dengan cara kolektif. Tidak ada dendam kesumat, agitasi, main hakim sendiri. Akibatnya, rasa aman dan nyaman bisa tercipta.

Dalam peradaban bahari, toleransi sangat dijunjung. Sikap saling menghormati dan memahami liyan selalu dijalankan. Tak berhenti di sini, sikap saling memberdayakan menjadi modal penggerak dalam melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing masyarakat.

Penetrasi Ideologi Ekstrem

Karakter dan wawasan Nusantara –sebagaimana disebutkan di atas –mulai terkikis seiring dengan masuknya budaya dan ideologi ektrim. Budaya individualistik, menekankan individu sebagai raja dan satu-satunya standar penilaian, tidak cocok dalam iklim negara kepulauan.

Individualisme selalu menekankan kompetisi. Saling sikut, tendang, dendam, biasa dilakukan, asalkan menang. Egoisme tidak lagi memandang liyan laiknya dirinya sendiri. Melainkan sudah dianggap sebagai orang asing.

Akibatnya, segala usaha untuk membenarkan diri dan kelompok masing-masing semuanya dilakukan. Hoax, ujaran kebencian, fitnah, penegasian, dijadikan sarana untuk memenangkan kompetisi.

Hal yang sama dengan penetrasi ideologi ekstrem trans-nasional. Ideologi ini datang dari Arab, wilayah timur tengah, daratan, dan padang pasir. Tentu karakternya sangat jauh berbeda dengan wilayah kepulauan.

Ideologi trans-nasional selalu mengajarkan keseragaman. Seragam adalah kunci. Pola hidupnya hitam-putih. Budayanya adalah kompetisi. Ini bertolak belakang dengan budaya bahari yang menekankan kolaborasi.

Untuk itu, jika ada satu hal paling pokok untuk dijadikan sebagai bahan refleksi, maka bahan itu adalah: mari kita kembali kepada budaya bahari, karakter negeri kepulauan, yang selalu terbuka, setara, dan berkolaborasi.

This post was last modified on 13 Desember 2019 2:35 PM

Hamka Husein Hasibuan

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

6 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

6 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

7 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago