Islam memang hanya ada satu, Islam ya Islam. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, saat kaum Muslimin menyebar ke seluruh penjuru dunia, maka muncullah identitas tampilan yang beranekaragam dari kaum muslimin tersebut sesuai dengan lokasi dan budaya dimana mereka menyebar. Lokasi yang berbeda melahirkan budaya dan tradisi yang berbeda pila. Misalnya, tradisi Muslim di Arab berbeda dengan tradisi yang dimiliki oleh Muslim yang tinggal di Afrika, berbeda pula dengan yang ada di Amerika, di India, dan seterusnya. Perbedaan yang dimaksud tentu saja bukan dalam hal yang qoth’ie, melainkan pada praktek kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam hal akhlak, busana, dan tatacara hidup.
Sebagai misal, di Indonesia terdapat budaya Muslim yang tidak terdapat di negara lain. Contohnya, pada saat sebelum maupun sesudah bulan Ramadhan, terdapat tradisi bancakan, nyadran, padusan, mengenakan mukena, ngabuburit, imsya’, punjungan, halal bi halal, lebaran ketupat, dll. Semua itu terjaga dengan baik, sebab para Ulama berhasil memasukkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, sehingga ajaran Islam mudah diserap dan dilaksanakan, bahkan oleh orang paling awam sekalipun.
Di Indonesia, kekuasaan tertinggi kaum Muslimin berada di tangan Ulama yang menyebar di seantero Nusantara yang sangat menghargai perbedaan furu’iyah. Tidak pernah berusaha untuk mempertentangkan ijtihad satu ulama dengan ulama lainnya. Bahkan para Ulama saling berguru antara satu dengan lainnya.
Hal ini tentu berbeda dengan ‘nasib’ Islam di banyak wilayah lain di dunia, dimana Islam lebih sering muncul (atau dimunculkan) sebagai produk yang direkatkan oleh kekuasaan dan sifat ashobiyah-nya sangat kental. Karenanya Islam kerap tampil (atau ditampilkan?) sebagai faksi-faksi yang lepas satu sama lain dan cenderung berusaha untuk saling menaklukkan.
Kepemimpinan juga dipegang oleh ulama sentral atau pemimpin kelompok dengan fanatisme yang sangat membara. Sehingga ketika terjadi perbedaan dalam mensikapi sebuah perkara, pertikaian dan parade angkat senjata dapat pecah dengan begitu mudahnya.
Peristiwa Arab Spring telah membuktikan bahwa wajah Arab –yang kerap dipandang sebagai pusatnya Islam– di Timur Tengah mudah dibuat lunglai dan tercerai berai. Karenanya Islam yang ada di sana kerap ditampilkan dalam wajah yang keras dan beringas. Sementara di Indonesia, budaya dan local values yang ramah, toleran, terbuka, dinamis, dan bisa mewadai semua golongan telah menjadi ‘batu injak’ yang membantu menampilkan wajah Islam yang sebenarnya; menenangkan dan menggembirakan. Inilah yang patut membuat kita bangga menjadi orang Indonesia yang sekaligus Islam.
Islam Nusantara dipilih sebagai identitas saja untuk membedakan karakter, bukan keinginan memisahkan diri dari islam itu sendiri. Islam Nusantara tidak lantas bermakna sebuah tantangan untuk lahirnya Islam Malaysia, Islam Cina, Islam Inggris dst. Islam Nusantara hanyalah sebuah sebutan saja, yang merupakan identitas unik dari perjalanan panjang Islam di wilayah Nusantara sejak awalul Muslimin hingga hari ini.
Karakter Islam Nusantara sangat damai dan toleran, sehingga hal ini sudah seharusnya kita syukuri, meski di luar sana sayup-sayup kita dengar ada kelompok yang tidak sudi dengan Islam Nusantara, geliat mereka dapat kita saksikan melalui munculnya gerakan yang hendak mengoyak kerukunan kaum muslimin. Mereka menciptakan banyak isu mentah yang dilempar secara serakah, seperti; Gerakan Syiah Bukan Islam, Ahmadiyah Bukan Islam, NU ahli Bid’ah, dst. Bahkan dikatakan bahwa Islam Nusantara hanya istilah untuk menghaluskan Gerakan Islam Liberal.
Padahal jika kita mau sebentar saja menengok sejarah, kita akan menjumpai bahwa istilah Islam Nusantara sudah ada sejak jaman dahulu (dulu disebut Islam Indonesia). Mbah Wali Gus Dur pernah dhawuh, “Kita ini orang Indonesia yang beragama Islam. Bukan orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam”. Karenanya, kita mengenal Pancasila, Departemen Agama, KUA, dll.
Istilah Islam Indonesia itulah yang kita kenal saat ini dengan sebutan Islam Nusantara. Mengapa diubah Islam Nusantara? Karena itu sebenarnya ada makna yang hendak disampaikan, Islam Nusantara= NU, SANtri, dan tenTARA. Ketika ketiganya bersatu, maka Indonesia tidak akan tergoyahkan.
Islam Nusantara mencengangkan dunia karena sifat toleran dan moderatnya. Maka tak heran jika NU pernah menjadi satu-satunya Ormas Islam di dunia yang didaulat untuk menyampaikan pidato di depan Sidang PBB di New York, dipilih mewakili wajah Islam yang teduh, rahmatan lil ‘alamin…
Hal ini membuat banyak kalangan tidak suka dan berusaha mengadudomba NU dengan kaum Muslimin lainnya di Indonesia. Karena itu, kita wajib waspada agar tidak mudah terpedaya. Islam tetap saja Islam, hanya satu dan satu-satunya. Islam Nusantara hanyalah sebuah istilah, tidak hendak mencipta firqoh, namun hanyalah sebuah penegasan akan sebuah karakter di sebuah wilayah yang mencerminkan wajah tersendiri, yang insyaallah kelak akan diterima dan dijadikan rujukan oleh seluruh kalangan di muka bumi ini.
Matur suwun
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…