Nasionalisme kita pada hakikatnya berakar sangat dalam pada dua variabel penting, yakni budaya atau tradisi nusantara di satu sisi dan insipirasi dari ajaran Islam di sisi lain. Nasionalisme yang berakar dari tradisi nusantara itu tercermin ke dalam deklarasi Sumpah Pemuda yang berkomitmen pada kesatuan bangsa, tanah air dan bahasa. Sedangkan jejak inspirasi Islam dalam nasionalisme dapat kita lacak dari pembukaan Undang-undang Dasar RI Tahun 1945 yang secara gamblang menyebut kemerdekaan RI sebagai rahmat Allah SWT.
Memang jika ditilik dari perspektif sejarah, Islam atau lebih tepatnya umat Islam memegang peranan penting dalam perjuangan bangsa merebut kemerdekaan dari cengkeraman kolonial. Sejarah mencatat bagaimana Islam membentuk kesadaran masyarakat akan pentingnya sikap cinta tanah air dan nasionalisme sekaligus menjadi kekuatan penting dalam perang melawan penjajah.
Dua eksponen penting dalam Islam yang banyak berperan dalam proses kelahiran nasionalisme Indonesia ialah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kedua ormas ini bahkan sudah lahir sebelum Republik Indonesia lahir. Keduanya, bisa dibilang merupakan arsitek sekaligus tukang yang membangun rumah besar bernama Indonesia. Kedua ormas itu pula yang memberi warna pada model nasionalisme Indonesia, yakni nasionalisme yang berlandaskan pada prinsip kemanusiaan, alih-alih nasionalisme sempit ala chauvinisme.
Dikotomi Ekspresi Keberislaman dan Spirit Keindonesiaan
Ironisnya ketika Indonesia sudah berusia lebih dari tujuh dekade ini, kita menghadapi persoalan pelik terkait menguatnya sentimen keagamaan yang berakibat pada mengendurnya sikap cinta tanah air dan nasionalisme. Hari ini kita menyaksikan fenomena yang menggambarkan bagaimana meningkatnya gairah keagamaan berpengaruh pada menurunnya komitmen kebangsaan. Sebagian muslim Indonesia beranggapan bahwa untuk menjadi muslim yang kaffah, mereka harus menanggalkan identitas keindonesiaan yang sebenarnya sudah melekat dan mandarah daging hingga tulang sumsum.
Baca Juga : Daerah Perbatasan dan Urgensitas Wawasan Nusantara
Maka, dalam praktik keagamaan keseharian kita melihat sendiri bagaimana sebagian muslim merasa perlu mengganti identitas dan simbol yang identik dengan keindoneisaan dengan simbol dan identitas yang diklaim lebih islami. Misalnya, mereka enggan mengenakan pakaian yang menyimbolkan kekayaan tradisi dan budaya nusantara seperti batik, kain tenun dan lain-lain dan lebih bangga memakai baju yang dianggap lebih relijius dan lebih islami.
Sikap yang demikian ini, menurut Buya Syafi’i Ma’arif merupakan bentuk adopsi kultur yang tidak cerdas dan merupakan bukti kegagalan sebagian muslim dalam membedakan antara esensi agama dan budaya. Sebagian muslim beranggapan bahwa budaya masyarakat Arab sudah pasti merepresentasikan ajaran Islam. Maka menjadi tidak mengherankan jika mereka berpandangan bahwa menjadi muslim yang kaffah dapat dilakukan dengan mengadopsi dan mengadaptasi kultur arab secara harfiah dan meninggalkan budaya dan tradisi nusantara.
Cara pandang yang salah-kaprah yang demikian ini sialnya mendominasi pola pikir sebagian masyarakat muslim belakangan ini. Alhasil, ekspresi keberagamaan acapkali dipertentangkan dengan spirit nasionalisme dan cinta tanah air. Bahwa untuk menjadi Islam yang kaffah, seseorang harus anti pada semua simbol nasionalisme dan melepaskan identitas keindonesiannya. Seorang penceramah agama yang juga pentolan organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Felix Shiaw, bahkan pernah berujar bahwa cinta tanah air atau nasionalisme itu tidak ada dalilnya, sedangkan membela agama jelas merupakan perintah Islam.
Pernyataan itu mengandung sesat pikir yang akut, untuk juga mengatakan bentuk pengingkaran pada sejarah. Mendikotomikan antara ekspresi keberagamaan dengan sikap cinta tanah air tidak hanya rancu secara logika, namun juga fatal secara etika. Pertanyaan yang muncul kemudian ialah mengapa ekspresi keagamaan harus ditempatkan secara terpisah dengan sikap cinta tanah air dan nasionalisme? Bisakah ketaatan terhadap agama itu diekspresikan dalam satu tarikan nafas dengan sikap cinta tanah air?
Jika sikap cinta tanah air, nasionalisme dan jiwa bela negara itu tidak ada dasar dan dalilnya dalam Islam, lantas mengapa para ulama nusantara zaman dulu, seperti tokoh-tokoh Muhammadiyah dan NU menyerukan untuk berjihad melawan penjajah dan memerdekakan diri dari kolonialisme? Bukankah perang melawan kolonial dan perjuangan kemerdekaan itu adalah bagian dari ekspresi cinta tanah air? Pada titik inilah tampak kerancuan pemahaman di kalangan para kaum konservatif. Logika dikotomistik yang memisahkan antara unsur keislaman dengan unsur keindonesiaan terbukti hanyalah bentuk dari kebebalan berpikir mereka yang memprihatinkan.
Menyemai Islam yang Indonesiawi
Umat muslim Indonesia di masa sekarang sepatutnya belajar dan meneladani cara pandang dan perilaku kebergamaan para ulama dan tokoh di masa pra-kemerdekaan dan awal kemerdekaan yang menempatkan spirit keagamaan dan nasioanalisme dalam satu kesatuan yang integral, alias tidak terpisahkan. Bahwa laku keagamaan tidak akan sempurna tanpa sikap tanah air. Begitu pula, sikap nasionalisme tidak akan kuat jika tanpa dilandasi agama. Nasionalisme dan keagamaan (Islam) dengan demikian merupakan dua hal yang saling bertautan, berkait-kelindan dan saling melengkapi satu sama lain.
Sejalan dengan paradigma berpikir tersebut, umat Islam Indonesia hari ini wajib mengembangkan corak perilaku dan pola pikir keislaman yang senafas dengan gagasan wasasan nusantara. Yakni cara pandang dan praktik keberagamaan yang adaptif dan setia pada nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bineka Tunggal Ika. Dengan demikian, ekspresi keislaman yang muncul ke permukaan pun bisa dipastikan tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip kebangsaan dan keindonesiaan.
Dalam konteks inilah penting kiranya bagi umat Islam Indonesia hari ini untuk menyemai praktik keberislaman yang mencerminkan karakter keindonesiaan atau Islam yang indonesiawi. Yaitu corak keberislaman yang adaptif pada nilai-nilai tradisi dan budaya luhur nusantara serta tetap setia pada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Dengan menyemai spirit Islam yang Indonesiawi itu pula kita akan bisa mengakhiri cara pandang dikotomistik yang memisahkan antara ekspresi kesalehan beragama dengan spirit cinta tanah air.
Dalam bingkai wawasan nusantara dan kebangsaan, umat muslim Indonesia saat ini memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan apa yang telah diwariskan oleh para ulama dan tokoh agama terdahulu. Untuk itu, kita perlu mengamalkan adagium yang populer di kalangan kaum nahdliyin yakni “Al muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdu bil jadidil ashlah” yang artinya kurang lebih “menjaga warisan masa lalu yang baik-baik sembari mengambil hal-hal di masa kini yang lebih baik”.
Khazanah keislaman indonesiawi seperti dipraktikkan oleh para pendulu kita sudah sepantasnya kita teladani dan rawat sebagai modal sosial untuk memperteguh komitmen dan ikatan kebangsaan kita. Dan, di saat yang sama, kita juga perlu adaptif pada perkembangan zaman yang menuntut umat Islam selalu berpikiran dinamis, terbuka dan progresif. Dengan mengembangkan corak keislaman yang indonesiawi dan setia pada koridor wawasan nusantara dan kebangsaan, kita patut optimis bangsa Indonesia mampu menghadapi tantangan baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…
View Comments